IST |
JAKARTA - Istri mendiang Munir Said Thalib, Suciwati akan
mengultimatum Presiden Joko Widodo untuk segera membuka dokumen investigasi tim
pencari fakta pembunuhan suaminya. Upaya hukum lanjutan terkait tidak kunjung
dibukanya dokumen itu juga akan ditempuh.
Suciwati akan menyampaikan
ultimatum itu didampingi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS), Rabu (19/10) di Jakarta.
Divisi Advokasi Hak Sipil dan
Politik KontraS Satrio Wirataru mengatakan, ultimatum akan dilayangkan kerena
selama ini tidak ada indikasi dari pemerintah bakal mengumumkan hasil
investigasi TPF itu.
Sebelumnya Komisi Informasi Pusat
(KIP) memutuskan bahwa dokumen TPF kasus Munir yang diserahkan pada pemerintah
pada tahun 2005 adalah dokumen publik.
Tapi sejak diputuskan oleh KIP pada
10 Oktober 2016, yang terjadi menurut Satrio, pemerintah terkesan tak berniat
untuk mengumumkan dokumen itu.
Sekretariat Negara menyatakan tak
menguasai dokumen TPF itu. Padahal seharusnya lembaga ini yang
mendokumentasikan kegiatan Presiden. Dokumen diserahkan TPF ke Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono saat memerintah.
Karena Kementerian Setneg mengaku
tak menguasai dokumen itu, Jokowi selanjutnya melemparnya ke Kejaksaan Agung
untuk mencari dokumen itu.
Oleh sebab itu, Suciwati menurut
Satrio merasa perlu memberi ultimatum pada Jokowi.
"Ultimatum soal hilangnya
dokumen negara dan upaya hukum lain yang akan ditempuh," kata Satrio
kepada CNNIndonesia.com, Rabu (19/10).
Satrio mengingatkan setelah
sebuah dokumen diputuskan KIP sebagai dokumen publik, ada konsekuensi pidana
bagi yang menutup-nutupinya.
Dokumen tersebut sudah seharusnya
dibuka untuk publik. Jika nantinya upaya hukum ditempuh, tinggal kepolisian
punya itikad baik atau tidak untuk menindahlanjutinya.
Munir terbunuh pada tahun 2004.
Aktivis hak asasi manusia itu meninggal di dalam pesawat saat perjalanan menuju
Amsterdam, Belanda.
Dari hasil peyidikan diketahui,
ada racun arsenik di lambung Munir. Dalam perjalanannya hanya satu orang yang
dianggap bersalah yakni bekas pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari
Priyanto yang divonis 14 tahun penjara.
Namun setelah menerima beberapa
kali remisi, ia dinyatakan bebas bersyarat pada November 2014.
Deputi V Badan Intelijen Negara
Muchdi Prawiro Pranjono pernah dijadikan tersangka dalam kasus ini. Namun
pengadilan kemudian membebaskannya dari segala dakwaan. [CNN Indonesia]