PALMERAH -
Buni Yani, pemilik akun SBY (Si Buni Yani) di Facebook, akhir pekan lalu
dilaporkan ke Polda Metro oleh Jaya Kelompok relawan Kotak Adja (Komunitas Muda
Ahok Djarot). Buni Yani yang ditemui Antaranews pada Minggu malam (9/10/2016), memberikan
penjelasan perihal kasus tersebut.
Tanya (T): Bagaimana
perkembangan kasus anda pasca-pelaporan ke pihak kepolisian?
Jawab (J): Perkembangannya
sejak Jumat, saya sudah dilaporkan atas pelanggaran Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Sudah masuk ke polisi. Kita menunggu. Sebagai warga
negara yang baik kalau saya dipanggil, menghadap akan menjelaskan apa maksud
dari unggahan video saya.
T: Sudah ada panggilan
dari polisi sejauh ini?
J: Belum.
T: Banyak simpatisan yang
menawarkan diri menjadi pengacara. Apakah anda sudah menunjuk kuasa hukum untuk
kasus ini?
J: Sudah. Saya sudah
mendapatkan pengacara. Saya memberikan kuasa kepada kawan-kawan dari Himpunan
Advokat Muda Indonesia (HAMI) DKI Jakarta. Saya memilih mereka untuk
mendampingi saya menghadapi pelaporan ini. Dan itu organisasi profesi advokat
sebetulnya. Menurut saya mereka yang tepat untuk mendampingi, karena mereka
nonpolitis dan nonsektarian. Ada Muslimnya, Kristen, Budha, Hindu, ya
betul-betul merepresentasikan kebhinekaan Indonesia.
T: HAMI pimpinan siapa?
J: Pak Aldwin Rahadian.
T: Kalau menurut anda,
apakah anda pantas dipolisikan atas tindakan mengunggah video tersebut?
J: kalau melihat kontennya
sih mau dilihat dari mana. Coba kita belajar logika sedikit. Mestinya, yang
dipersoalkan itu adalah orang yang ngomong, yang menyinggung hal-hal sensitif
di dalamnya. Tetapi kenapa, orang yang menyebarkannya yang dipersoalkan. Jadi
sekarang ini posisi saya itu seolah-olah saya yang salah. Makanya saya bilang,
logikanya jangan dibalik.
Mestinya, isi dalam video
itulah yang berbicara sensitif, yang menyinggung orang lain, itulah yang
dipersoalkan. Sama sekali tidak masuk akal. Kebetulan saya dosen, mengajar soal
UU ITE segala macam.
Jadi, mau dari sudut mana.
Bahwa orang yang menyebarkan konten-konten, yang memprovokasi pornografi itu,
tapi apa iya saya memprovokasi?! Memang ada konten sensitif kok. Ada orang
ngomong enggak bener, kemudian saya menyampaikannya, nah yang engga benar itu
yang sana atau yang sini.
Nah, ini harus jelas dong
logikanya bagaimana. Kok malah org yang menyebarkan yang mau dikriminalisasi.
Tidak masuk akal.
T: Kalau ada yang
menganggap video itu menyebarkan isu SARA (suku agama ras antargolongan),
bagaimana tanggapan anda?
J: Apakah saya menyebarkan
isu SARA?! Kalau yang dianggap itu saya, itu menjadi lucu. Yang SARA itu adalah
orang yang ada di dalam video. Yang SARA adalah orang yang cenderung untuk
menista ayat-ayat yang ada di dalam sebuah kitab suci, lalu kemudian itu
mempunyai potensi untuk menyulut kemarahan orang. Itulah yang SARA.
Saya inikan mantan
wartawan. Kemudian saya menjadi peneliti media. Saya mengerti yang
begitu-begitu. Jadi, sekarang ini orang dimain-mainkan logikanya. Jangan karena
urusan politik, itu semua dibolak-balik. Sekarang seperti saya, mengajar di
kelas sama dengan ketika saya membuat status Facebook. Kalau status Facebook
itu membuat orang menjadi cerdas dan pintar. Lalu kemudian apakah itu yang
kemudian menyulit SARA?! Orang saya berniat baik kok, saya dosen, peneliti.
T: Apakah anda pengunggah
dan penyebar pertama video itu?
J: Bukan.
T: Bagaimana kronologi
diunggahnya video itu hingga akhirnya menjadi viral?
J: Jadi, ceritanya ada
video sekitar satu setengah jam, itu di upload di website pemda kalau tidak
salah, kemudian kan bisa didownload. Lalu ada orang yang memotong video satu
setengah jam itu menjadi 30 detik ucapan yang sangat kontroversial itu.
Dipotong, bukan diedit, jadi jangan salah. Kalau mengedit itu kan kandungan
videonya lebih terang lalu digelapkan, ada suara lalu dihilangkan. Kalau ini
memotong bagian yang paling kontroversial itu yang diambil 30 detik itu. Itu
kemudian beredar kan.
Nah, Kamis malam Jumat,
saya pulang habis mengajar, kemudian saya lihat Facebook. Nah, di timeline saya
keluar itu video. Wah ini kontroversial sekali, sensitif. Kemudian saya
playback berulang-ulang. Lalu saya download, kemudian saya transkrip. Setelah
itu saya upload ke Facebook. Kemudian menjadi viral.
Sebetulnya, sebelumnya
juga sudah viral. Jadi saya bukan yang pertama. Lalu saya yang dituduh
kemana-mana. Katanya saya yang memelintir, saya yang membuatnya menjadi viral.
Jadi, orang tidak bertanya ke saya.
Saya dosen kok, saya tidak
punya kepentingan politik. Saya ingin mengedukasi masyarakat, bahwa ada loh
pejabat publik yang menyentuh soal sensitif, itu enggak boleh. Dia ngomong saja
apa programnya, yang sudah dikerjakan. Ini ngomong soal kitab suci yang dia
enggak paham.
T: Jadi tujuan mengunggah
video itu?
J: Mengedukasi masyarakat
biar mereka tahu bahwa sesungguhnya jangan ada pejabat publik yang mempunyai
kebiasaan menyinggung hal sensitif. Itukan kandungan videonya ada penistaan
agama. Itu kan enggak bagus. Apa iya pejabat publik boleh begitu?!
T: Sekarang video yang
diunggah sudah menjadi isu besar, bagaimana tanggapan anda?
J: Ya itulah teknologi
saat ini, cepat sekali viral kemana-mana. Dan sekarang sudah dibawa ke ranah
hukum. Ya, tidak apa-apa. Inikan bagian dari demokrasi. Orang boleh menuduh
saya macam-macam, tapi saya sudah menjelaskan, bahwa saya ini tidak mempunyai afiliasi
politik. Saya ini peneliti, dosen. Lalu, tidak usah mencari-cari orang yang
salah itu di sini.
Saya ini berniat baik
ingin mendidik masyarakat, bahwa ya jangan begini pejabat publik. Saya bayar
pajak kok tiap bulan, gaji saya dipotong. Sebagai warga negara saya berhak dong
mendapatkan pemimpin yang mempunyai sikap yang bagus, mempunyai sensitifitas
yang tinggi biar tidak mengutak-atik kepercayaan orang. Itukan demokrasi.
T: Penyelesaian yang
bagaimana yang anda harapkan dari kasus ini?
J: Sebagusnya tidak usah
dibawa ke ranah hukum. Kan saya bisa menjelaskan. Latar belakang saya
jurnalisme, thesis saya di Amerika soal jurnalisme. Saya bisa menjelaskan dari
ilmu linguistik, dari ilmu lain-lain.
Mereka tahu kualifikasi
saya. Terus kepentingan saya apa mau melintir-melintir, memang saya mau masuk
penjara?! Saya bodoh banget kalau seperti itu, orang saya sudah baca kok UU
ITE, UU Penyiaran, UU Pers. Itu tidak masuk akal. Nah, sekarang saya yang
digebrak-gebrak.
T: Apa betul videonya
sempat dihapus dari Facebook anda?
J: Tidak dihapus, tapi
saya lock. Di wallinya Guntur (Romli) atau Nong (Darol Mahmada) atau mungkin
pendukung pertahana juga, malam-malam itu kita berdebat. Lalu salah satu
pendukung Guntur bilang, bisa tidak video itu dihapus?! Karena itu dianggap
tidak baik. Kemudian saya lock dulu.
T: Sebelum dilock, apakah
video tersebut sudah banyak yang membagikan atau share?
J: Sudah banyak sekali.
Ada ribuan.
T: Kenapa dilock?
J: Saya lock untuk
menghormati orang yang keberatan. Kemudian saya dibilang pengecut yang katanya
saya hapus. Saya tidak menghapus, itu saya lock. Dan kemudian sekarang saya
buka lagi. Sekarang saya sudah dilaporkan ke polisi. Mau dilock atau tidak kan
sudah dilaporkan. Saya sesalkan, kan saya bisa menjelaskan kok malah dibawa ke
persoalan hukum.
T: Ada isu beredar anda
pernah menyebarkan formulir dukungan terhadap salah satu calon. Bagaimana
tanggapan anda?
J: Itu memang ada. Banyak
yang saya share di Facebook itu dan tidak saya hapal apa saja yang saya share. Ada
berita yang bagus saya share. Ada yang bagus dari Agus Harimurti saya share.
Ada yang menarik dari pertahana, saya share. Ada yang dari pasangan Anies juga
saya share. Makanya ketika saya ditanya soal form segala macam itu saya tidak
bisa jawab. Karena saya sudah lupa apa saja yang saya share. Bahwa sekarang
yang dipersoalkan video, ya saya ingat pernah share itu.
T: Kalau aktivitas di luar
media sosial, pernah tidak menyebarkan formulir dukungan terhadap salah satu
calon?
J: Tidak.
T: Kalau hati anda sendiri
condong kemana?
J: Nah, setiap orang kan
mempunyai kecenderungan. Saya itu, dengan salah satu pasangan gubernur itu
mempunya kedekatan. Kalau itu betul. Anies Baswedan itu tamatan University of
Merryland. Itu di pinggir kota Washington. Kemudian, Sandiaga Uno itu tamatan
George Washington University. Nah, saya tamatan Ohio tapi pernah kerja dan
tinggal di Washington setahun. Jadi, kami punya grup, namanya alumni
Washington. Jadi kalau ada halal bi halal di rumah mas Anies saya datang, saya
main ke rumah mas Sandi. Itu betul. Itukan silaturahmi. Siapapun boleh dong.
Nah, sekarang kalau itu dikaitkan dengan posisi akademik saya itu tidak
relevan. Ya saya baik sama Anies, sama Sandi, memang mempunyai kedekatan. Tapi,
kalau lalu saya dituduh mempunyai afiliasi politik ini, itu tidak betul. Kalau
mempunyai kedekatan, iya. Tetapi tetap posisi saya sebagai seorang peneliti dan
dosen.
T: Apakah kedekatan atau
kecenderungan itu mempengaruhi sikap politik anda?
J: Kecenderungan itu, kita
harus melihat secara objektif dari tiga pasangan. Yang satu begini, yang dua
begini, yang tiga begini. Kalau kita anggap pasangan yang bersangkutan yang
paling capable, punya rekam jejak yang bagus, mempunyai pendidikan yang tinggi,
sopan, sensitif, enggak suka maki-maki orang, kenapa tidak kita menjatuhkan
pilihan ke dia. Kan kita engga milih orang duluan, kita milih kriteria dulu.
Berdasarkan kriteria itulah lalu kita menjatuhkan pilihan ke salah satu calon.
Nah, kalau ternyata jatuh ke salah satu itu, apakah saya salah juga?! Bahwa
saya sudah memahami persoalan politik ini dengan cara objektif. Itulah pilihan
rasional. Bukan berdasarkan pokoknya Anies-Sandi, ya kalau pokoknya ya itu
salah. Tapi berangkat dari kriteria.
T: KTP anda tercatat
sebagai warga mana?
J: KTP saya Depok.
T: Kalau ada yang mau
mempertemukan anda dengan calon pertahana Bapak Basuki Tjahaja Purnama, apakah
anda bersedia?
J: Tujuannya apa kalau
bertemu. Dalam rangka apa?
IST |
J: Ya tinggal lihat saja
wawancara saya di televisi, tidak perlu datang. Ada semuanya di sana. Rekaman
ini juga bisa dia tonton. Kalau ada hal substansial, yang membuat saya harus
bertemu ya bertemu. Kalau tidak ada ya tidak ada.
T: Ada yang mau
disampaikan ke Pak Basuki Tjahaja Purnama?
J: Ini saja, saya inikan
dosen, peneliti, kepentingan saya adalah kepentingan umum. Masyarakat kita
inikan masih banyak yang perlu dididik. Pak Gubernur itu harus lebih sensitif
sedikit. Tidak usah lagi ungkit-ungkit hal yang dia kurang paham. Tidak usah
lagi ungkit-ungkit hal yang sensitif, ini untuk kebaikan kita bersama. Dalam
bertindak, dalam berbicara, itu harus lebih sensitif lagi. Kemudian kita
menjadi sejuk, kita juga enak.
T: Bagaimana soal riwayat
hidup anda?
J: Saya lahir di Lombok,
16 Mei 1969. Lulus S1 dari Fakultas Sastra Inggris Universitas Udayana, Bali,
Tahun 1993. Kemudian, mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Ohio University
dan lulus pada 2002. Saat ini saya sedang membuat desertasi S3 di Leiden
University, Belanda, sejak 2010 dan belum selesai.[Warta Kota]