MEDAN - Pendidikan semestinya bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa dan berimplikasi kuat pada proses empowerment (pemberdayaan). Hal ini perlu ditegaskan kembali,
karena tingkat pendidikan yang meningkat ternyata tidak selalu inheren dengan tingkat pemberdayaan, dan karenanya tidak inheren pula dengan tingkat kemandirian.
Hal tersebut disampaikan Ketua PW. Muhammadiyah Sumut Prof. Dr. Hasyimsyah, MA, dalam kata sambutannya saat digelar dialog dengan Menteri Pendidikan RI, Sabtu (07/01/2016).
Dalam sambutannya juga, Ketua PW. Muhammadiyah Sumut mengatakan pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena
melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang utuh dan
sebenarnya.
Sebaliknya,
sambungnya, kadang-kadang meningginya tingkat pendidikan malah berimplikasi padamakin meningkatnya
ketergantungan kepada pihak-pihak lain. Dalam upaya mencerdaskan bangsa pendidikan
seharusnya dipandang sebagai alat perjuangan pencerahan manusia. Sebagai alat perjuangan
pencerahan manusia maka minimal ada tiga aspek yang harus ada dalam sebuah proses
pendidikan.
Pertama, aspek iman, yang berorientasi pada proses pembentukan keyakinan manusia akan penciptanya (spiritualitas). Kedua, aspek kognisi, yang berorientasi pada perubahan pola pikir (intelektualitas). Ketiga, Aspek affeksi, yang berorientasi pada
perubahan sikap mental dan perilaku (mentalitas).
Sedangkan Menteri Pendidikan RI Prof. Dr. Muhajir Effendi dalam pemaparannya mengatakan
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensidirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
"Pendidikan yang sukses
adalah pendidikan yang mampu mengantarkan pelajar menjadi bertaqwa, berkepribadian
matang, berilmu mutakhir dan berprestasi, mempunyai rasa kebangsaan, dan berwawasan
global," sebutnya.
Dijelaskannya juga, bahwa UN sesungguhnya sudah baik, akan tetapi dalam pelaksanaannya UN sangat banyak ditemukan sebuah proses yang mengajarkan
kepada anak didik untuk berbohong. Realita di lapangan membuktikan bahwa suatu daerah mengharuskan kelulusan siswa itu minimal 90%, sehingga kepala dinas akan menekan kepala
sekolah, kepala sekolah akan menekan guru, guru akan melakukan segala cara untuk bisa
membantu siswa sampai memberikan bocoran jawaban.
"Saat ini, UN bukanlah penentu kelulusan akan tetapi proses ini tetap terjadi, karena adanya tekanan harus lulus 100% atau minimal 90%.
Ini akan memberikan pembelajaran yang tidak baik untuk dunia pendidikan kita," tandasnya.
Sementara Ketua PW. Pemuda Muhammadiyah Sumatera Utara M. Basir Hasibuan, M.Pd, mengatakan dialog ini merupakan program bidang pendidikan PW. Pemuda
Muhammadiyah sebagai bentuk partisipasi aktif Pemuda Muhammadiyah dalam melakukan pencerdasan terhadap bangsa.
Dalam kesempatan ini PW. Pemuda Muhammadiyah Sumut
memberikan rekomendasi kepada Menteri Pendidikan. Adapun beberapa rekomendasi yang diberikan sebagai berikut:
1. Perlunya pembaharuan buku ajar di Indonesia
.
2. Meningkatkan kesejahteraan guru berbasis prestasi dan kinerja guru yang lebih
profesional.
3. Membuat aturan sanksi yang jelas buat guru yang tidak meningkatkan kualitas mengajarnya di kelas. Apakah teguran sampai pemberhentian sertifikasi?
4. Guru honor harus lebih diperhatikan kesejahteraannya.
[Red]