SIANG
itu
cuaca cukup terik, namun tidak menyurutkan Tim Lintas Atjeh, Aceh Selatan News
dan PPWI Aceh Selatan untuk menuju lokasi abrasi, tepatnya jalan menuju Desa
Siurai-urai dan Koto Indarung, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.
Dengan menggunakan satu
unit mobil minibus, tim bergegas menuju lokasi. Tidak ada yang berbeda situasi
perkampungan yang kami lewati sepanjang jalan Manggamat, hanya pengemudi kami
sesekali mengurangi pedal gasnya dan menginjak rem karena masih ada jalan rusak
dan berlubang disana-sini.
Setelah menempuh
perjalanan sekitar 30 menit, tim sampai di jembatan gantung menuju Desa
Siurai-urai dan Koto Indarung. Mobil terpaksa kami tinggalkan diujung jembatan
karena tidak bisa dan tidak mungkin menyeberangi jembatan itu. Resiko terkecil,
mobil babak belur tergores tali dan pagar jembatan, resiko terbesar mobil
amblas dan hanyut di aliran Sungai Kluet karena beberapa alas dari papan sudah
tidak layak dilewati meskipun dengar cerita masyarakat setempat ‘ada juga’
mobil jenis carry yang bisa lewat. Tapi tetep saja ngeri membayangkannya!
Akhirnya, kami harus
berjalan kaki kurang lebih 2 km dibawah terik matahari. Sepanjang perjalanan,
hanya satu dua orang kami temui berjalan kaki pulang dari kebun. Sementara
beberapa kendaraan berpapasan dengan kami, berhubung ada satu orang warga Koto
Indarung yang akan pulang akhirnya Lintas Atjeh menumpang untuk sekalian
melakukan wawancara soal jalan yang terputus, sedangkan tiga orang tim tetap
semangat dalam kelelahan menuju lokasi.
Sepanjang perjalanan,
Lintas Atjeh mendapatkan informasi penting tentang abrasi Sungai Kluet yang
sudah memutuskan akses jalan utama menuju Desa Siurai-urai dan Koto Indarung,
Kecamatan Kluet Tengah, yang berdampak terhadap perekonomian dua desa tersebut.
Selain susahnya mengangkut hasil bumi dua desa seperti sawit, pinang, kemiri,
cabai, jagung, padi dan lainnya, juga sangat menghambat aktivitas masyarakat
dan pelajar. Yang lebih mirisnya, beberapa masyarakat harus eksodus (keluar
dari desa) karena sudah tidak nyaman dengan kondisi jalan yang tidak
mendapatkan solusi dari pemerintah daerah.
Tiba di lokasi, Lintas
Atjeh kemudian langsung mengabadikan beberapa buah gambar dengan telepon
genggam serta merekam cuplikan video ganasnya Sungai Kluet mengikis tebing
pinggir gunung serta hamparan sungai yang semula merupakan perkampungan
Siurai-urai yang hilang tersapu derasnya aliran sungai. Termasuk dua unit
sepeda motor warga yang diparkir di pinggir jalan dengan ditutupi daun-daunan
di jok motornya karena tidak bisa melewati jalan itu.
Selang beberapa menit
kemudian, Aceh Selatan News, PPWI dan juru foto sampai juga di lokasi dengan
wajah lelah, baju dan kaos basah berkeringat setelah menempuh perjalanan 2 km
tanpa membawa air mineral. Namun lelah terobati, setelah tim bisa melihat lokasi
abrasi yang memutuskan jalan kedua desa tersebut secara langsung. Apalagi
derita masyarakat kedua desa tersebut baru saja ramai diperbincangkan netizen
di media sosial.
Amatan tim, jalan di pinggir
gunung tepat di bibir Sungai Kluet hanya selebar 2 meter sangat tidak layak
untuk digunakan apalagi sewaktu-waktu bisa amblas terkikis derasnya aliran sungai
dan setiap saat bisa mengancam jiwa masyarakat setempat yang melewati jalan
darurat itu.
Terlihat dua sepeda motor
berpapasan dan harus saling menahan diri untuk memberikan kesempatan salah
satunya jalan duluan melewati jalur roda yang kondisinya becek dan harus ektra
hati-hati. Bahkan satu pengendara harus turun dari sepeda motornya ketika mau
terjatuh karena lengah menjaga keseimbangannya. Alhamdulillah, jalan akhirnya
bisa dilalui.
Beberapa saat kemudian
Keuchik Desa Siurai-urai bertemu dengan tim yang sudah diberitahukan oleh
warganya ketika kami menitipkan pesan saat berpapasan. Sempat kami duduk
beberapa saat sembari mendengarkan cerita dari Keuchik Cut Min. Tak berapa lama
juga datang Keuchik Desa Koto Indarung, namun kemudian kami bergegas menuju
Desa Siurai-urai untuk melakukan wawancara sembari mencari warung untuk membeli
air mineral sekedar melepas dahaga karena sedari tiga jam lalu hanya sanggup
menelan ludah.
Setelah kerongkongan
sedikit basah dengan beberapa teguk air mineral botol, sesi wawacara pun kami
lakukan. Mau baca beritanya klik disini, disini juga, ini juga.
Setelah dirasa cukup, tim
bergegas untuk pulang, saat itu kami putuskan untuk minta diantar pak keuchik menggunakan
sepeda motor hingga ujung desa. Namun rencana berubah karena Keuchik Siurai-urai
bermaksud mengantarkan kami menggunakan perahu tempel sekaligus melihat kondisi
bekas kampung yang hilang diterjang abrasi serta melihat lokasi rencana
normalisasi sungai yang selama ini diharapkan warga Siurai-urai dan Koto
Indarung.
Dengan perasaan sedikit was-was,
tim satu persatu naik ke perahu tempel. Setelah naik, do’a pun kami panjatkan semoga
perjalanan lancar dan selamat sampai ke tujuan. Perahu tempel dari kayu yang
terlihat sedikit bocor di sisi kiri lambung perahu menambah rasa was-was kami
berempat ditambah sang juru mudi. Sekira 10 menit perjalanan kami berhasil
mendarat dengan selamat dan langsung menuju lokasi rencana normalisasi meski
melewati pasir berlumpur dan berbatu.
Di tempat ini, tim disusul
oleh tim pendamping desa. Mereka meninjau lokasi normalisasi yang rencananya
akan dibangun menggunakan anggaran dana desa dan akan dituangkan dalam
musrembang mendatang. Meskipun anggaran tersebut nantinya akan sia-sia, namun
akan dimusyawarahkan, karena selayaknya solusi yang paling tepat harus
menggunakan anggaran APBK, APBA, APBN atau dana Otsus.
Sekitar 30 menit berada di
lokasi bekas perkampungan kami berpamitan untuk kembali ke Tapaktuan karena hari
sudah mulai menjelang senja. Kami pun bersalaman dengan Keuchik Siurai-urai,
Tuha Peut, mantan pendamping desa dan beberapa warga yang turut mendampingi.
Tim lalu diantar oleh Joss begitu namanya dipanggil sang juru mudi perahu
tempel membelah Sungai Kluet berarus deras. Selama perjalanan menyusuri
derasnya arus sungai, hati kami terselip do’a agar dua desa tersebut yakni Desa
Siurai-urai dan Koto Indarung akan segera mendapatkan solusi sehingga jalan
yang terputus cepat teratasi, sungainya dinormalisasi. Dengan harapan
masyarakat kedua desa tersebut kembali pulih perekonomiannya dan masyarakat
yang selama ini eksodus bisa kembali lagi ke kampung halamannya. Sehingga tidak
perlu lagi mengulangi memori lama “kembali ke jaman Belanda”. Aamiin YRA.....