JAKARTA -
Sampai saat ini pembahasan RUU Minuman Beralkohol (Minol) antara pemerintah
yang diwakili Kementerian Perdagangan dengan DPR belum masuk tahap finalisasi.
Hal ini disebabkan masih terdapat perbedaan pandangan dalam pembahasan antar
fraksi, diantaranya tentang poin kata ‘pengendalian’, ‘pengawasan’, dan ‘pelarangan’
dalam RUU tersebut.
Hal ini seperti
disampaikan anggota Panja RUU Minol dari Fraksi NasDem Zulfan Lindan saat
menerima audiensi perwakilan Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol
Seluruh Indonesia (FKPMBSI), di Ruang Fraksi Partai NasDem, Kompleks Senayan,
Rabu (5/10/2016).
"Agar kehadiran RUU
ini tidak hanya sebatas kata ya atau tidak, maka kita (Fraksi NasDem)
mengusulkan RUU ini kepada 'pengendalian' dan 'pengawasan' bukan
pelarangan," ungkapnya.
Pengendalian terhadap
Minol sendiri, menurut Zulfan, lebih tepat diterapkan dalam konteks Indonesia
yang menganut paham demokrasi dan berlandaskan Pancasila. Dengan kondisi yang
multikultural, keberadaan minuman alkohol tidak bisa dilihat dari satu dimensi
atau agama saja.
"Dalam ajaran yang
saya anut (Islam) alkohol itu jelas haram, akan tetapi apakah ini bisa kita
paksakan dalam negara Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini? Tentu tidak,
dengan cara inilah kita memandang toleransi itu," terangnya.
Diakuinya, di beberapa
daerah seperti Papua dan Aceh, pemerintah daerahnya menerapkan pelarangan
terhadap minuman beralkohol.
Dia juga mengungkapkan
saat Pansus RUU Minol ke Papua beberapa waktu lalu, didapati bahwa pelarangan
minol di sana bukan karena berlandaskan ajaran agama tertentu. Pelarangan
tersebut lebih karena maraknya kejahatan disebabkan oleh minol itu sendiri.
"Tentunya
masing-masing daerah memiliki peraturan tersendiri dalam memandang minol
ini," imbuhnya.
Di satu sisi, Zulfan
melanjutkan, peraturan daerah tersebut tidak bisa dipaksakan di daerah lainnya
yang menjadi objek tujuan wisatawan mancanegara seperti Bali.
"Tidak mungkin dong,
disana kita larang. Tetapi minol ini bisa diatur penjualannya yang memang betul
diperuntukkannya bagi wisatawan luar negeri," paparnya.
Politisi NasDem ini
menambahkan, membahas RUU Minol ini tidak hanya satu atau dua faktor saja yang
diperhatikan. Lebih dari itu, banyak faktor yang dilihat dan dipertimbangkan.
Hal ini agar saat RUU disahkan, ia tidak hanya mementingkan satu kepentingan
atau pihak saja.
"Kita juga harus
melihat dari sisi ekonomi. Apalagi, keberadaan bapak-bapak sebagai pedagang
minuman beralkohol yang menggantungkan ekonomi dari situ, harus juga tetap kita
perhitungkan jangan malah mematikan," ujarnya mantap.
Yang terpenting, menurut
Zulfan, adalah adanya payung hukum yang jelas terkait keberadaan minuman beralkohol
ini.
"Kita mendorong terus
agar ini segera diselesaikan. Sehingga dengan lahirnya nanti, RUU ini akan jelas
ada kepastian hukumnya. Dimana bapak boleh atau tidak menjualnya, dan jenis
kadar minum beralkohol apa yang boleh diperjualkan. Karena jika tidak ada
payung hukumnya, ini (penjualan minol) malah jadi alat pemerasaan oleh pihak
tertentu, ini yang perlu dikhawatirkan dan dicegah," ujarnya tegas.
Dalam kesempatan itu,
perwakilan FKPMBSI, Nur Hasan, mengharapkan agar Fraksi NasDem memperjuangkan
aspirasi mereka di RUU Minol ini. Dia juga menyampaikan rasa khawatir dari
kurang lebih 3.000 pedagang yang tergabung dalam forum yang didirikan pada 2015
lalu ini.
"Kalau dilarang,
bagaimana kelangsungan selanjutnya perekonomian kami yang bersumber dari sini.
Kami yang jelas tidak menolak untuk diatur tetapi jangan dilarang karena itu
akan mematikan usaha kami, Pak," pinta Ketua FKPMBSI ini.[Rls]