IST |
BANDA ACEH - Grup Aceh Lamuri Foundation (ALIF) dan Grup Sejarah Indatu Lamuria Aceh (SILA) meminta Pemerintah Aceh jangan mengganggu eksitensi Suku Mante.
Hal tersebut disampaikan Ketua ALIF, Mawardi Usman dan Ketua SILA, Muammar Al Farisi kepada LintasAtjeh.com dalam rilisnya, Jum'at (31/03/2017).
"Suku Mante sudah lama hidup di pedalaman Aceh dan menjauhi manusia. Saya kira tidak ada untungnya mengganggu Suku Mante. Dalam sejarah, Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah sempat menangkap dua orang Suku Mante (suami dan istri). Mereka tidak mau bicara dan makan, mereka memilih mati kelaparan," demikian kata Mawardi Usman.
Saat itu, lanjut dia, Sultan menangisi kematian dua Suku Mante tersebut dan kemudian mengeluarkan peraturan jangan mengganggu mereka jika berjumpa di hutan. Suku Mante adalah suku berharga diri tinggi mereka lebih memilih mati ketimbang menerima bantuan orang lain. Jadi amat tidak bijak jika pemerintah mencari suku mante yang akan mengakibatkan mereka tersinggung maka diperlukan langkah yang bijaksana.
"Cerita Suku Mante serba sedikit diungkit dalam buku sejarah Aceh Yunus Jamil, Ketua lAKA pertama dalam bukunya tawarikh raja-raja Aceh menulis Suku Mante berasal bangsa Hindia, Siam, Kamboja, Funan dan Campa mereka pecahan bangsa Mon Khmer dan Suku Mantir atau Mantra di Aceh mereka dipanggil Mante," terangnya.
Kedatangan mereka, menurut Dada Meuraxa tahun 3000 SM dengan tujuan mencari emas di hulu sungai Tutut dan Tangse. Dada Meuraxa mengatakan mereka bangsa Mantinea yang kalah melawan Suku Doris Hijrah ke Aceh mencari emas dan membuat kerajaan di Lamteuba dan Seulimuem.
Sedangkan, dalam buku Al Mohit karangan ulama Ahmadabad ada diceritakan bahwa di Timur Lamuri ada kerajaan misterius bernama Mandara yang kaya raya. Kata Mandara yang lebih mirip kata Mantra atau mantir atau kerajaan Mante tampaknya sudah lama dikenal.
Menarik juga dikaji bahwa Iskandar Muda dalam usia 12 tahun menggunakan tombak Harongan, Mandora membunuh kerbau liar di Lam Anal dalam pertarungan satu lawan satu. Kerbau yang kebal senjata tajam dan membunuh banyak orang tewas dengan tombak Harongan Mandora dan Harongan Darat, demikian cerita dalam Hikayat Raja Aceh.
Suku Mante memang dikenal ahli besi dan emas dan mengapa kemudian muncul cerita mereka pendek dan kurang peradaban. Setelah kekayaan mereka menjadi banyak dan kerajaan mereka jaya mereka hanya menikah dengan sesama kerabat sendiri akhirnya menyebabkan keturunan mereka melemah dan umumnya bodoh dan lebih pendek dari leluhur mereka.
Mereka menolak peradaban luar, sikap mereka ini kemudian menjadi pepatah Teutahe Gante Lage Mante Tron U Banda dan orang Meureudu yang datang terlambat menghadap Iskandar Muda menyesali diri menyebut diri mereka seperti Kaum Mante, Geutanyoe Meureudu Teutahe Gante Lage Mante Tron dari rimba (kita orang Meureudu terheran-heran sama seperti kaum Mante yang turun dari rimba).
Kaum Mante ini makin lama makin tersingkir dan jauh dari peradaban. Kemudian mengembara dalam hutan-hutan Aceh. Kisah lain mengatakan kaum Mante suka berdiam dalam ruang besar pepohonan di hutan.
Kisah lain dari pengelana Arab mengatakan di Zabej (Cot Jabet) ada wanita yang memakai sayap yang tinggal di pepohonan mereka umumnya dikenal sangat cantik. Sayap yang dilihat kaum penjelajah bisa jadi baju zirah zaman kuno yang bersayap yang dapat menerbangkan tubuh manusia ke udara namun tampaknya teknologi sayap itu hanya bisa digunakan kaum wanita yang berat tubuhnya cukup ringan.
Teknologi itu juga menghilang sama dengan teknologi pedang Damaskus Aceh yang dibawa kaum pengrajin Turki dan Suriah yang kemudian diajarkan di Bitay. Setelah perang Belanda, teknologi besi Aceh, batu Aceh, kapal cakra donya dan teknik lainnya ikut menghilang.
"Yang intinya zaman dulu di Aceh ada teknologi yang sangat maju dan kemudian menghilang. Selain itu, masih banyak hal yang belum kita ketahui tentang Aceh," pangkas Mawardi Usman.[Red]