
Ironisnya sebuah acara
keagamaan yang menjadi agenda rutin pemerintah seperti terkesan tidak sepenuh
hati dalam mengelola musabaqah setingkat kabupaten itu melalui LPTQ.
Seolah-olah terkesan C-2 alias “Cilet-Cilet” nya perhatian pemerintah terhadap
kegiatan keagamaan di kabupaten ini. Benarkah ini?
Jauh sebelum dilaksanakan
musabaqah, berbagai persiapan sarana dan prasarana baru dikerjakan menjelang
seminggu atau dua minggu pra MTQ, seharusnya panitia seminggu atau beberapa hari pra dipentaskan
musabaqah, semua persiapan harus dirampungkan. Baik itu mimbar utama, mimbar
dua hingga seterusnya sebagai persiapan primer, paling-paling persiapan
berbasis skundernya saja yang perlu dipoles menjelang beberapa hari pra
perhelatan tersebut.
Tetapi realitanya malam
pembukaan MTQ mimbar selain mimbar utama masih dalam tahap perampungan, tidak
“cilet-cilet” kah MTQ Pijay? Ditambah lagi standarisasi untuk tempat dewan
hakim sebagai tim penilai di pentas selain pentas utama layaknya musabaqah
tingkat gampong dengan bangku dan meja “cilet-cilet”.
Pemandangan yang membuat
kita iba, jalan menuju mimbar utama tepat jalan Jangka Buya-Ulee Glee setelah
sekian lama menjadi “danau kecil” yang
menghiasi jalan tersebut untuk menutupi “aib” pemerintah terhadap masyarakat
dalam kegiatan akbar keagamaan se kabupaten itu hanya diratakan pasir timbunan
agar saat lalu lalang bisa “terseyum” dengan sentuhan “kilat” Pemkab Pidie
Jaya.
Rupanya justru diperlihatkan
“aib” itu kepada masyarakat Pidie Jaya, “danau kecil” itu berubah menjadi
semakin “ganas”. Seharusnya pemerintah kalau ingin serius dan penuh perhatian
terhadap syiar agama, setidaknya sekitar
“danau kecil” bisalah ditutupi dengan aspal asal untuk menghindari genangan air
hujan yang melahirkan “lautan kubangan”. Lantas ini tidak “cilet-cilet” kah?
Pemandangan yang yang
tidak kalah “cilet-cilet”nya di arena utama, tepatnya di lapangan sepak bola
Ulee Glee baru dilaksanakan penimbunan dengan tanah yang berpotensi lumpur
menjelang 17 Agustus. Sebenarnya pemerintah lebih mengerti dan tahu bulan
Agustus ini merupakan bulan curahan hujan.
Apakah dengan alasan
faktor alam sehingga membenarkan lapangan utama menjadi laksana “samudera
kubangan” seperti yang diungkapkan oleh
panitia MTQ merangkap juga Kabag Kesos Sekda kabupaten setempat, Jailani
mengaku kondisi tersebut karena faktor alam. Sehingga pihaknya tidak bisa
berbuat banyak. Apalagi kondisi becek dan genangan air tidak bisa ditimbun
dengan batu kerikil.
"Disini tidak boleh
kami gunakan serak kerikil karena ini lapangan bola, warga pun tidak
mengizinkan menggunakan serak kerikil. Jadi walaupun sudah ditimbun dengan
pasir, tetapi kebecekan tidak dapat dihindari, ini sudah faktor alam,"
katanya.(AJNN, 31 Agustus 2016).
Disamping itu, masyarakat
Pijay sendiri yang menghadiri MTQ sempat berujar merasa kecewa dengan
perhelatan musabaqah kali ini, apakah memang dana kurang sehingga pemerintah tidak mampu berbuat
secara sempurna dan baik?
"Padahal ini acara
terbesar tahun ini. Apakah anggarannya kurang, sehingga panitia tidak bisa
mengantisipasi akan terjadinya kebecekan," ungkap Rahmawati salah seorang
pengunjung.
"Hana pat meu tadeng
pih (tidak ada tempat berdiri pun)," kata kawan disampingnya.
Tidak hanya disitu, para
anggota paskibraka MTQ pun harus berjalan diatas lumpur menuju tiang untuk
pengibaran dan pengerekan bendera. Bahkan, beberapa anggota pengibar bendera
MTQ terlihat lumpur mengotori celana mereka karena percikan tanah liat yang
mereka pijak. (AJNN, 1 September 2016,14:43 WIB).
Ini hanya secuil komentar
masyarakat yang sempat diungkap oleh media, masih banyak lagi tanggapan
masyarakat terhadap pelaksanaan MTQ, mereka sebenarnya bukan benci, karena
cinta syiar agama semacam musabaqah ini sehingga lahirlah rasa “kebencian”
terhadap pemerintah yang kurang peduli
terhadap syiar keagamaan.
Kalau ini alasan panitia
MTQ seperti yang diungkap diatas, kenapa jangka waktu yang dua tahunan sepetak
lapangan bola Bandar Dua Ulee Glee tidak bisa direhab dengan baik, lantas di
Pekan Kebudayaan Pidie Jaya (PKPJ) ke-IV tahun 2015 kemarin di Trienggadeng
yang juga acara rutin pemerintah mampu mendesain dan didatangkan stand pameran
ditambah dengan hiruk pikuk kemegahan disana
serta dengan dana yang tidak sedikit, kenapa disana mampu dan bisa?
Bahkan luas arena yang mencapai
10 hektar dan 50 stand disiapkan juga untuk menginformasikan kepada masyarakat
nasional dan internasional tentang sumber daya di Pidie Jaya, seperti yang
diungkapkan ketua panitia PKPJ juga Wakil Bupati Pjay serta sekretaris panitia.
Dengan mempromosikan kerajinan dan kesenian daerah.
“Kegiatan tidaklah
semata-mata sebagai hiburan rakyat tetapi sebagai informasi bagi pengusaha baik
lokal maupun internasional yang ingin mengembangkan potensi sumber daya yang
ada di Kabupaten Pidie Jaya,” ujar Jauhar sebagai sekretaris panitia PKPJ 2015.
Sementara itu Wakil Bupati
Pidie Jaya, sebagai ketua panitia, Said Mulyadi mengatakan Pekan Kebudayaan
Pidie Jaya ke IV ini akan menampilkan seluruh kerajinan masyarakat sebagai
ajang untuk mempromosikan Pidie Jaya keluar daerah.
“Seluruh hasil kerajinan
masyarakat itu akan ditampilkan dalam satu stand khusus, yakni stand dewan
kerajinan daerah,” ujar Said Mulyadi. (AcehTerkini,30 Mei 2015/21:48).
Melihat antusiasnya pemkab
lebih memperhatikan PKPJ sebagai agenda rutinitas tetap pemerintah Pidie Jaya
di bidang kesenian dan pesta rakyat yang dibandingkan dengan perhelatan dan
syiar keagamaan yang dipayungi oleh MTQ.
Lantas siapakah dua “kubu”
terbesar di Pijay dalam perhelatan “el-Clasico” antara PKPJ Vs MTQ Pijay yang patut
diberi pucuk penghargaan “C2” alias “cilet-cilet”, MTQ kah atau PKPJ? Wallahu ‘allam.
Penulis : Misniati Munir