JAKARTA
- Secara
geologis potensi sumber daya (resources) migas di Indonesia masih sangat besar.
Ia tersebar di sekitar 120 cekungan baik yang ada di darat (onshore) atau di
laut (offshore). Wilayah darat dan laut
RI sangat besar. Luasnya hampir sama dengan benua Eropa atau daratan Amerika
Serikat.
Namun untuk mengkonversi
resources menjadi cadangan (reserves) untuk wilayah seluas Indonesia, dengan
potensi sumber daya minyak mentah sekitar 50 milyar barrel dan potensi sumber
daya gas sekitar 200 tcf, dibutuhkan investasi explorasi yang besar. Hal ini
disampaikan anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi saat dimintai pandangannya soal
semakin tipisnya cadangan migas nasional, Selasa (30/5/2017).
Selain investasi, lanjut
Kurtubi, dibutuhkan sistem tata kelola yang simpel dan tidak birokratis, sesuai
koridor Pasal 33 UUD 1945.
"Faktanya sistem tata
kelola saat ini masih didasarkan atas UU Migas No.22/2001. Sehingga kegiatan
investasi explorasi anjlok. Sebab Pasal 31 UU Migas mewajibkan investor untuk
membayar pajak dan retribusi meski masih pada tahap explorasi," ungkap
politisi NasDem ini menyayangkan.
Kurtubi menandasakan,
perlu bagi pemerintah dan DPR untuk segera merevisi aturan ada dalam UU Migas
dengan pola B to G-nya. Sebab menurutnya, pola inilah yang menyebabkan proses
investasi selama ini menjadi panjang dan birokratis.
"Solusinya agar
investasi explorasi bangkit kembali, sederhanakan sistem menuju pola B to B.
Bubarkan dan gabung SKK Migas dengan NOC/Pertamina. Dan hapus pajak selama
explorasi. Semoga sistem yang efisen dan sejalan dengan konstitusi bisa segera
dilahirkan lewat UU Migas yang direvisi. Pilihan ada ditangan kita, tanpa itu
ancaman krisis energi akan semakin nyata," tegasnya.
Sebelumnya diberitakan,
ancaman krisis energi menghantui Indonesia akibat semakin tipisnya cadangan
migas nasional. Menurut Dewan Energi Nasional, ini karena Indonesia masih
mengandalkan migas sebagai sumber energi dalam beberapa tahun mendatang.[Rls]