-->

Untuk Aceh Timur, Kalau Ada Baru Kenapa Pilih yang Lama

29 November, 2016, 10.29 WIB Last Updated 2016-11-29T16:54:38Z
ACEH TIMUR merupakan salah satu kabupaten yang kaya dengan potensi alam dan sumberdaya manusia. Peradaban dan khazanah kebudayaan yang luar biasa di semenanjung peraiaran Malaka. Konflik yang panjang telah meluluhlantakkan sendi-sendi ketahanan dan pranata sosial hingga melemahnya sumberdaya serta intelektualitas dalam melakukan perubahan untuk bangkit dari keterpurukan masa silam.

Aceh Timur yang begitu berselemak masalah, mulai infrastruktur yang belum kunjung kelar, eksploitasi sumberdaya alam dan lemahnya regulasi kebijakan yang pro terhadap kesejahteraan masyarakat rentan, hal itu menjadikan Aceh Timur semakin terpuruk.

Sayembara politik akan digelar dan wahana perubahan ada didepan mata. Hiruk pikuk pesta juga sudah menjalar hingga pelosok-pelosok gampong, warga sudah mulai larut dalam hingar bingar pilkada yang terkadang (mengkotak-kotakkan) sendi kehidupan warga karena beda politik. 

Padahal sebelumnya adem ayem tanpa ada perbedaan. Semua itu tidak terlepas karena perbedaan politik cerdas masyarakat yang sudah jera terkekang kemunafikan, kesombongan dan keserakahan sang pemimpin.

Teulah Sithon Bak Ureueng Megoe Teulah Siuroe bak Ureung Meurusa.... Sebuah ‌pantun lama yang menjadi nasehat bagi kita semua. Jika kita mau berbagi hal itu berhubungan erat dengan kondisi pilkada.


Pilkada hakikatnya menjadi salah satu bentuk transaksi dalam pasar politik. Rakyat pun sebagai pembeli harus jeli dan memiliki referensi maupun kemampuan untuk menentukan pilihan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan daerah maupun kepentingan masyarakat secara luas.

Al-Mawardi rahimahullah dalam kitab al-Ahkâm ash-Shulthaniyah menyebutkan syarat-syarat seorang pemimpin, diantaranya:

1. Adil dengan ketentuan-ketentuannya.
2. Ilmu yang bisa mengantar kepada ijtihad dalam menetapkan permasalahan kontemporer dan hukum-hukum.
3. Sehat jasmani, berupa pendengaran, penglihatan dan lisan, agar ia dapat langsung menangani tugas kepemimpinan.
4. Normal (tidak cacat), yang tidak menghalanginya untuk bergerak dan bereaksi.
5. Bijak, yang bisa digunakan untuk mengurus rakyat dan mengatur kepentingan negara.
6. Keberanian, yang bisa digunakan untuk melindungi wilayah dan memerangi musuh.


Nilai lebih dalam hal kebijakan, kesabaran, keberanian, sehat jasmani dan rohani serta kecerdikan merupakan kriteria yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa memiliki kriteria itu, seorang pemimpin akan kesulitan dalam mengatur dan mengurus negara dan rakyatnya.

Al-Walid bin Hisyam berkata,”Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin.”

Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Abu Ja’far al-Manshur: “Aku tahu, ada seorang lelaki yang bila ia baik, maka umat akan baik; dan jika ia rusak, maka rusaklah umat.” Abu Ja’far al-Manshur (ia adalah pemimpin) bertanya: “Siapa dia?” Sufyan menjawab: “Engkau!”

Pemimpin yang paling baik ialah pemimpin yang ikut berbagi bersama rakyatnya. Rakyat mendapat bagian keadilan yang sama, tidak ada yang diistimewakan. Sehingga pihak yang merasa kuat tidak memiliki keinginan melakukan kezhalimannya. Adapun pihak yang lemah tidak merasa putus asa mendapatkan keadilan.

Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Pemimpin yang baik, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa aman dan orang-orang yang bersalah merasa takut. Pemimpin yang buruk, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa takut dan orang-orang yang bersalah merasa aman.”

"Masihkah kita mau dibodoh-bodohi oleh pemimpin yang selama ini sudah mengkotak-kotakkan warganya, masih menganaktirikan warganya, masih mementingkan kelompoknya. Kalau ada yang baru, kenapa harus pakai yang lama. Jadi jangan salah beli, sakit hati lima tahun ke depan.... tentukan pilihanmu di nomor satu menuju Aceh Timur Sejahtera".

Penulis: Muhammad Fadel Al Idris (Mantan Koordinator Aceh Marginal Institute, Penggiat Media Komunitas Warga Aceh Timur)
Komentar

Tampilkan

Terkini