ACEH
SELATAN - Saat melaksanakan safari wisata di Ibukota Negeri Pala,
Tapaktuan, rombongan Wartawan LintasAtjeh.com dari berbagai kabupaten/kota di
Provinsi Aceh, Pimred LintasAtjeh.com, juga Ketua Umum PPWI Nasional yang
didampingi oleh Ketua DPC PPWI Aceh Selatan beserta jajarannya, Wartawan
LintasAtjeh.com dari Kabupaten Aceh Tamiang terlihat antusias mendengarkan
sejarah jejak tapak raksasa Syeikh Tuan Tapa.
Saat menuju ke lokasi
tapak raksasa berukuran 6x2,5 meter yang terletak di bibir pantai Tapak Tuan
Tapa, Gunung Lampu, Gampong Pasar, Kecamatan Tapaktuan, Sabtu (08/04/2017),
Wartawan LintasAtjeh.com dari Kabupaten Aceh Tamiang, sang penerima penghargaan
Lintas Atjeh Award 2017 untuk katagori 'The Best Journalism' pada acara HUT
Lintas Atjeh ke-3, Jum'at (07/04/2017) kemarin, Zulfadli Idris mengatakan
legenda Syeikh Tuan Tapa adalah cerita rakyat yang menarik untuk dilakukan penelitian
secara akademis.
Wartawan LintasAtjeh.com
yang juga penerima penghargaan Lintas Atjeh Award 2016 untuk katagori 'The Best
Journalism' pada acara HUT Lintas Atjeh ke-2 tahun lalu menjelaskan, dirinya
telah melakukan pengarsipan informasi tentang legenda Syeikh Tuan Tapa yang
disampaikan oleh pihak pemandu, yang juga wartawan LinasAtjeh.com perwakilan
dari Kabupaten Aceh Selatan, Delfi yang akrab dipanggil Abu Samadua menurut
cerita rakyat secara turun temurun bahwa tapak raksasa yang berukuran 6x2,5 meter
adalah jejak tapak dari seorang petapa sakti yang taat kepada Allah SWT,
bernama Syeikh Tuan Tapa.
Cerita legenda jejak tapak
kaki raksasa Syeikh Tuan Tapa menjadi asal muasal nama Ibu Kota Kabupaten Aceh
Selatan, yaitu Tapaktuan. Kota ini terletak sekitar 440 kilometer dari Kota
Banda Aceh, Ibu Kota Provinsi Aceh.
Syeikh Tuan Tapa sejatinya
adalah seorang manusia biasa. Dia juga memiliki ukuran tubuh seperti manusia
pada umumnya, bukan seorang raksasa. Hanya saja, dia diberikan kelebihan oleh
Allah karena ketaatannya, ketakwaannya, dan keimanannya terhadap Sang Maha
Penguasa Jagat Raya.
"Banyak juga orang
yang beranggapan dan meyakini bahwa Syeikh Tuan Tapa adalah manusia raksasa. Tapi, sebetulnya menurut
cerita dari orang-orang terdahulu, Syeikh Tuan Tapa itu seperti kita. Hanya
saja dia diberi kelebihan oleh Allah saat membantu manusia yang bertarung
melawan dua ekor naga," cerita Abu Samadua
Di lokasi tapak raksasa
itu, konon dikabarkan hidup seekor gurita raksasa yang diyakini oleh banyak
orang sebagai penjaga tapak Syeikh Tuan Tapa. Gurita tersebut tidak mengganggu
masyarakat yang berkunjung asalkan tidak melakukan kemaksiatan maupun hal yang
melanggar norma-norma.
Percaya atau tidak, hal
mistis di luar nalar kerap terjadi di lokasi jejak tapak raksasa Syeikh Tuan
Tapa. Agustus 2014 lalu, 2 (dua) pengunjung terseret gelombang besar. 1 (satu) orang
berhasil diselamatkan dan 1 (satu) lainnya tewas. Jasadnya baru ditemukan 3
(tiga) hari setelah kejadian. Pengunjung tersebut sebenarnya sudah
diperingatkan oleh juru kunci. Namun mereka mengabaikannya.
Bukti Kekuasaan Allah
lainnya terlihat saat bencana tsunami 2004 lalu. Kota dengan luas 92,68
kilometer persegi ini terlindungi oleh Pulau Simeulue. Gelombang tsunami
terpecah saat membentur pulau tersebut sehingga intensitasnya berkurang saat
sampai di bibir pantai Kota Tapaktuan.
Namun kisah lain
menyebutkan, seorang saksi mata melihat ada sosok berjubah putih besar tinggi
di lokasi tongkat Syeikh Tuan Tapa yang berada sekitar 1 kilometer di dasar
laut dari tempat wisata Tapak Syeikh Tuan Tapa. Sosok tersebut terlihat tengah
menengadahkan tangan berdoa kepada Allah saat tsunami, sehingga Tapaktuan
terhindar dari bencana maha dahsyat itu.
Lokasi wisata Tapak Syeikh
Tuan Tapa ini masih sangat alami. Pepohonan tumbuh rindang di sekitar lokasi di
bukit yang berada di atas tapak. Untuk bisa mencapai ke tapak, pengunjung harus
melintasi bebatuan besar dan batu-batu karang, tapi sebagian rute dari pintu
masuk sudah dibangun jalan setapak dengan cor semen.
Jarak lokasi tapak raksasa
dari pintu masuk wisata Tapak Tuan Tapa sekitar 1 kilometer dan ditempuh dengan
berjalan kaki. Kendaraan bisa diparkir di halaman samping pos juru kunci.
Pengunjung diimbau mematuhi aturan dan peringatan yang terpasang di pintu
masuk. Juga diminta berpakaian sopan dan tidak berbuat maksiat di lokasi.
Legenda di Gunung Gadis
Tidur Telentang
Bicara Kota Tapaktuan tidak
lepas dari legenda Putri Naga dan seorang pertapa sakti. Kisah ini sudah
menjadi sejarah lisan masyarakat pesisir Aceh Selatan secara turun temurun.
Konon menurut cerita,
hiduplah seorang petapa sakti. Ia bertapa di sebuah gunung yang kini dikenal
dengan Gunung Tuan. Jika dilihat secara cermat, gunung tersebut mirip seorang
gadis yang tidur telentang dengan rambut panjang terurai.
"Kalau dilihat dari
Gunung Lampu, Gunung Tuan itu kelihatan seperti putri yang sedang tidur. Ini
kalau nggak ketutup kabut puncaknya, bentuknya bisa kelihatan seperti gambar
ini," kata Abu Samadua.
Menurut cerita, banyak
orang yang ingin mendatangi puncak Gunung Tuan namun tak ada yang berhasil.
Hanya orang yang tersesat atau tak sengaja yang bisa mencapai puncaknya. Di
atas gunung terdapat buah-buahan yang jika dimakan orang tersebut bisa kembali
pulang. Namun jika buah itu hendak dibawa pulang, maka ia akan kembali tersesat.
Legenda Naga mengisahkan
tentang sepasang naga jantan dan betina yang mendiami teluk Tapaktuan. Keduanya
diusir dari Cina karena tidak memiliki keturunan. Suatu ketika kedua naga ini
mendapati sesosok bayi perempuan terapung di lautan kemudian dipelihara dengan
penuh kasih sayang hingga menjadi seorang gadis cantik.
Suatu ketika sebuah kapal
datang dari Kerajaan Asralanoka di India Selatan di mana sekitar 17 tahun
sebelumnya sang raja kehilangan bayi yang hanyut ke laut. Sang raja mengenali
gadis yang dirawat naga sebagai anaknya yang hilang dari tanda lahir di telapak
kakinya.
Raja Asralanoka bermaksud
meminta kembali gadis yang diyakini sebagai anaknya. Namun sepasang naga itu
menolak karena sudah menganggap sebagai anaknya sendiri. Sang raja kemudian
berusaha membawa lari gadis itu ke kapalnya. Ini membuat kedua naga tersebut
marah dan terjadilah pertarungan hebat hingga mengusik ketenangan seorang
petapa di Gunung Tuan.
Syeikh Tuan Tapa melihat
peperangan hebat antara penumpang kapal dan sepasang naga. Ia kemudian berusaha
melerai dan melompat ke sebuah gunung (kini disebut Gunung Lampu_red), dengan
membawa tongkat dan pecinya. Ia membujuk naga mengembalikan gadis ke orang
tuanya. Namun naga justru menantang Syeikh Tuan Tapa. Pertarungan sengit pun
tak terhindarkan.
Dalam pertarungan itu,
naga jantan berhasil dikalahkan. Naga jantan mati terbunuh akibat pukulan
tongkat Tuan Tapa. Tubuhnya hancur berserakan dan darah berceceran menyebar
memerahkan tanah, bebatuan, bukit, dan juga air laut. Hati dan tubuh naga
hancur berkeping-keping yang kini telah menjadi bebatuan dan bisa dijumpai di
pesisir Desa Batu Itam dan Batu Merah sekitar 3 kilometer dari pusat Kota
Tapaktuan.
Begitu pula sisa pijakan
kaki Syeikh Tuan Tapa hingga kini masih terlihat di wisata Tapak Tuan Tapa.
Tongkat dan pecinya yang kini menjadi batu berada sekitar 1 kilometer dari
lokasi tapak.
Sementara itu, sang naga
betina yang melihat pasangannya tewas segera melarikan diri kembali ke negeri
Tiongkok. Saat melarikan diri, ia mengamuk dan membelah sebuah pulau menjadi 2
(dua) yang kini disebut Pulau Dua. Ia juga memporak-porandakan pulau besar
hingga menjadi 99 pulau kecil. Kini gugusan pulau tersebut disebut masyarakat
sebagai Pulau Banyak di Kabupaten Aceh Singkil.
Sekitar seminggu setelah
kejadian tersebut Syeikh Tuan Tapa menghilang di sekitar Gunung Lampu. Sebagian
besar masyarakat meyakini Syeikh Tuan Tapa sakit dan dimakamkan di dekat Gunung
Lampu tepatnya di depan Mesjid Tuo, Gampong Padang, Kelurahan Padang, Kecamatan
Tapaktuan, Aceh Selatan. Makam dengan ukuran sekitar 14 x 4 meter itu hingga
kini masih sering didatangi peziarah baik lokal maupun mancanegara.
"Sebetulnya itu bukan
makam tapi lokasi terakhir Tuan Tapa menghilang. Tapi banyak orang menganggap
itu sebagai kuburan Tuan Tapa," kata Abu Samadua.
Makam Syeikh Tuan Tapa
pernah mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Hindia Belanda.
Pada 2003 lalu mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono alias SBY pernah
berziarah ke makam keramat itu.
Setelah pertempuran itu,
sang gadis yang kini dikenal sebagai Putri Bungsu atau Putri Naga dikembalikan
kepada orangtuanya, Raja Asranaloka. Namun mereka tidak kembali ke kerajaan,
melainkan memilih tinggal di pesisirnya. Keberadaan mereka diyakini sebagai
cikal bakal masyarakat Tapaktuan. Sementara kapal sang raja kini telah menjadi
batu yang terletak di Desa Damar Tutung sekitar 20 kilometer dari pusat Kota
Tapaktuan.[Zf]