BADAN lusuh bagai tak
pernah mandi dengan pakaian lusuh, demikian kondisi Faris Alfurqan (14) dan
Riska Ayu Amanda (11), anak dari Nuraini (32) yang kini tinggal di sebuah kebun
milik salah satu pengusaha area wisata di Gampong Mon Ikeun, Kecamatan Lhoknga,
Aceh Besar.
Suprianto (33), suami
ketiga dari Nuraini yang kini hanya sebagai seorang pengembala, mengaku
kehidupannya sedang dalam kondisi miris. Mengapa tidak, pria asal Medan ini
selain menghidupi dua anak yatim tersebut juga harus menghidupi empat anaknya
yang masih kecil-kecil dengan pendapatan keluarga tersebut hanya Rp 1 juta
perbulan, plus 32 kilo gram beras per bulan.
Hal yang paling mengiriskan
hati, Riska yang masih duduk di kelas III SDN I Lhoknga ini, selama ini kerap
mendatangi Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Lhoknga. Dia hanya sekedar untuk
mendapatkan bahan dalam dari ikan yang diolah oleh tukang ikan setempat hanya
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Tidak jarang, para nelayan
setempat menyumbang ikan, segera saat melihat sang gadis kecil itu yang setiap
hari datang dan meminta isi dalam dari ikan yang diolah oleh tukang ikan di TPI
setempat dengan alasan untuk membawa pulang ke rumahnya.
Saat ini, nasib para bocah
tersebut juga terganggu pendidikannya, karena selalu menempuh jarak hingga 3
kilometer antara tempat tinggal dan sekolah tempat mereka belajar saat ini.
Nuraini yang ditemui di
tempat tinggalnya, Rabu yang lalu (15/3/2017) , mengisahkan anak-anaknya
disuruh untuk mencari perut ikan tersebut karena mereka tidak ada uang untuk
membeli ikan segar sebagaimana yang biasa dinikmati orang lain. Sedangkan gaji
yang diterima dari penggembala ternak dan membersihkan kebun milik Cut Yang
(pemilik taman tepi laut Lhoknga) hanya sejuta rupiah per bulan.
Menurut Nuraini, kehidupan
terombang-ambing seperti itu dengan enam orang anak. Berawal dari meninggalnya
suami pertamanya sekitar tahun 2006 lalu akibat penyakit. Wanita asal Calee
Sigli ini telah menjadi warga Aceh Besar sejak tahun 2002 lalu, dan mendiami
Gampong Labui Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Bahkan Nuraini pernah memiliki
rumah dan diatas sebidang tanah pada saat itu, namun rumah tersebut disita oleh
salah satu perbankan akibat suami keduanya terlibat kredit dan kemudian
melarikan diri.
Pada tahun 2010, Nuraini
dinikahi oleh Suprianto, sejak saat itu keluarga ini bersama dua anak yatim
Nuraini mencoba mempertahankan hidup melalui mencari pekerjaan hingga ke Dumai
Riau dan Sumatera Selatan bekerja di perkebunan sawit. Namun semua itu tidak
membuahkan hasil yang manis karena tidak tahan hidup ditengah-tengah masyarakat
tak seagama. Akhirnya memilih pulang kembali ke Provinsi Aceh.
Sekitar setahun setengah
lalu, keluarga ini mendiami Gampong Mon Ikeun, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar,
dengan mata pencaharian sang suami hanya sebagai buruh kasar dan bekerja
layaknya buruh lepas. Sejak tiga bulan terakhir sang majikan pemilik lokasi
wisata tepi Laut Lhoknga memberikan pekerjaan kepada keluarganya dengan
menggembala ternak sapi serta membersihkan kebun di sekitar lokasi taman tepi
laut atau tepatnya di kaki Gunung Riting dengan diberikan fasilitas rumah
seluas 4 x 6 arus listrik, TV, air bersih dan beras seberat 32 kilo gram per
bulan serta gaji tetap Rp 1 juta rupiah per bulan.
Ibu enam anak ini mengaku,
berterimakasih atas bantuan yang diberikan oleh pemilik lokasi wisata yang
terkenal di era 90-an itu. Tapi geraknya menjadi terbatas dan tidak dapat
berbuat lain untuk menambah dan membantu ekonomi keluarga, sementara diandalkan
dari gaji yang di berikan majikan tersebut sungguh tidak cukup di jaman yang
serba mahal ini.
Ia berkeinginan, ada
penderma yang sudikiranya membantu dirinya untuk dapat melakukan aktifitas
sejenis dagang gerobak, guna menambah ekonomi keluarga.
Kecuali itu, saat ini
dirinya juga dalam kondisi sangat membutuhkan uang untuk mengambil surat pindah
sekolah anaknya di Medan, karena pihak sekolah setempat sering menakut-nakuti
anaknya dengan ancaman tidak akan naik kelas karena tidak memiliki surat
pindah.
"Riska kini masih
status siswa titipan, karena belum berhasil saya ambil surat pindahnya ke
medan," kata Nuraini.
Mencuatnya ada keluarga
miskin yang terabaikan ini, saat salah seorang penderma sekaligus anggota
Kepolisian Polda Aceh Ibrahim Paradeh yang kini bertugas di Polda Aceh,
memergoki sang gadis manis itu saat meminta bahan dalam dari ikan yang diolah
oleh tukang ikan di TPI Lhoknga pada Senin 13 Maret lalu.
Mantan Kapolsek
Baitussalam dan Ingin Jaya ini mengaku sangat tersentak perasaannya saat
mendengar kisah sang pengolah ikan setempat, Abdullah (65), yang mengaku setiap
hari gadis kecil tersebut bersama adik tirinya meminta perut ikan ke pihaknya.
Tidak jarang para nelayan memberikan ikan segar alakadar, jika tidak gadis
tersebut hanya membawa pulang perut ikan atau bahan dalaman dari ikan yang
seharusnya tidak dimakan karena tidak enak.
Cerita tersebut membuat
Perwira Polisi dengan identik cincin batu di seluruh jari tangannya ini,
meneteskan air mata, hingga memutuskan menelusuri alamat anak tersebut.
Menjelang magrib pada hari itu, Ibrahim menelurusi jejak anak tersebut, meski
saat itu Ibrahim harus menelusuri dan melewati perkebunan orang dan melewati
jalan yang terjal dipenuhi duri kawat pagar kebun di sekitar tepi laut itu.
Sekitar pukul 18.50 WIB,
Ibrahim berhasil menemukan tempat tinggal dan keluarga sang gadis yatim itu.
Seketika Ibrahim pulang dikarenakan hari sudah malam. Keesokan harinya, Ibrahim
ditemani istri kembali mendatangi keluarga tersebut, ironisnya kisah hidup
keluarga beranggotakan delapan orang itu cukup histeris.
Sejumlah sembako pun
disumbangkan Ibrahim termasuk pakaian kepada keluarga tersebut. Bahkan Ibrahim
berencana akan membelikan sepeda kepada dua anak yatim itu supaya mempermudah
dalam bersekolah.
"Jika saya ada rezeki
akan saya beli sepeda nanti supaya dapat bersekolah dengan nyaman," kata
Ibrahim.[DW]