BANDA ACEH - Kawasan Ekosistem
Leuser (KEL), yang memiliki luas 2,6 juta hektar, terletak di Provinsi Aceh dan
Sumatera Utara dan dinobatkan sebagai salah satu “kawasan tak tergantikan” oleh
International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Di dalam kawasan
tersebut adalah salah satu Kawasan Hutan Tropis Sumatra-Situs Warisan Dunia
(Tropical Rainforest Heritage of Sumatra),
yang sejak 2011 dimasukkan kedalam “Daftar Warisan Dunia Terancam” karena
ekosistem ini tidak pernah berhenti digerus dan dirusak.
Hari ini,
mega-proyek baru sedang direncanakan didalam KEL, walaupun hal ini melanggar
peraturan pemerintah dan mengabaikan statusnya sebagai Situs Warisan Dunia.
Konsorsium LSM
pelindung KEL telah mengirimkan sebuah kritik terhadap laporan Situs Warisan
Dunia yang dibuat oleh pihak pemerintah Indonesia pada hari Senin, 20 Maret
2017, kepada UNESCO WHC. Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengirimkan
laporan mengenai Situs Warisan Dunia kepada UNESCO WHC yang jauh berbeda dengan
kenyataan yang ada di lapangan.
Konsorsium LSM lingkungan mengirimkan laporan ke Pusat Warisan Dunia (UNESCO World Heritage Centre) dan mendesak intervensi untuk menghindari hancurnya Kawasan Hutan Tropis Sumatra-Situs Warisan Dunia
Direktur Orangutan Information Centre (OIC), Panut Hadisiswoyo mengatakan kritik kami menyoroti
ancaman serius terhadap hutan-hutan yang ada di KEL. Beberapa diantaranya
termasuk proyek-proyek PLTA dan pembangkit panas bumi yang diajukan di dalam
kawasan penting. Lemahnya penegakan hukum di lapangan dan kehancuran hutan yang
disebabkan oleh pembangunan jalan yang membelah KEL dan memfragmentasi populasi
satwa liar. Belum pernah ada ancaman sebesar ini terhadap kawasan terakhir
dimana orangutan, badak, harimau dan gajah masih hidup bersama ini.
"Kami
mendesak pihak Pusat Warisan Dunia untuk mengambil langkah darurat demi
mencegah proyek-proyek tersebut dibangun didalam KEL,” kata Panut Hadisiswoyo.
Hingga kini,
perusahaan Turki, PT. Hitay Panas Energy, terus melobby pemerintah Indonesia
untuk merezonasi ‘kawasan inti’ sehingga mereka dapat membangun pembangkit
panas bumi di jantung KEL. Proposal mereka saat ini didukung oleh Gubernur
Aceh, Zaini Abdullah.
Padahal, pada tanggal 30 September 2016, pihak Direktorat
Jendral KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) telah menegaskan
melalui surat No. 537/KSDAE/sa/Kum.8/9/2016 bahwa rezonasi di kawasan inti tidak dapat dipenuhi.
Akan tetapi
setelah pemilu serentak bulan lalu, Gubernur Aceh terpilih, Irwandi Yusuf,
telah berjanji untuk membatalkan sendiri proyek Hitay tersebut.
“Kami sangat
mendukung janji Pak Irwandi,” ujar Farwiza
Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh.
Akan tetapi, lanjut dia, kami juga
khawatir karena Hitay terus melakukan rapat tertutup dengan pihak KemenLHK dan
pemangku kepentingan lainnya untuk memanipulasi hukum di Indonesia sehingga
proyek tersebut dapat berjalan. Hal ini telah memancing beberapa kali protes
publik di Aceh dan di Jakarta.
"Kami tidak akan hanya duduk diam melihat hutan
kami dijual ke perusahaan asing dan akan terus mendorong pihak pemerintah untuk
menolak proposal apapun yang merusak KEL. Tak hanya itu,
beberapa proyek berskala besar untuk pembangunan PLTA juga diajukan di dalam
dan di sekitar Situs Warisan Dunia tersebut, seperti proyek PLTA sekitar daerah
serapan air di Kluet, Tampur, dan Jambo Aye," tegasnya.
“Proyek ini akan
menghancurkan area habitat penting orangutan yang merupakan salah satu satwa
terancam punah”, lanjut Panut. “Proyek-proyek ini pun tidak
sesuai dengan kepentingan masyarakat Aceh. Sebaliknya, kami menganjurkan
skema-skema pembangunan PLTA berskala kecil yang telah terbukti lebih efektif,
lebih aman terhadap lingkungan dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah
listrik di Sumatra. Apa ada orang berakal sehat yang ingin membangun dam
berskala besar yang menahan berton-ton air di salah satu daerah yang paling
sering mengalami gempa bumi di dunia? Apalagi ada ratusan masyarakat yang
tinggal di daerah hilirnya, yang ada hanya akan menambah bencana!” serunya
lagi.
Sementara Dr. Ian Singleton,
Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP) menyatakan KEL merupakan
ekosistem hutan hujan terbesar di Asia Tenggara. Ia merupakan harapan terakhir
bagi mamalia terancam punah seperti orangutan, gajah, badak dan harimau sumatra,
dan spesies-spesies langka lainnya.
Beberapa dari satwa tersebut tidak dapat ditemukan di belahan planet
lain. Akan sangat ironis apabila ekosistem yang begitu berharga dan tak
ternilai seperti Leuser, beserta keanekaragaman hayatinya, hilang demi energi
terbarukan.
"Walaupun kami sangat mendukung kebijakan pemerintah yang bergerak
ke arah energi terbarukan, tentu saja tidak semua energi terbarukan baik
apabila menghancurkan lanskap yang dilindungi, apalagi sebuah Situs Warisan
Dunia UNESCO,” demikian kata Dr. Ian Singleton.[Rls]