IST |
JAKARTA - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kholil Pasaribu mengungkapkan dari berbagai kasus korupsi politik yang terjadi, mayoritas memiliki korelasi dengan dinasti politik. Seperti terjadi di Ciamis, Bangkalan Madura, hingga Banten.
"Sudah ada empat kasus kepala daerah tertangkap, yang berkaitan politik dinasti. Politik dinasti selalu dibangun dengan model dua periode kekuasaan, kemudian disiapkan generas penerus. Birokrasi sudah dikuasi setelah dua kali menang, kemudian menguasai birokrasi dan ceruk ekonomi," tegasnya, dalam diskusi Lawan Korupsi Tolak Dinasti Politik yang diselenggarakan di kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Selasa (20/12/2016) lalu.
Kata dia, jika politik dinasti tidak dilawan sejak dini, maka dalam jangka panjang akan sulit dijatuhkan karena sudah menguasasi ekonomi birokrasi sekaligus juga bisa menggunakan ancaman.
"Perangkat politik dan korporasinya masih kuat meski bisa saja dinastinya hilang," kata dia.
Contoh nyata politik dinasti, kata Kholil, dalam proyek-proyek di Banten, seringkali perusahaan dari luar tidak akan bisa masuk. Birokrasi hanya akan menunjuk perusahaan yang memiliki afiliasi dengan keluarga.
Seperti terjadi dalam korupsi alat kesehatan di RSUD Tangerang Selatan.
Politik dinasti cenderung mengamankan sumber daya ekonomi, korporasi pun milik saudara, sedangkan perusahaan lain macet tidak akan bisa masuk ke Banten.
"Tidak ada kontestasi yang fair. Tak heran, wajah di Banten itu wajah kota lama. Ini terjadi, karena dalam politik dinasti, pembangunan pendidikan kesehatan dilakukan dengan setengah hati Banten punya uang banyak tapi dikerubutin keluarga," tegasnya.
Hal lain yang diingatkan oleh Kholil, politik dinasti berpotensi selalu berusaha curang dalam setiap pemilihan politik seperti Pilkada. Contoh nyata dalam kasus Pilkada Lebak, Banten.
"Politik dinasti itu selalu berusaha curang dalam pilkada, merebut kursi dan merebut sumber daya. Politik dinasti memang cenderung korupsi," tandasnya.
Koordinator Forum Banten Bersih (FBB) sekaligus Kepala Sekolah Anti Korupsi, Beno Novit Neang, meminta masyarakat untuk lebih mewaspadai kebangkitan dan bahaya politik dinasti karena hanya menyuburkan korupsi.
Untuk itu, jangan ada lagi kesempatan para pelaku korupsi yang tergabung dalam politik dinasti diberi kesempatan memimpin.
Politik dan korupsi dinasti, kasus di banten, korupsi itu bukan masalah serius yang disikapi, keluarga koruptor masih dengan mudah memimpin," tegas Beno, dalam diskusi Lawan Korupsi Tolak Dinasti Politik yang diselenggarakan di kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Selasa (20/12/2016).
Ia mengingatkkan, korupsi di Banten begitu massif. Ada sistem politik dinasti yang menggurita. Tidak ada satu pun mereka yang menjadi bagian dinasti politik mampu mensejahterakan masyarakat.
"Politik dinasti mulai di era Ratu Atut, setelah tidak berkuasa, kemudian menunjuk anggota keluarga menjadi kepala daerah. Hampir lima daerah dikuasi oleh mereka. Politik dinasti ruang membuka untuk korupsi," tegasnya.
Agar politik dinasti bisa dihilangkan, ia menyarankan masyarakat untuk menggunakan hak pilih dan tidak memilih para calon dari bagian yang terindikasi korupsi.
"Gunakan instrumen untuk memberi sanksi para politisi culas politik dinasti untuk tidak dipilih," katanya.
Menurut dia, sangat tidak tepat ada penilaian bahwa pengerakan anti korupsi tidak boleh mengkritik politik dinasti karena masuk wilayah elektoral. Justru, gerakan anti korupsi, harus masuk lebih dalam lagi. "Kalau diam sama saja berdosa terhadap publik," ucapnya.
Banten, kata Beno, sudah membuktikan akibat politik dinasti, ada begitu banyak korupsi besar. Banten merupakan daerah koupsi terbesar setelah Aceh dan Papua. Tak heram, KPK menjadikan Banten sebagai pilot project pencegahan korupsi.
Akibat politik dinasti, anggaran publik hanya dipakai secuil karena mayoritas mengandalkan swasta. Misal di Tangerang Selatan, yang diurus hanya 40 persen, sisanya 60 persen oleh swasta.[Rls]