Wilson Lalengke (kanan) berbincang dengan Brigjend TNI Albiner Sitompul |
ACEH
TAMIANG - Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, sangat
mengecam keras aksi kriminalisasi dan pembungkaman kebebasan berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, terkait
kasus pelaporan pimpinan LSM LembAHtari dan Gempur oleh Bupati Aceh Tamiang,
sebagaimana berita di tautan ini.
Kepada LintasAtjeh.com
melalui pesan whatsapp mesenger, Selasa (02/05/2017), Alumni Lemhannas 48 PPRA
(Program Pendidikan Reguler Angkatan) Tahun 2012 ini mengatakan PPWI Nasional sangat menyesalkan upaya kriminalisasi
tersebut.
Berikut Pernyataan Sikap PPWI
Nasional sebagai berikut:
1. PPWI menolak keras
terhadap proses kriminalisasi pengelola ARAH, media publikasi internal LSM
LembAHtari dan LSM Gempur, oleh Polres Aceh Tamiang.
2. Polisi harus mampu
bekerja secara profesional, yang salah satu indikatornya adalah dapat
mengungkap kebenaran dari sebuah informasi atau laporan warga, sehingga ia bisa
menentukan dengan tepat siapa yang benar dan siapa yang salah.
3. Polisi tidak dibenarkan
menjalankan tugas bagai robot, tanpa menggunakan otaknya, tanpa berpikir, tanpa
menganalisis masalah, dalam menangani sebuah perkara. Polisi mesti meneliti
dengan seksama setiap laporan dan/atau pengaduan yang disampaikan oleh warga
masyarakat ke kepolisian.
4. Adalah benar bahwa
polisi tidak boleh menolak suatu pengaduan dari warga yang disampaikan ke
kantor polisi, baik di Polsek maupun Polres hingga ke Polda dan Mabes Polri.
Tetapi, setiap laporan harus ditelaah dengan baik, teliti dan benar, sehingga
polisi tidak menetapkan seseorang yang tidak bersalah menjadi tersangka.
5. Kasus kriminalisasi
wartawan, dan pewarta warga, banyak terjadi karena ketidakmampuan oknum polisi
melihat substansi persoalan yang diadukan kepadanya. Secara umum, dasar aduan
warga terkait pemberitaan adalah bahwa warga tersebut merasa sakit hati, merasa
dicemarkan nama baiknya, akibat pemberitaan oleh wartawan atau pewarta warga
(masyarakat biasa). Dalam kasus-kasus seperti ini, polisi yang profesional seharusnya
melihat substansi persoalan, yakni apakah materi berita yang dianggap
mencemarkan nama baik sipelapor itu benar atau tidak benar, apakah sesuai data
dan fakta atau rekayasa belaka?
Jika ternyata materi
beritanya benar, sesuai fakta, didukung bukti-bukti valid, maka si pelapor yang
seharusnya diusut dan dipenjarakan, bukan si penulis atau medianya yang
dikriminalisasi. Dengan cara kerja polisi profesional seperti itu maka jargon
"Wartawan Mitra Polri" benar-benar nyata adanya, bukan slogan kosong
belaka.
6. Terkait kasus pelaporan
oleh oknum Bupati Aceh Tamiang terhadap pewarta warga yang adalah pimpinan LSM
LembAHtari dan LSM Gempur, atas nama Sdr. Sayed Zainal dan Syahriel Nasir, PPWI
Nasional mendesak Polri, baik Polres Aceh Tamiang, Polda Aceh, maupun Mabes
Polri agar meneliti apakah isi tulisan laporan tahunan LSM LembAHtari tentang
berbagai kasus yang melibatkan oknum Bupati Aceh Tamiang itu benar, sesuai
fakta, didukung data valid, atau tidak benar dan rekayasa belaka??
7. Polisi tidak dibenarkan
mempersoalkan media ARAH, sebagai wadah publikasi internal LSM tersebut. Sesuai
pasal 28F: "..., setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan *menyampaikan, informasi menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.*"
Adalah sebuah kesalahan
besar, melanggar UUD 1945, yang tentunya dikategorikan pelanggaran HAM, ketika
polisi mengkriminalisasi masyarakat yang menyampaikan informasi tentang
perilaku koruptif dan penyalahgunaan wewenang dari pejabat publik, hanya karena
ada laporan dari pejabat publik yang diberitakan itu. Justru sebaliknya,
pejabat yang bersangkutan yang harus diusut segera dan diajukan ke meja hijau.
8. Kepada dewan pers,
bekerjalah sesuai tugas pokoknya yang ditentukan oleh UU, jangan menjadi alat
kepentingan bagi pihak tertentu. Jika tidak sanggup menjadi dewan yang
mengayomi wartawan dan masyarakat pewarta, sebaiknya ganti baju dan nama saja
menjadi dewan pembela penguasa dan/atau pemilik uang.
“Pernyataan sikap ini
dilindungi UUD NKRI 1945, pasal 28F: "Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia,” ujar pria lulusan Master of Art (M.A.) Utrecht
University-Netherlands dan Master of Science (M.Sc.) dari The University of
Birmingham-England ini.[Red]