TIDAK dapat dipungkiri bahwasa
dalam pilkada Aceh 2017 rakyat Aceh akan terpecah suara dalam pemilihan calon
pimpinan kepala daerah, sungguh perbedaan tidak dapat dihindari namun alangkah
lebih indahnya bila persatuan dan perdamaian bersemi abadi di tanah Aceh, dan
semoga perpecahan karena perbedaan pilihan dalam pilkada dapat dihindari.
Sangat disayangkan bila perbedaan terus terjadi sesame masyarakat Aceh ikhwal
pemilihan kepala daerahnya, padahal Jakarta dalam hal ini pemerintah pusat
sudah memberikan keistimewaan khusus bagi Aceh dalam bidang politik, hal
pemilihan kepala daerah, dan yang paling fenomenal adalah satu-satunya provinsi
di Indonesia yang boleh mendirikan partai lokal, hal ini termaktum dalam UUPA
pemerintah Aceh yang disahkan 1 Agustus 2006 sesuai dengan UU no 11 tahun 2006.
Kekhususan Aceh yang termaktub
dalam UUPA merupakan kelebihan sekaligus kekurangan Aceh dibanding daerah lain.
Melalui UUPA, Aceh memiliki keleluasaan yang luas dalam mengatur rumah
tangganya sendiri. Aceh dapat menyelenggarakan tata kelola pemerintahannya
sendiri tanpa harus terikat dengan UU yang berlaku secara nasional. Namun
berbeda halnya dalam konteks penyelenggaraan Pemilu. Ketentuan pemilu yang
sejatinya dinamis justru menjadi kaku dan sulit beradaptasi dengan dinamisasi
demokrasi tanah air begitu diatur pasal per pasal dalam UUPA.
\Adapun jelang Pilkada Aceh 2017, Sejumlah nama bakal calon Gubernur
dan Wakil Gubernur Aceh dan Bupati, Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil
Walikota mulai bermunculan dan ramai diperbincangkan publik di berbagai tempat.
Tak hanya di dunia nyata seperti di tempat keramaian, di dunia maya pun sama.
Beberapa tokoh yang mencuat dan dinyatakan bakal bersaing merebut kursi Aceh 1
periode 2017-2022 adalah Irwandi Yusuf berpasangan dengan Nova Iriansyah,
Muzakir Manaf berpasangan dengan TA. Khalid, Kemudian ada Tarmizi Karim
Berpasangan dengan Zaini Djalil, mantan Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) Zakaria Saman berpasangan dengan T. Alaidinsyah. Belakangan Zaini
Abdullah berpasangan dengan Nasaruddin, turut ambil bagian dalam pesta
demokrasi pilkada kali ini adalah Abdullah Puteh yang berpasangan dengan Sayed
Mustafa Usab. Keempat tokoh semuanya
mantan petinggi GAM, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, kemudian Zakaria Saman dan Zaini Abdullah
sama-sama menjabat sebagai Tuha Peut alias Dewan Pertimbangan Partai Aceh. Dan
diikuti oleh puluhan dan ratusan nama calon baik dari dukungan partai atau
koalisi partai dan calon dari perseorangan atau independen yang akan
menyemarakkan bursa pencalonan pilkada di tingkat kabupaten dan kota di Aceh.
Dapat masyarakat berasumsi bahwa
diantara beberapa calon gubernur dari perahu yang sama sebelumnya yaitu Zaini
Abdullah, Zakaria Saman, Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf mengindikasikan
tipikal masyarakat Aceh susah bersatu dan lebih memilih perpecahan, padahal
sebelumnya sama-sama dalam perjuangan ketika damai hadir dan diakomodasikan
untuk berpolitik dengan dibolehkannya partai lokal di Aceh, dalam hal ini
partai lokal mayoritas dan terbesar adalah Partai Aceh, lalu ada Partai
Nasional Aceh (PNA) dan Partai Daulat Aceh (PDA). Jika mereka bersatu dan
mengusung satu pasangan saja untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur Aceh
dengan mengeyampingkan ego dan kepentingan pribadi niscaya kemakmuran,
kesejahteraan, pembangunan dan ekononi masyarakat Aceh dapat segera terwujud
karena di level atas sudah tidak ada khilafiyah lagi dan satu kata demi
kepentingan rakyat Aceh, mengapa harus berbeda? Jika itu tujuan utama dari para
elit di Nangroe.
\Pecahnya dukungan yang diberikan
suatu entitas tertentu tidak dapat terhindarkan dalam pilkada kali ini seperti
halnya di Aceh dimana partai penguasa, yaitu Partai Aceh tidak satu kata dalam
memberi dukungannya terhadap pilkada kali ini. Dimana kalangan tua-tua (tuha
peut) memilih untuk bertarung secara Ksatria lewat jalur perseorangan dan
kalangan muda-muda mendukung pasangan Muzakir Manaf-TA Kahlaid, bahkan ada yang
mengalihakan dukungannya ke kandidat lainnya. Semoga saja rakyat Aceh cerdas
menyikapinya dan tidak terjadi perpecahan didalam masyarakat dalam mendukung
suatu pasangan calon yang hanya heboh menjelang Februari 2017, selepas itu
kehidupan rakyat akan seperti sedia kala, yang bekerja tetap bekerja, yang
pedagang tetap berdagang, tidak ada yang
lebih dan perubahan dalam hal kehidupan ini, walaupun janji-janji muluk
pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur serta calon bupati/walikota
dan wakil bupati/wakil walikotasaat kampanye dalam rangka mengambil hati rakyat
Aceh.
Walaupun ada pasangan dari partai
nasional yang bertarung tentu mereka akan menjadi penghibur dan bumbu penyedap
saja dalam pilkada Aceh, pun karena tidak dibolehkan adanya calon tunggal untuk
maju menjadi calon kepala daerah. Namun skenario Jakarta ternyata lebih ampuh
dan mujarab untuk membuat perbedaan diantara tokoh-tokoh Aceh sehinga mereka
yang dari kalangan pejuang yang sama dan partai yang sama bisa berambisi
sama-sama menjadi calon gubernur dan wakil gubernurAceh dengan melilh jalur
perseorangan atau independen atau berkoalisi dengan partai nasional dan
gabungan partai. Bila masyarakat lihat tidak ada yang murni dari partai lokal
untuk maju semua berkoalisi dengan partai nasional kecuali yang dari
independen.
Padahal Partai Aceh (PA) selaku
partai lokal yang menang mutlak pada pemilu yang lalu seharusnya yang berhak
mengajukan pencalonan kepala daerah untuk gubernur dan wakil gubernur juga
bupati/walikota dan wakil bupati/walikota se-Aceh dari kalangan internal atau
kader PA. Aceh memang beda bila kita lihat dengan propinsi lain di Indonesia, punya
tempat khusus dimata Mahkamah Konstitusi (MK) dimana jalur independen kembali
diperbolehkan untuk bertarung dipilkada tahun ini. Padahal semua tahu, partai
lokal adalah penguasa parlemen Aceh, seharusnya tokoh-tokoh dari partai
tersebutlah yang lebih dominan untuk menduduki posisi satu dan dua di daerah
tingkat I dan daerah tingkat II, namun kali ini dari jalur perseorangan dapat
kembali mencalonkan diri asalkan sejumlah syarat dapat terpenuhi seperti
pengumpulan KTP masyarakat, bahkan mantan narapidanapun dapat mencalonkan diri
setelah MK menerima gugatan salah satu calon gubernur Aceh tersebut. Segenap
lapisan masyarakat dipersilahkan memimpin rakyat Aceh baik dari kalangan
politisi, akademisi, pengusaha,seniman,
praktisi, bankir, tokoh pemuda, tokoh masyarakat sampai tukang becakpun
dibolehkan asal cukup syarat untuk menjadi calon pemimpin daerah karena ada dua
jalur yang tersedia dengan partai atau koalisi partai atau dengan perseorangan
atau independen.
Untuk itulah peranan ureng-ureng
tuha di partai Aceh maupun Wali Nanggroe untuk mengajak kembali para mantan
kombatan, teman-teman seperjuangan dan rakyat Aceh pada umumnya untuk kembali
ke rumah kita, partai Aceh dan sama-sama berjuang dijalur yang sudah
diamanahkan oleh Undang-undang dan memenangkan pasangan calon kepala daerah
baik gubernur dan wakil gubernur maupun calon bupati/wakil bupati atau calon
walikota/wakil walikota yang diusung Partai Aceh (PA) dan mengapa harus berbeda bila kita ada
kekhussusan dalam tata kelola pemerintahan sendiri.
Fenomena ini membuat semua orang
galak jeut keu raja,karena memang peluang itu ada tergantung dipilih atau tidak
oleh rakyat, Namun apakah ada calon pemimpin yang mulia, pro rakyat dan berhati
pahlawan yang ikhlas berbuat untuk daerah ini,bukan karena kepentingan dan
impian bisnis atau uang yang akan melimpah di propinsi kaya tapi rakyatnya
miskin ini. Sepertinya sosok inilah yang dibutuhkan rakyat, tentunya tidak
harus dari kalangan politisi yang tak kenal kawan dan lawan, tidak harus dari
kalangan akademisi yang terlalu larut dengan teori-teori, tidak harus dari
kalangan pengusaha yang dengan usaha yang dirintis, orang yang sudah mapan
dalam kerajaan bisnisnya dan sehingga rakyat akan berpikir tidak ada
kepentingan untuk memperkaya diri dengan jabatan dan kekuasaan, Aceh butuh
figur yang benar-benar mementingkan rakyat, berjiwa pahlawan dan pengabdian
bagi daerah dan negerinya. Pahlawan seseorang yang berbuat pamrih tanpa
mengharap imbalan demi kepentingan orang banyak. Bukan seperti pahlawan tanpa
tanda jasa yang identik dengan guru, apa pantas dikatakan pahlawan untuk lulus
jadi PNS saja harus sogok,atau pahlawan-pahlawan dibidang-bidanglain, yang
sebelum mendapatkan gelar itu sudah main suap dan ingin dikenang oleh rakyat,
tentu bukan pemimpin berhati pahlawan yang sedang diidam-idamkan oleh rakyat
Aceh.
Partai Lokal
Sungguh disayangkan perbedaan
diantara elit partai Aceh, antara kalangan tua-tua dengan kalangan muda, bahkan
kalangan yang sudah resign dari partai Aceh dan membentuk partai lokal lainnya.
Memang ada kewenangan untuk pembentukan partai lokal di Aceh, asalkan asasnya
tidak bertentanan dengan pancasila dan UUD 1945. Kehadiran sosok Wali Nanggroe
dalam struktur lembaga dan pemerintah Aceh ternyata belum mampu memberi andil
dan nesahat khusus untuk menghentikan perbedaan yang terjadi ditubuh partai
Aceh, yang lahir dari proses perjuangan demi pengorbanan jiwa raga, air mata,
harta benda dan yatim serta janda di Aceh. Padahal kewenangan Lembaga Wali
Nanggroe sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa disamping
berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraaan lembaga-lembaga adat, adat
istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Ada yang menyatakan Perbedaan
pilihan dalam pilkada Aceh, tak masalah karena hal itu mencirikan keberagaman
masyarakat Aceh. Perbedaan seperti inilah yang menjadi semangat kemerdekaan
Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika saja. Untuk
menjaga keutuhan NKRI, merawat perdamaian Aceh dan mendorong Pilkada Aceh
berjalan sesuai dengan konstitusi, serta menghargai perbedaan pilihan. Biasa
karena perbedaan pilihan bisa menjadi ancaman ketertiban keamanan dan
mencederai nilai-nilai aman dan damai di bumi Aceh.
Perkiraan ancaman yang dirangkum
Polda Aceh berdasarkan pemilihan umum sebelumnya ialah kemacetan dan kecelakaan
lalu lintas, perkelahian antarpendukung, penghinaan terhadap pasangan calon,
pengrusakan dan pembakaran, serta penculikan tim sukses dan pasangan calon.
Ketika masa tenang, perkiraan ancaman yang terjadi ialah money politics, teror
atau intimidasi terhadap pemilih, sabotase surat suara, dan penghadangan surat
suara. Ketika pemungutan suara, perkiraan ancaman yang terjadi ialah intimidasi
terhadap pemilih dan saksi di TPS, pengrusakan bilik suara, manipulasi surat
suara, serta aksi protes oleh saksi. “Banyak yang prediksi dari pengamat, ahli,
KPU pusat, Pilkada Aceh 2017 nanti akan terjadi apa-apa. Makanya kita jaga
proses pilkada,” kata Kapolda Aceh di hadapan peserta Rapat Koordinasi
Forkopimda se-Aceh di Gedung Serbaguna Setda Aceh, Selasa, 23 Agustus 2016.
Sementara wilayah yang sangat rawan terjadi pelanggaran pada pemilihan kepala
daerah di antaranya Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Singkil, Aceh
Timur, dan Lhokseumawe. Disinilah butuh kesiap-siapan dan tenaga ektra aparat
keamanan untuk memberi keamanan bagi masyarakat Aceh.
Semua elemen masyarakat Aceh
sangat menginginkan pilkada Aceh 2017 berjalan damai dan aman masih tertingat
bagaimana riuh dan mencekamnya pilkada Aceh 2012 sampai harus ada korban nyawa
dalam tahapan pilkada Aceh waktu itu. Maka dari itu untuk pilkada Aceh 2017,
Pemangku Kepentingan dan masyarakat Aceh diantaranya KIP Aceh, Polda, Kodam,
Kesbangpol, Jubir Partai Aceh, Tidar Partai Gerindra, Perwakilan DPW PDIP, Perwakilan DPW Partai Demokrat, Sekretaris
Tim Pemenangan Balon Gubernur Aceh dari Pasangan Zaini-Nasaruddin, Perwakilan
FPI Aceh, HMI, PII, KNPI, dll pun
menyampaikan tiga poin penting yang dituangkan dalam ikrar komitmen bersama
yang berisikan yaitu :
“Kami para Pemangku Kepentingan
dan segenap masyarakat Aceh mengharap rahmat dan ridha Allah SWT, dengan penuh
kesadaran akan pentingnya persatuan dan persaudaraan” :
Pertama, akan senantiasa menjaga
keutuhan NKRÌ dan merawat perdamaian Aceh. Kedua, akan mendorong terwujudnya
proses demokrasi yang bersih, santun dan damai. Terakhir, akan selalu
menghargai perbedaan pilihan dalam Pilkada sesuai dengan hati sanubari
masing-masing.
Tentu saja harapan pilkada damai
adalah harapan semua orang, terutama para tim sukses kandidat calon pasangan
dalam memobilisasi massa atau saat kampanye hendaknya berlaku sopan tidak
menghina kandidat lain, intimidasi pemilih dan lain sebagainya. Masyarakat mari
datang ke TPS-TPS untuk memberikan hak suara anda sesuai pilihan kata hati
nurani, jangan jadi golongan putih atau tidak memilih karena boleh jadi surat
suara anda akan disalahgunakan atau terjadi hal-hal lain karena satu surat
suara bisa mempengaruhi hasil dan pemenang calon pimpinan atau kepala daerah
kita. Perbedaan adalah rahmat dan mari saling menghargai karena perbedan, agar
ketentraman terwujud menjelang pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Tahun Politik
Sistem politik demokrasi yang
mahal membuat penguasa dan wakil rakyat tidak lagi bekerja sebagai pelayan umat
dan pemelihara urusan rakyat. Mereka malah mengabdi demi kepentingan elit
pengusaha dan para cukong pemilik modal. Mereka bahkan menjadi pelayan pihak
asing. Akibatnya, lahirlah negara korporasi; lahirlah persekongkolan penguasa
dengan pengusaha. Jadilah hubungan penguasa dengan rakyat layaknya hubungan
penyedia produk dan jasa dengan konsumen. Rakyat diposisikan sebagai konsumen
yang harus membayar pelayanan dari negara dan membeli apa saja yang disediakan
negara. Melalui proses politik demokrasi pula lahir peraturan yang
menguntungkan para pemilik modal. Bahkan pihak asing, yang notabene penghisap
kekayaan negeri ini, lebih dihormati daripada rakyatnya sendiri. Penerapan
demokrasi di bidang politik dibarengi dengan penerapan sistem kapitalisme di
bidang ekonomi. Akibat penerapan kapitalisme itu, alih-alih tercipta
kesejahteraan bersama, yang ada justru kesenjangan kelompok kaya dan miskin
makin meningkat. Dan di tahun ini, tahun 2014 ini oleh sebagian kepala daerah,
pejabat, politisi dan pengamat dianggap sebagai ‘tahun politik’.
Penyebutan ‘tahun politik’
menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama: Politik dalam sistem demokrasi sekular
lebih didominasi oleh rebutan kekuasaan di pentas Pilkada, baik sekadar untuk
menjadi calon pemimpin rakyat di provinsi
ataupun di daerah kabupaten/kota. Kedua: Karena dalam sistem demokrasi
politik lebih kental bernuansa rebutan kekuasaan, politik dalam arti yang
sebenarnya—yakni bagaimana mengurus urusan rakyat—justru terabaikan. Pasalnya,
dalam dua tahun pertama dipastikan para wakil rakyat dan penguasa akan berusaha
mengembalikan modal politik yang amat besar—rata-rata miliaran, puluhan bahkan
ratusan miliar untuk sebagai cagub dan cabup/cawalkot—terutama untuk kampanye
Pilkada. Karena gaji yang ‘tak seberapa’ tak akan bisa membuat balik modal,
mengkorupsi uang rakyat menjadi satu-satunya cara yang paling efektif dan
efisien.
Berikutnya, dalam sisa terakhir
masa jabatan, para wakil rakyat dan penguasa itu telah mulai sibuk kembali
mempersiapkan diri untuk ‘rebutan kekuasaan’ lagi atau mempertahankan kursi
kekuasaannya. Lalu kapan rakyat diurus, padahal mereka dipilih oleh rakyat
justru untuk mengurus rakyat? Entahlah. Yang pasti, di alam demokrasi di negeri
ini, rakyat faktanya tambah sengsara dan menderita karena harga-harga makin
mahal, daya beli makin menurun, biaya kesehatan dan pendidikan makin tak
terjangkau, lapangan kerja makin sempit, dan seterusnya. Singkatnya, rakyat
Aceh tetap miskin, tetap susah dan tetap tak pernah hidup sejahtera. Yang
sejahtera justru wakil-wakil mereka DPR maupun di pemerintahan. Nah Nyan Ban!
Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani
Penulis adalah Bagian Akuntansi, Audit dan
Pelaporan/Penata Laporan Keuangan PDAM Tirta Krueng Meureudu
Pidie Jaya - Aceh - Indonesia
24186