KAMPUNG Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang adalah kampung yang telah berdiri sejak tahun 1953. Menurut keterangan yang dihimpun dari pelaku sejarah yang masih hidup saat ini, yakni mantan Datok Penghulu (Kepala Desa) Kampung Perkebunan Sungai Iyu yang ke empat, bernama Dukut, diketahui bahwa sebelum daerah tersebut menjadi kawasan perkampungan, merupakan areal perkebunan karet/rambong yang dikelola dan dikuasai oleh Belanda.
Pada perkebunan tersebut kolonial Belanda juga membangun pabrik karet/rambong untuk pengolahan hasil perkebunan berupa getah karet/rambong. Selain itu, juga dibangun perumahan untuk masyarakat sekitar yang dijadikan sebagai buruh kebun dan juga buruh pabrik.
Singkat cerita, setelah Indonesia merdeka, Dukut menjelaskan, sekitar tahun 50-an perkebunan tersebut beralih menjadi milik negara. Dan untuk mengatur dan menjalankan usaha tersebut, Pemerintah Republik Indonesia membentuk perusahaan di bawah naungan negara yang bernama Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Sedangkan pekerja atau buruh yang telah ada dan telah berdiam di perumahan kebun tersebut tetap dipekerjakan kembali.
Dan pada akhir tahun 1953, kawasan perumahan pekerja atau buruh perkebunan Sungai Iyu resmi dibentuk menjadi daerah perkampungan yang definitif oleh pihak pemerintah, bernama Kampung Perkebunan Sungai Iyu. Secara administratif, kampung tersebut tunduk di bawah Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Timur, Aceh Darussalam. Datok Penghulu pertama Kampung Perkebunan Sungai Iyu adalah (Alm) OK Mahidin (1953 s.d 1975), dan camat pertama saat itu bernama (Alm) OK Sati.
Saat berdirinya Kampung Perkebunan Sungai Iyu, kondisi keamanan di Kabupaten Aceh Tamiang belum stabil karena ketika itu sedang terjadinya pemberontakan akibat Maklumat Negara Islam Indonesia yang dikeluarkan oleh Abu Daud Beureu'eh dibawah Imam SM Kartosoewiryo pada tanggal 20 September 1953 dengan membentuk Darul Islam Tentara Indonesia (DI-TII).
Akibat pemberontakan tersebut, akhirnya, akhirnya pada tahun 1956, terjadilah kesepakatan dan kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemberontak DI-TII, dengan memberikan kompensasi lahan untuk perkebunan kepada Pemberontak DI-TII.
Lahan yang diberikan oleh pemerintah untuk kompensasi kepada Pemberontak DI-TII, salah satunya adalah Perkebunan karet/rombong Sungai Iyu yang sebelumnya dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Peralihan dari PPN kepada Pemberontak DI-TII saat itu sesuai dengan kesepakatan kompensasi dan lahan perkebuman jatuh ke tangan Ali Basyah, yang kemudian beralih penguasaan dan pengelolaannya ke tangan Gani Mutiara dengan tujuan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan yang bergabung dengan DI-TII.
Kemudian, selaku pemegang mandat lahan kompensasi yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan. kesejahteraan yang bergabung dengan DI-TII tersebut, Gani Mutiara mendirikan perusahaan yang bergerak dibidang usaha perkebunan sawit dengan nama PT. Parasawita dan melakukan pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan tersebut, sehingga pada tahun 1965 terbitlah Hak Guna Usaha (HGU) untuk pertama kalinya dari pemerintah atas nama PT. Parasawita, dan sampai saat ini perkebunan tersebut dikelola oleh keturunan yang menjadi ahli waris dari (Alm) Gani Mutiara.
Menurut keterangan Dukut, pada saat berdirinya Kampung Perkebunan Sungai Iyu telah memiliki batas-batas wilayah, yaitu:
(1). Sebelah Barat: Berbatasan dengan Kampung Marlempang.
(2). Sebelah Timur: Berbatasan dengan Kampung Seunebok Dalam, Sungai Iyu.
(3). Sebelah Utara: Berbatasan dengan Kampung Paya Rehat, Tengku Tinggi, Tanjung Lipat, dan Alur Cantik.
(4). Sebelah Selatan: Berbatasan dengan Kampung Marlempang, dan Dusun Matang Cengal, Kampung Balai.
Walaupun pemerintahan Kampung Perkebunan Sungai Iyu sudah berdiri dan masyarakat yang tinggal secara turun menurun, begitu juga dengan urusan-urusan telah berjalan dan dikelola secara turun menurun sebagai norma-norma dan telah melembaga menjadi satu bentuk hukum yang mengikat.
Namun sampai saat ini wilayah administrasi perkampungan dan areal sebagai tempat pemukiman warga belum berstatus milik sendiri atau dengan kata lain masih menumpang di dalam areal perusahaan an belum keluar dari kawasan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Parasawita, yang sekarang menjadi kawasan HGU PT. Raya Padang Langkat (RAPALA).
CATATAN PENTING:
(1). Selama konflik masalah lahan masyarakat dengan PT. Rapala, Kakanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh, yang saat itu dijabat oleh Mursil SH, yang notabene pribumi Tamiang asli, tidak pernah hadir dan membantu masyarakat untuk menyelesaikan tuntutan masyarakat mengenai sengketa lahan tersebut.
(2). Dalam SK BPN RI Nomor: 73/HGU/BPN RI/2014, Tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu HGU kepada PT. Rapala, tanggal 14 April 2014, perusahaan menjustifikasikan semua persoalan konflik/sengketa lahan dan dianggap selesai. Melihat pada halaman 3 (tiga) point h pada SK diatas, Kakanwil BPN Aceh Mursil SH, telah memberikan Pertimbangan Persetujuan untuk Perpanjangan Jangka Waktu HGU, tanpa dan mempertimbangkan persoalan-persoalan masyarakat. Atas dasar itu, LSM GEMPUR dan didukung oleh LembAHtari sepakat mempertanyakan tentang kenapa masalah konflik/sengketa sengketa areal tidak selesai?
Seharusnya pihak BPN dan juga Pemkab Aceh Tamiang harus bertanggung jawab terhadap permasalahan konflik masyarakat dengan pemegang HGU PT. Rapala. Ada apa dengan Mursil dan Hamdan Sati?
Penulis: Syahri El Nasir, S.Kom (Sekretaris LSM Gerakan Meusafat Peduli Untuk Rakyat (GEMPUR) Kabupaten Aceh Tamiang)