-->

Situs Berita 'HOAX' Hasilkan Ratusan Juta Rupiah

02 Desember, 2016, 15.55 WIB Last Updated 2016-12-02T09:10:53Z
IST
JAKARTA - Internet menjadi ladang informasi tanpa batas dengan penyebaran cepat dan cakupan luas. Masyarakat bisa mengetahui sebuah peristiwa secara real-time dan belajar tentang apa saja, hanya dengan mengetik kata kunci di kolom mesin pencari.

Namun, ada konsekuensi dari membludaknya informasi, terlebih ketika semua orang bebas berperan sebagai sumber informasi. Konsekuensi itu adalah buramnya dinding pembatas antara fakta dan hoax.

Komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia berhasil mengindentifikasi dua situs yang berperan dalam menyebarkan berita hoax. Inisiator komunitas tersebut, Septiaji Eko Nugroho, dengan gamblang menyebut nama situsnya, yakni pos-metro.com dan nusanews.com.

Menurut hasil telaah komunitas tersebut, setidaknya ada dua mahasiswa asal Sumatera yang diketahui sebagai pihak pembuat portal berita hoax tersebut. KompasTekno telah mencoba mengakses dua situs itu namun tak berhasil karena telah diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Apa motif dari pembuatan situs penyebar berita hoax tersebut? Tidak lain karena urusan uang. Masih menurut Septiaji, penyebaran berita hoax di internet sudah menjadi komoditas. Bahkan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak segan mencari nafkah dengan menyebar berita bohong.

"Ada yang tadinya PNS, kemudian keluar dari PNS karena fokus mengelola situs penyebar kebencian seperti itu," kata inisiator komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, Septiaji Eko Nugroho kepada KompasTekno via pesan singkat, Jumat (2/12/2016).

Septiaji tak menyebut identitas detil sang oknum PNS itu. Yang jelas, kata dia, bisnis situs berita hoax dianggap menguntungkan dan tak perlu modal serta biaya operasional besar, sehingga menarik minat banyak orang.

Bisa dapat Rp 600-700 Juta

Seperti dijelaskan sebelumnya, duit yang diraup situs berita hoax terhitung besar. Pendapatan rata-ratanya dikatakan berkisar Rp 600 juta hingga Rp 700 juta per tahun.

"Itu estimasi, bisa lebih, bisa kurang. Tim kami menganalisis dari trafik dan potensi iklan yang didapat dari AdSense," kata Septiaji.

Logikanya sederhana, berita hoax kebanyakan memuat konten sensasional tanpa ada verifikasi. Konten sensasional itu mengundang clickbait dan ujung-ujungnya menjadi lahan subur bagi layanan iklan Google AdSense.

Septiaji berharap fenomena penyebaran berita hoax ini bisa segera ditindak tegas oleh pemerintah. Ia dan komunitasnya hanya bisa mengawasi dan saling berbagi informasi terkait pergerakan para penyebar berita tak benar.

"Kami berbasis kekuatan komunitas. Kami menggalang netizen yang peduli dengan pentingnya media sosial yang positif. Untuk jangka pendek, kami akan mulai memperkuat jaringan antar relawan anti hoax, antar grup anti hoax, sharing resource, dan memperbanyak sinergi," ia menjelaskan.

Ke depan, Septiaji juga berencana menggandeng tokoh-tokoh budaya, ustaz, ulama, tokoh pendidikan, serta tokoh profesi yang punya pengaruh baik di media sosial dan dunia offline.

Tujuannya agar tokoh-tokoh itu bisa turut mensosialisasikan penggunaan media sosial yang tepat dan betapa bahayanya menyebar fitnah dari sisi moral, budaya, etika, dan agama.[Kompas]
Komentar

Tampilkan

Terkini