IST |
JAKARTA
- Internet
menjadi ladang informasi tanpa batas dengan penyebaran cepat dan cakupan luas.
Masyarakat bisa mengetahui sebuah peristiwa secara real-time dan belajar
tentang apa saja, hanya dengan mengetik kata kunci di kolom mesin pencari.
Namun, ada konsekuensi
dari membludaknya informasi, terlebih ketika semua orang bebas berperan sebagai
sumber informasi. Konsekuensi itu adalah buramnya dinding pembatas antara fakta
dan hoax.
Komunitas Masyarakat Anti
Fitnah Indonesia berhasil mengindentifikasi dua situs yang berperan dalam
menyebarkan berita hoax. Inisiator komunitas tersebut, Septiaji Eko Nugroho,
dengan gamblang menyebut nama situsnya, yakni pos-metro.com dan nusanews.com.
Menurut hasil telaah
komunitas tersebut, setidaknya ada dua mahasiswa asal Sumatera yang diketahui
sebagai pihak pembuat portal berita hoax tersebut. KompasTekno telah mencoba
mengakses dua situs itu namun tak berhasil karena telah diblokir Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Apa motif dari pembuatan
situs penyebar berita hoax tersebut? Tidak lain karena urusan uang. Masih
menurut Septiaji, penyebaran berita hoax di internet sudah menjadi komoditas.
Bahkan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak segan mencari nafkah dengan menyebar
berita bohong.
"Ada yang tadinya
PNS, kemudian keluar dari PNS karena fokus mengelola situs penyebar kebencian
seperti itu," kata inisiator komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia,
Septiaji Eko Nugroho kepada KompasTekno via pesan singkat, Jumat (2/12/2016).
Septiaji tak menyebut
identitas detil sang oknum PNS itu. Yang jelas, kata dia, bisnis situs berita
hoax dianggap menguntungkan dan tak perlu modal serta biaya operasional besar,
sehingga menarik minat banyak orang.
Bisa dapat Rp 600-700 Juta
Seperti dijelaskan
sebelumnya, duit yang diraup situs berita hoax terhitung besar. Pendapatan
rata-ratanya dikatakan berkisar Rp 600 juta hingga Rp 700 juta per tahun.
"Itu estimasi, bisa
lebih, bisa kurang. Tim kami menganalisis dari trafik dan potensi iklan yang
didapat dari AdSense," kata Septiaji.
Logikanya sederhana,
berita hoax kebanyakan memuat konten sensasional tanpa ada verifikasi. Konten
sensasional itu mengundang clickbait dan ujung-ujungnya menjadi lahan subur
bagi layanan iklan Google AdSense.
Septiaji berharap fenomena
penyebaran berita hoax ini bisa segera ditindak tegas oleh pemerintah. Ia dan
komunitasnya hanya bisa mengawasi dan saling berbagi informasi terkait
pergerakan para penyebar berita tak benar.
"Kami berbasis
kekuatan komunitas. Kami menggalang netizen yang peduli dengan pentingnya media
sosial yang positif. Untuk jangka pendek, kami akan mulai memperkuat jaringan
antar relawan anti hoax, antar grup anti hoax, sharing resource, dan
memperbanyak sinergi," ia menjelaskan.
Ke depan, Septiaji juga
berencana menggandeng tokoh-tokoh budaya, ustaz, ulama, tokoh pendidikan, serta
tokoh profesi yang punya pengaruh baik di media sosial dan dunia offline.
Tujuannya agar tokoh-tokoh
itu bisa turut mensosialisasikan penggunaan media sosial yang tepat dan betapa
bahayanya menyebar fitnah dari sisi moral, budaya, etika, dan agama.[Kompas]