IST |
BANDA ACEH - Pasca pengesahan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah banyak dikeluarkan UU lainnya, yang subtansinya juga menyentuh terhadap beberapa hak kekhususan Aceh. UU terbaru yang menjadi benturan norma dengan UU PA adalah pasal 157 UU No. 10 tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang mengatur tentang kewenangan mengadili sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Hal tersebut disampaikan Ketua YARA (Yayasan Advokasi Rakyat Aceh), Safaruddin, SH, dalam siaran persnya ke redaksi LintasAtjeh.com, Minggu (28/05/2017).
Sedangkan dalam pasal 74, ujar Safar, dikatakan bahwa sengketa Pilkada Aceh menjadi kewenangan Mahkamah Agung, pasal 67 ayat (2) huruf e UU PA yang mengatur tentang calon kepala daerah harus berusia minimal 30 tahun, sedangkan dalam UU No. 10 tahun 2016 ditentukan usia untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur 30 tahun dan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota usia 25 tahun. Jika diinventarisir UU yang keluar di atas UU No. 11 tahun 2006 akan banyak ditemukan benturan norma dengan UU PA, seperti kebijakan tentang kelautan yang baru ini memakan korban enam orang nelayan di Aceh Barat dipenjara.
"Padahal jika merujuk pada pasal 162 UUPA bahwa terhadap hukum laot itu diselengarakan oleh pemerintah aceh dalam hal kelautan dan di bidangi oleh panglima laot, tetapi hal tersebut tidak berlaku, sehingga akan banyak pasal dalam uupa akan menjadi tidak berkekuatan hukum jika tidak ada tindakan penyelamatan uupa oleh Pemerintah Aceh," terangnya.
Dijelaskannya, UU PA disebutkan, pasal 8 ayat (2), rencana pembentukan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA ayat (3) kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan gubernur.
"Untuk itu, kami meminta DPRA dan Gubernur Aceh agar membentuk Tim Pemantau Regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, apakah regulasi tersebut bertabrakan normanya dengan UU PA atau tidak. Kemudian harus aktif melakukan komunikasi dengan DPR dan Pemerintah Pusat terhadap regulasi yang dapat melemahkan pasal dalam UU PA," harapnya.
Jika hal ini tidak dilakukan, menurut Safaruddin, maka pasal dalam UU PA satu persatu akan ditinggalkan dan digilas oleh regulasi lain. Pemerintah Aceh harus menyampaikan dan terus mensosialisasikan tentang kekhususan Aceh ke berbagai pihak secara rutin, karena kami melihat banyak pihak termasuk Pemerintah Pusat belum memahami benar terhadap hak-hak Aceh yang diatur secara khusus dalam UU PA.
"Jikapun ada pertentangan norma dalam regulasi yang lain, maka hal tersebut dapat disetujui oleh Pemerintah Aceh sejauh tidak merugikan hak konstitusional masyarakat Aceh," pungkas Ketua YARA.[Rls]