Korban Trafficking Benjina (IST) |
JAKARTA - Sebagai satu bentuk
kejahatan yang membutuhkan fokus dan konsistensi pemberantasannya, perdagangan
manusia telah menjadi salah satu momok tindak pidana bagi seluruh masyarakat
internasional. Sebabnya karena tindakan pelanggaran hukum ini telah merampok
hak asasi manusia dengan menjadikan korbannya sebagai budak. Selain perempuan
dan anak-anak, perdagangan manusia juga meminta korban dari kaum laki-laki.
Ketua Senior Officials'
Meeting on Transnational Crime (SOMTC), Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto
menyampaikan hal itu, saat membuka ASEAN Seminar "Human Trafficking and Male
Victimization-Regional Approaches from Central and Southeast Asia", di Hotel
Pullman, Jakarta, Selasa (22/11/2016).
Ari memaparkan, kasus
perdagangan manusia yang menjadikan korbannya dari kaum laki-laki juga pernah
terjadi di Indonesia.
“Terungkapnya kasus 658
korban perdagangan manusia yang terdiri dari 512 warga negara Myanmar, 96 warga
negara Kamboja, 8 warga negara Laos dan 42 warga negara Thailand di Benjina,
menjadikan hal ini sebagai pekerjaan rumah bagi seluruh negara. Meski para
tersangka sudah menjalani hukuman kurungan dan denda, tapi ini masih terasa
kurang jika melihat post-effect terhadap korban,” papar Ari.
Menurut Ari, Indonesia dan
negara lain yang telah sepakat untuk menolak perdagangan manusia, mesti terus
melakukan percepatan agar tidak lagi terjadi peristiwa serupa.
“Indonesia sebagai bagian
dari negara di dunia, mengajak agar seluruh negara di kawasan ASEAN dan negara
lainnya untuk kembali menegaskan diri untuk menolak kejahatan ini. Bukan karena
telah jatuh korban yang begitu besar, tapi justru karena satu korban
perdagangan manusia itu sudah terlalu banyak,” papar Ari.
Berdasarkan data UNODC
korban perdagangan manusia teridentifikasi berasal dari 152 negara berbeda dan
terjadi di 124 negara di dunia. Selain perempuan dan anak-anak, terjadi juga
peningkatan korban terhadap laki-laki. Seluruh korban menjadi objek kejahatan
dengan berbagai variasi. Mulai dari eksploitasi seksual, perbudakan hingga
pengambilan organ tubuh secara paksa. Khusus perbudakan, tersegmentasi di
bidang manufaktur, konstruksi, produksi tekstil, perkapalan, hingga di bidang
perikanan.
Ari menambahkan, dari
sekitar 21 juta manusia yang terperangkap dalam jerat perdagangan manusia,
sebagian besar justru berada di kawasan Asia Pasifik.
“Ditemukan juga data bahwa
56%-nya terjadi justru di kawasan Asia Pasifik, dengan fakta bahwa negara di
kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan, justru menjadi penyuplai manusia yang
diperdagangkan ke seluruh dunia. Dari persentase itu, korbannya sekitar 83%
adalah laki-laki yang kemudian menjadi budak,” kata Ari.
Dari fakta itu, tambah
Ari, seluruh negara di kawasan juga mesti memberikan perhatian kepada para
korban.
“Pada implementasi ASEAN
Convention against Trafficking in persons, Especially Women and Children
(ACTIP), regulasi yang memberikan perhatian kepada seluruh korban, menjadi
penting. Khususnya pendekatan untuk melakukan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan terkait dengan kasus perdagangan manusia serta terhadap korban. Juga
pemahaman kepada para penegak hukum. Selain itu, belajar dengan negara-negara
di kawasan Asia Tengah yang hari ini hadir dan sudah memperlihatkan kemajuan
dalam penanggulangan perdagangan laki-laki serta mau membagi pengalaman mereka,
juga menjadi salah satu cara agar tidak ada lagi korban perbudakan modern ini,”
ujar Ari.
Berbagai delegasi juga
menghadiri pertemuan ini. Mulai dari perwakilan dari Amerika dan negara sahabat
lainnya, Ketua AICHR dan IOM serta ACWC, Kepala Divisi Kerjasama Keamanan
Kesekretariatan ASEAN, perwakilan Kementerian Tenaga Kerja negara sahabat,
hingga para perwakilan anggota ASEAN SOMTC.[Rls]