BOGOR -
Jakarta adalah episentrum Republik Indonesia. Hal itu kian tak terbantahkan
kala Poros Cikeas menurunkan putra mahkota Susilo Bambang Yudhoyono, Agus
Harimurti Yudhoyono, untuk melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilkada
DKI Jakarta 2017. Lobi politik tingkat tinggi berlangsung dua hari penuh di
kediaman SBY, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Lobi alot juga berlangsung
di rumah keluarga besar Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, Jalan
Kertanegara, Jakarta Selatan. Gerindra yang sejak awal berkeras memajukan
Sandiaga Uno, hingga detik terakhir tampak masih kesulitan dan kebingungan
mencarikan pasangan bagi pengusaha yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Pembina
Gerindra itu.
Poros Cikeas luar biasa
serius mencari lawan bagi Ahok, terlebih setelah sang petahana didukung partai
penguasa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sokongan PDIP membuat Ahok,
berdasarkan hitung-hitungan di atas kertas, menang bahkan sebelum Pilkada DKI
Jakarta dimulai.
Ahok yang memang unggul di
berbagai survei, kini mempunyai mesin politik kuat untuk mendorongnya kembali
mencengkeram kursi gubernur. Di sisi lain, Sandiaga Uno yang “dijual” Gerindra
untuk menantang Ahok, dianggap banyak partai sebagai kartu mati, siapapun calon
wakil gubernur yang bakal mendampinginya.
Pada saat-saat akhir
penentuan calon, PDIP maupun Poros Cikeas sama-sama memutuskan tak mendukung
Sandiaga. Pagi hari sebelum PDIP mengumumkan calon gubernurnya, Selasa (20/9),
Sandiaga bahkan telah mendapat pesan dari utusan partai itu. Isi pesannya:
jangan berharap.
Poros Cikeas berpendapat
serupa. Sekeras apapun niat Gerindra mengusung Sandiaga, elektabilitas orang
terkaya ke-29 di Indonesia tahun 2009 versi Forbes itu dipandang tak dapat
menyaingi agresivitas Ahok di berbagai lini.
Maka Poros Cikeas berpikir
keras, dan setelah “bertapa” dua hari dua malam menyodorkan kartu as mereka:
Agus Harimurti Yudhoyono.
Putra sulung SBY yang
memiliki karier militer cemerlang di TNI Angkatan Darat itu selama ini dianggap
serbabisa. Tahun lalu, Agus menyelesaikan pendidikan militer di US Army Command
and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat, dengan
Indeks Prestasi Kumulatif 4.
Pada saat bersamaan, ia
juga meraih gelar Master of Arts dari George Herbert Walker School of Business
and Technology, Webster University, juga dengan IPK 4. Ini cuma secuil kecil
dari deretan prestasi Agus Yudhoyono di dunia akademis dan militer.
Nama Agus, menurut
Sekretaris Jenderal Demokrat Hinca Panjaitan, diajukan oleh tiga partai anggota
Poros Cikeas Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai
Kebangkitan Bangsa sehingga mengejutkan Demokrat.
Namun akhirnya, kesediaan
Agus untuk maju pada Pilkada DKI Jakarta tahun depan, langsung melibas delapan
nama lain yang sebelumnya ikut penjaringan calon gubernur Partai Demokrat.
Demokrat dari mula memang
bertekad mengusung calon lain di luar Ahok. Instruksi “asal bukan Ahok” itu,
menurut Wakil Ketua Demokrat Syarif Hasan, merupakan instruksi langsung SBY
selaku ketua umum.
“Yang jelas bukan Ahok.
Kami mau yang lebih baik,” kata Syarif, akhir Agustus.
Pertarungan politik di
Jakarta sejak 2012 selalu berlangsung keras. Terlebih karena gubernur terpilih
pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Joko Widodo, sukses diboyong PDIP ke Istana
menjadi Presiden, hanya dua tahun setelah memimpin Jakarta.
Jakarta sontak menjadi
barometer kekuatan politik nasional. Siapa menguasai Jakarta, berpotensi besar
menguasai Indonesia.
PDIP menganut prinsip ini,
dan karenanya tak mau ambil risiko dengan mendukung calon yang memiliki
elektabilitas meragukan. Meski berbuah mundurnya kader partai seperti Boy
Bernardi Sadikin –mantan ketua Dewan Pimpinan Daerah PDIP Jakarta dan putra
mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin, PDIP konsisten memosisikan diri sebagai
partai penguasa yang tak mau dikalahkan.
Sejak awal hal itu telah
diramalkan oleh pengamat politik Universitas Indonesia, Cecep Hidayat. “Pilihan
PDIP akan mempertimbangkan faktor Pemilu 2019.”
Bukan artinya Ahok akan
diusung PDIP untuk melaju pada Pemilu 2019, namun untuk mengamankan posisi Jokowi
di pemilu yang bakal berlangsung dua tahun setelah gelaran Pilkada DKI Jakarta.
PDIP dan Jokowi, menurut
Cecep, tak ingin Jakarta dipimpin oleh orang yang berpotensi menjadi pesaing
pada Pemilu Presiden 2019. Ahok yang selama ini dipercaya Jokowi, disebut Cecep
belum akan menjadi rival Jokowi pada 2019.
Demokrat juga tahu arti
penting menguasai Jakarta. Apalagi jika mereka berniat “memupuk” tokoh yang
bisa diproyeksikan menjadi pemimpin Republik Indonesia di masa depan, tak cuma
untuk Pemilu 2019.
Maka Agus Yudhoyono
menjadi pertaruhan besar Demokrat. Terlebih sang perwira militer belum pernah
sekalipun terjun ke dunia politik dan memimpin pemerintahan. Kompetensinya baru
terlihat di sektor militer dan dunia akademis, belum manajemen pemerintahan
yang kerap penuh intrik.
Jakarta menjadi
pertarungan pertama Agus. Popularitas saja (santun, cerdas, bersih, dan good looking
menurut Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat Ramadhan Pohan) tak bisa menjamin ia
bakal mengelola ibu kota dengan benar.
Oleh sebab itu, Poros
Cikeas memilihkan wakil birokrat karier Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Sylviana Murni, sebagai pendampingnya. Sylviana kini menjabat sebagai Deputi
Gubernur DKI Bidang Kepariwisataan dan Kebudayaan. Ia juga pernah menjadi wali
kota Jakarta Pusat.
Popularitas Agus Yudhoyono
yang diharapkan Poros Cikeas juga mengerek elektabilitasnya digabung dengan
pengalaman dan kompetensi Sylviana mengatur pemerintahan kota, dianggap
berpotensi mengobrak-abrik kedigdayaan Ahok dan PDIP.
Sejumlah sumber misalnya
mengatakan kemunculan Agus berpotensi membuat internal partai yang bergabung
dalam koalisi Ahok terpecah.
Poster kampanye atas nama
Agus pun dengan cepat beredar di dunia maya, antara lain berbunyi, “Pemimpin
muda untuk Jakarta telah datang untuk kita semua.” “Pemimpin muda pemimpin
santun untuk Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) DKI 1-2017.[CNN Indonesia]