-->

Situs Warisan Dunia UNESCO Kembali Terancam

24 Maret, 2017, 19.16 WIB Last Updated 2017-03-24T12:16:49Z
BANDA ACEH - Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), yang memiliki luas 2,6 juta hektar, terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dan dinobatkan sebagai salah satu “kawasan tak tergantikan” oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Di dalam kawasan tersebut adalah salah satu Kawasan Hutan Tropis Sumatra-Situs Warisan Dunia (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra), yang sejak 2011 dimasukkan kedalam “Daftar Warisan Dunia Terancam” karena ekosistem ini tidak pernah berhenti digerus dan dirusak.

Hari ini, mega-proyek baru sedang direncanakan didalam KEL, walaupun hal ini melanggar peraturan pemerintah dan mengabaikan statusnya sebagai Situs Warisan Dunia.

Konsorsium LSM pelindung KEL telah mengirimkan sebuah kritik terhadap laporan Situs Warisan Dunia yang dibuat oleh pihak pemerintah Indonesia pada hari Senin, 20 Maret 2017, kepada UNESCO WHC. Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengirimkan laporan mengenai Situs Warisan Dunia kepada UNESCO WHC yang jauh berbeda dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Konsorsium LSM lingkungan mengirimkan laporan ke Pusat Warisan Dunia (UNESCO World Heritage Centre) dan mendesak intervensi untuk menghindari hancurnya Kawasan Hutan Tropis Sumatra-Situs Warisan Dunia
Direktur Orangutan Information Centre (OIC), Panut Hadisiswoyo mengatakan kritik kami menyoroti ancaman serius terhadap hutan-hutan yang ada di KEL. Beberapa diantaranya termasuk proyek-proyek PLTA dan pembangkit panas bumi yang diajukan di dalam kawasan penting. Lemahnya penegakan hukum di lapangan dan kehancuran hutan yang disebabkan oleh pembangunan jalan yang membelah KEL dan memfragmentasi populasi satwa liar. Belum pernah ada ancaman sebesar ini terhadap kawasan terakhir dimana orangutan, badak, harimau dan gajah masih hidup bersama ini. 

"Kami mendesak pihak Pusat Warisan Dunia untuk mengambil langkah darurat demi mencegah proyek-proyek tersebut dibangun didalam KEL,” kata Panut Hadisiswoyo.

Hingga kini, perusahaan Turki, PT. Hitay Panas Energy, terus melobby pemerintah Indonesia untuk merezonasi ‘kawasan inti’ sehingga mereka dapat membangun pembangkit panas bumi di jantung KEL. Proposal mereka saat ini didukung oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. 

Padahal, pada tanggal 30 September 2016, pihak Direktorat Jendral KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) telah menegaskan melalui surat No. 537/KSDAE/sa/Kum.8/9/2016 bahwa rezonasi di kawasan inti tidak dapat dipenuhi.

Akan tetapi setelah pemilu serentak bulan lalu, Gubernur Aceh terpilih, Irwandi Yusuf, telah berjanji untuk membatalkan sendiri proyek Hitay tersebut.

“Kami sangat mendukung janji Pak Irwandi,” ujar Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh.

Akan tetapi, lanjut dia, kami juga khawatir karena Hitay terus melakukan rapat tertutup dengan pihak KemenLHK dan pemangku kepentingan lainnya untuk memanipulasi hukum di Indonesia sehingga proyek tersebut dapat berjalan. Hal ini telah memancing beberapa kali protes publik di Aceh dan di Jakarta. 

"Kami tidak akan hanya duduk diam melihat hutan kami dijual ke perusahaan asing dan akan terus mendorong pihak pemerintah untuk menolak proposal apapun yang merusak KEL. Tak hanya itu, beberapa proyek berskala besar untuk pembangunan PLTA juga diajukan di dalam dan di sekitar Situs Warisan Dunia tersebut, seperti proyek PLTA sekitar daerah serapan air di Kluet, Tampur, dan Jambo Aye," tegasnya.

“Proyek ini akan menghancurkan area habitat penting orangutan yang merupakan salah satu satwa terancam punah”, lanjut Panut. “Proyek-proyek ini pun tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat Aceh. Sebaliknya, kami menganjurkan skema-skema pembangunan PLTA berskala kecil yang telah terbukti lebih efektif, lebih aman terhadap lingkungan dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah listrik di Sumatra. Apa ada orang berakal sehat yang ingin membangun dam berskala besar yang menahan berton-ton air di salah satu daerah yang paling sering mengalami gempa bumi di dunia? Apalagi ada ratusan masyarakat yang tinggal di daerah hilirnya, yang ada hanya akan menambah bencana!” serunya lagi.

Sementara Dr. Ian Singleton, Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP) menyatakan KEL merupakan ekosistem hutan hujan terbesar di Asia Tenggara. Ia merupakan harapan terakhir bagi mamalia terancam punah seperti orangutan, gajah, badak dan harimau sumatra, dan spesies-spesies langka lainnya.  Beberapa dari satwa tersebut tidak dapat ditemukan di belahan planet lain. Akan sangat ironis apabila ekosistem yang begitu berharga dan tak ternilai seperti Leuser, beserta keanekaragaman hayatinya, hilang demi energi terbarukan. 

"Walaupun kami sangat mendukung kebijakan pemerintah yang bergerak ke arah energi terbarukan, tentu saja tidak semua energi terbarukan baik apabila menghancurkan lanskap yang dilindungi, apalagi sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO,” demikian kata Dr. Ian Singleton.[Rls]
Komentar

Tampilkan

Terkini