IST |
JAKARTA -
Ribuan warga muslim etnis Rohingya berduyun-duyun kabur menyeberangi perbatasan
untuk mengungsi ke Bangladesh, dari tempat asalnya di Provinsi Rakhine, Myanmar
barat laut.
Mereka mengungsi karena
menghindari kekerasan yang sudah berminggu-minggu mengharubiru Provinsi
Rakhine.
Kepada CNN, beberapa di
antara mereka mengaku diperkosa, disiksa, atau menyaksikan rumah mereka dibakar
dan anggota keluarga mereka dicabut nyawanya.
"Jika (militer)
menemukan anak laki-laki di atas 10 tahun, mereka membunuhnya. Para lelaki
dewasa dicomot oleh militer," kata Lalu Begum. "Ketika militer
datang, kami lari dari rumah kami, saya tak tahu apakah suami saya sudah mati
atau masih hidup."
Pembersihan
etnis
Begum yang saat ini
tinggal di kamp pengungsian Kutupalong, Bangladesh, mengungkapkan bahwa
beberapa wanita di desanya diperkosa oleh tentara pemerintah Myanmar.
"Ketika
tentara-tentara itu melihat gadis-gadis cantik, mereka menyuruh mengambilkan
air, lalu mereka masuk rumah dan memperkosa gadis-gadis itu," kata Begum.
Sekitar satu juga warga
Rohingya hidup di Rakhine dimana mereka dianggap minoritas yang tak punya
negara.
Pemerintah Myanmar tak
mengakui kewarganegaraan Rohingya karena menganggap mereka imigran ilegal dari
Bengal (Benggala), padahal etnis Rohingnya sudah menetap selama
bergenerasi-generasi di Myanmar.
John McKissick, pejabat
badan pengungsi PBB di Bangladesh, sampai menyebut Rohingya sebagai
"manusia paling tertindas di dunia."
"Sepertinya sudah
menjadi tujuan militer Myanmar untuk secara etnis membasmi penduduk ini,"
kata dia kepada CNN.
Jalan
maut
Para pengungsi di
Kutupalong mengaku meninggalkan rumah mereka di tengah malam, menyusuri desa ke
desa untuk menghindari tentara Myanmar sampai kemudian menyeberangi Sungai Naf
untuk melintas masuk ke wilayah Bangladesh.
"Saya perlu waktu
empat hari. Ketika desa kami dibakar, kami pindah ke desa lain, dan terus
berpindah-pindah. Perjalanan ini mengantarkan kami ke tepi siang," kata
Begum.
Sepanjang mengarungi
perjalanan berbahaya ini, banyak orang yang kehilangan anggota keluarganya.
"Ketika keluarga saya
memulai perjalanan ini, kami semua berenam. Kami kehilangan tiga anggota
keluarga kami," kata adik ipar Lalu Begum, Nassima Khatun, kepada CNN.
"Suami dan anak saya
dibunuh, anak saya yang lain hilang."
CNN tak bisa memverifikasi
pengakuan para pengungi atau video di media sosial yang memperlihatkan
kekerasan dan korban di Rakhine, mengingat daerah Rohingya saat ini ditutup
rapat-rapat oleh rezim Myanmar, bahkan media dan badan-badan bantuan pun
dihalang-halangi masuk.
"Kami telah meminta
pemerintah Myanmar untuk memberikan akses kepada kami sehingga kami bisa
menghitung jumlah korban yang sebenarnya," kata McKissick.
"Kami sendiri
menyaksikan (pengungsi) membanjiri perbatasan,
masuk Bangladesh, di hutan-hutan, di jalan-jalan besar, di desa-desa, di
kamp-kamp darurat."
Dihalau
Bangladesh
Untuk kebanyakan
pengungsi, mencapai perbatasan bukan berarti penderitaan telah berakhir.
Bangladesh menerapkan pengamanan yang ketat
guna mencegah dan mengusir balik pengungsi karena tak ingin dibanjiri pengungsi.
Tetapi ribuan orang
Myanmar sudah terlanjur menyeberang ke Bangladesh dan pemerintah Bangladesh
mengatakan "ribuan lainnya telah berkumpul di perbatasan."
Pemerintah Bangladesh
bahkan telah memanggil duta besar Myanmar di Bangladesh Rabu pekan ini demi
mengutarakan keprihatinan negara ini atas situasi yang terus memburuk di
Rakhine menyusul operasi penumpasan oleh militer Myanmar.
Namun pemerintah Myanmar
membantah laporan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine, dengan alasan
militer tengah menggelar operasi pembersihan yang membidik para tersangka
pelaku kekerasan yang menewaskan sembilan tentara penjaga perbatasan 9 Oktober
silam.
Sejak itu media resmi
Myanmar melaporkan bahwa sekitar 100 orang tewas dan 600-an lainnya ditahan.
"Skala masalah di
dalam Provinsi Rakhine di mana etnis Rohingya benar-benar terperangkap adalah
menyedihkan," kata McKissick. "Pemerintah Myanmar telah menerapkan
hukuman kolektif kepada minoritas etnis Rohingya."
Desa-desa
dimusnahkan
Sebuah laporan dari Human
Rights Watch menyebutkan bahwa 1.250 rumah warga Rohingya dibakar pemerintah
Myanmar, yang kemudian dibantah Myanmar dengan berkilah bahwa para penyerang di
desa-desa itulah yang membakarnya.
"Citra-citra satelit
terbaru memastikan bahwa penghancuran desa-desa Rohingya itu jauh lebih luas
dan mencakup lebih dari tempat-tempat yang diklaim pemerintah (Myanmar),"
kata Brad Adams, Direktur wilayah Asia Human Rights Watch.
"Serangan pembakaran
yang nyata terhadap lima desa Rohingya sangat memprihatinkan sehingga
pemerintah Burma (Myanmar) harus menyelidikinya dan mengadili pihak-pihak yang
bertanggung jawab."
Peraih Nobel dan ikon
demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, dikritik habis-habisan atas sikap bungkam
pemerintahannya menyangkut isu ini yang dipandang McKissick sebagai bukti dia
kehilangan kendali terhadap militer.
"Myanmar mesti
mematuhi hukum internasional dan menghormati hak asasi manusia, dan mereka saat
ini tidak berbuat apa-apa, dan sepertinya pemerintah yang terpilih secara
demokratis itu tidak mengendalikan militer," kata McKissick.
CNN sendiri sudah berulang
kali meminta komentar dari kantor pemerintahan Suu Kyi namun tidak mendapatkan
jawaban.
Tak
bisa kembali
Begum menyebutkan bahwa
ketidakmauan pemerintah untuk bergerak adalah faktor yang menyebabkan
orang-orang seperti dia kabur dari Myanmar.
"Di desa-desa kami di
mana kami hidup, tak ada satu pun muslim Rohingya tersisa. Semuanya kabur
mengungsi meninggalkan rumah mereka," kata dia.
Bagi Nassima Khatun dan
banyak pengungsi muslim Rohingya lainnya, kembali ke Myanmar sama sekali bukan
pilihan, paling tidak sampai kekerasan itu berakhir.
"Kami meninggalkan
harta benda kami di sana. Kami meninggalkan segalanya demi menyelamatkan nyawa
kami. Kini, bagaimana caranya kami kembali? kata Khatun. "Mereka akan
membunuhi kami."[CNN/Antara]