DALAM memulai pembicaraan ini, terlebih dahulu kita mengawalinya dengan sinergisitas, tanpa embel-embel apapun, agar semuanya berjalan sesuai dengan garis keberimbangan. Sebab itu adalah mental utama kita dalam membangun karakteristik idealisme pemuda dan mahasiswa Aceh.
Hari ini juga kita tegaskan kepada diri kita sendiri bahwa kita adalah harta terakhir yang dimiliki rakyat, untuk memperjuangkan segala kepentingannya. Maka jika itu berbalik, konsekuensinya adalah hilangnya kepercayaan mereka terhadap kita, dan itu hal yang tentu tidak kita inginkan.
Pemerintah, dalam hal ini selaku pelaku peningkatan kesejahteraan rakyat bekerja dengan begitu gigihnya, dengan begitu konsistennya agar terciptanya sebuah komunitas masyarakat yang maju, aman, tentram dan sentosa. Dengan spirit tersebut, maka tidak bisa dipungkiri bahwa kerjasama merupakan hal yang paling utama, meskipun tak sama kerja, seluruh elemen, harus dilibatkan dalam barisan tersebut.
Ketika kita dihadapkan pada dua, tiga atau empat arah kepentingan yang berbeda, namun mempunyai tujuan yang sama, kita diwajibkan untuk memandang itu secara dewasa dan terarah pada tujuan utamanya. Inilah netralitas itu, kita bercermin pada dua kepentingan di Palestina, antara Hamas dan Fatah. Yang kedua-duanya mempunyai mental untuk merdeka, hanya saja berbeda cara dalam menjalankan proses perdamaian itu.
Perlu digarisbawahi, bahwa konflik antagonis dan non antagonis merupakan dua hal yang justru nyaris terjadi di beberapa negara-negara besar, bahkan indonesia sendiri. Konflik non antagonis bisa diselesaikan dengan cara berunding dan berdiplomasi, namun berbeda halnya dengan konflik antagonis, yang hanya bisa diselesaikan dengan cara berperang. Dan Kuba melakukan itu pada tahun 1950an dan masih banyak lagi di beberapa negara lainnya.
Sebuah rahmat dan hidayah dari ALLAH SWT hari ini kita telah sampai pada wahana perdamaian yang begitu diapresiasi oleh segenap masyarakat Aceh, ketika mereka telah keluar dari pintu kekacauan, pembunuhan, peperangan dll. Seakan mereka hari ini bisa bernafas lega, oleh karena itu treatment ini harus kita tanamkan dalam benak kita semua, jika memang itu baik bagi mereka rakyat Aceh, pertahankan dan rawatlah, dan itu tugas kita saat ini.
Sudah sampai kita pada kenyamanan untuk berfikir konstruktif bagi Aceh yang lebih mapan, ketika ada hal yang itu menjadi penghalang bagi langkah ini, maka semua dari kita telah diilhami cara dan metode untuk menyelesaikan segalanya.
Keseriusan semua pihak dalam menjamin pembangunan Aceh yang lebih maju adalah modal utama kita, tidak ada kata untuk mengatakan "tapi" namun yang ada hanya kata "harus", percayalah kita telah dihadapkan pada situasi yang begitu stabil untuk memprakarsai pembangunan Aceh. Tidakkah kita harus mengabaikan alasan-alasan bodoh untuk tetap mengakui bahwa saat ini kita adalah pilot projek pembangunan Aceh. Selaku pemuda dan mahasiswa Aceh, kita mengecam keras jika ada yang menghalangi niat-niat baik mereka yang ingin membangun Aceh yang lebih mapan.
Di kalangan elit Aceh sekarang ini, kita berharap, bahwa apapun yang mereka lakukan adalah demi kepentingan rakyat Aceh dan bukan lainnya. Jika hari ini siapapun yang memiliki niat untuk membangun Aceh yang lebih baik maka pintu terbuka lebar tanpa memandang asal dan usul mereka, inilah kedewasaan berpolitik dan inilah sejatinya yang harus kita ciptakan dari akar rumput, generasi penerus supaya tidak ada miskomunikasi terkait dengan adab perpolitikan di Aceh.
Pernahkah kita berfikir, bahwa bagaimana kondisi Aceh 10 atau 20 tahun yang akan datang? Pernahkan kita berniat untuk merekonsiliasikan kondisi politik mahasiswa dan pemuda nantinya? Kekhawatiran kita hanyalah, disaat generasi esok hanya berkutat dengan dunia modernisasi, teknologi, hegemoni westernisasi, percayalah, kita akan melihat generasi K-Pop, generasi boyband, generasi sinetron dan generasi oplosan lainnya, yang itu semua mereka utamakan ketimbang dengan memahami jejak sejarah Aceh, ideologi Keacehannya yang memudar.
Mereka tersesat dalam dunia yang sangat amat bertentangan dengan apa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu. Bahkan, percaya atau tidaknya, mereka akan lupa siapa sultan terakhir mereka, yang lebih ironis adalah mereka lupa bahwa MoU Helsinki merupakan amanah penting dari PERUNDINGAN damai yang disaksikan oleh UNI EROPA antara Indonesia dan Aceh dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan. Sungguh ini, hal yang kita antisipasi dari sekarang. Percayalah, dan resapilah semoga kita terus mengabdi kepada Aceh untuk Aceh yang akan datang.
Penulis : Sayyid Almahdaly (Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Aceh Timur (IPPAT), Ketua Persatuan Mahasiswa Ikatan Keluarga Peureulak/IKAPA)