KABUPATEN
Aceh Singkil merupakan Kabupaten satu-satunya daerah tertinggal dan termiskin
di Provinsi Aceh yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo melalui
Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal
Tahun 2015-2019.
Aceh Singkil yang sudah
berdiri selama 17 tahun, belum mampu bersaing dengan kabupaten/kota lainnya
yang ada di Provinsi Aceh. Dibandingkan dengan Kota Subulussalam, Aceh Singkil
sangat jauh ketinggalan dilihat dari perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, kemampuan keuangan daerah,
serta aksesibilitas dan karakteristik daerahnya. Kota ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Merupakan pemekaran dari
Kabupaten Aceh Singkil.
Dikeluarkannya PP No.131
Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019, timbul
pertanyaan. Selama 17 tahun Aceh Singkil telah mandiri, kemana program
pemerintahnya?
Aceh Singkil juga
merupakan salah satu daerah rawan bencana khususnya banjir. Menurut M. Nur,
penulis kutip dari laporan Dede Rosadi kepada Serambi, 6 november 2015 lalu.
Potensi terjadinya banjir yang sangat parah disejumlah daerah, termasuk Aceh
Singkil, itu terjadi karena banyaknya pengalihan lahan basah kelahan kering,
menyangkut dengan wilayah pesisir yang merupakan lahan basah.
Saat ini belasan
perusahaan kelapa sawit telah beroperasi di Kabupaten Aceh Singkil yang memakan
lahan puluhan ribu hektar, sehingga Aceh Singkil menjadi daerah monokultur
sawit. Menurut Kepala Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Aceh, M. Nasir, keberadaan perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Singkil
dapat merusak hutan rawa gambut. Mengingat ada perusahaan yang menanam kelapa
sawit di hutan rawa gambut tersebut.
Aceh Singkil yang meliputi
11 kecamatan, 16 kemukiman, dan 120 desa, yang luasnya sekitar 1.857,88 kilometer
persegi. Dari luasan tersebut, termasuk di dalamnya kawasan lindung, taman
wisata alam, dan suaka margasatwa rawa Singkil. Sebagaimana yang dituturkan M.
Natsir, sebanyak 36,65% lahan telah digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
Al-Hasil, Aceh Singkil yang dulunya banjir setahun 2 kali, saat ini bisa
menjadi 5 kali dalam setahun.
Keberadaan perusahaan
kelapa sawit di Kabupaten Aceh Singkil, bukan hanya memberikan potensi rawan
banjir, namun kerap kali melahirkan Konflik sengketa lahan, antara masyarakat
dengan Perusahaan. Pertanyaannya, Bagaimana Proses ijin HGU perusahaan di
Kabupaten Aceh Singkil?
Secara teori, keberadaan
perusahaan kelapa sawit di Aceh Singkil dapat membantu pertumbuhan prekonomian
daerah, juga mengurangi pengangguran di Aceh Singkil. Namun sangat disayangkan
hal ini tidak sesuai dengan penetapan PP No. 131 tentang penetapan daerah
tertinggal dan termiskin. Masyarakat singkil, ibarat pepatah “Itik berenang,
mati kehausan”.
Harapan rakyat Aceh
Singkil untuk pemimpin kedepan periode 2017-2022
Dikeluarkannya PP No. 131
tentang penetapan daerah tertinggal dan
termiskin, ini menjadi PR yang sangat besar untuk pemerintah kedepannya. Kami
yakin program-program yang dituangkan dalam visi-misi para kandidat, adalah
program yang pro kepada rakyat. Dan kami yakin juga para kandidat adalah
orang-orang pilihan, cendikiawan, orang yang amanah dan taat pada agama.
Harapan kami, program yang
telah disusun dapat terealisasi dengan baik. Sehingga rakyat Aceh Singkil,
betul-betul makmur dan sejahtera. Sehingga bebas dari pengangguran dan
kemiskinan.
Harapan kami juga,
masyarakat yang berada di daerah aliran sungai rawan terhadap bencana banjir,
agar dapat diperhatikan dengan serius. Mengingat banjir yang sering terjadi
menimbulkan kerugain-kerugian yang sangat besar. Mulai dari memakan korban dan
kegagalan panen terhadap petani padi yang ada di Aceh Singkil.
Kami juga berharap kepada
pemimpin kedepan, dalam proses ijin HGU perusahaan kelapa sawit yang ada di
wilayah Aceh Singkil, agar diproses dengan benar dan pertimbangan-pertimbangan
yang cukup matang. Sehingga kehadiran perusahaan tidak menimbulkan bencana bagi
rakyat Aceh Singkil.
Penulis: Salihuddin Manik,
SH (Alumni Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prodi Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry
Banda Aceh)