BANDA
ACEH
- Jaringan Aneuk Syuhada Aceh (JASA) menyesalkan putusan MK yang mengabulkan
tuntutan mantan narapidana Abdullah Puteh ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap
Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh.
Kemudian, kali ini kembali
ada pihak yang ingin menggugat kembali salah satu poin UU PA menyangkut tentang
bendera bintang bulan yang sudah disahkan bersama oleh DPRA Aceh padahal
sekarang bendera bintang bulan tersebut sudah sah secara hukum baik de jure
maupun defacto.
“Maka dalam hal ini, kami
anak Syuhada Aceh ingin mempertanyakan keseriusan dan komitmen Pemerintah Pusat
menyangkut perdamaian MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh,” demikian dikatakan Ketua Umum JASA, Bukhari kepada
LintasAtjeh.com melalui siaran persnya, Jum’at (2/9/2016).
Lebih lanjut, Bukhari
mengatakan kami sangat kecewa kepada Pemerintah Pusat yang terkesan tidak
komitmen terhadap perjanjian yang telah disepakati.
“Buktinya, sekarang baru datang
satu-dua orang yang menggugat, langsung disetujui. Seharusnya Pemerintah Pusat
menepati janjinya untuk segera merealisasikan
dan mengimplementasikan sepenuhnya poin-poin MoU Helsinki bukan malah
sebaliknya menghianati seperti sekarang," katanya.
Masih kata dia, kalau hal
seperti ini terus dilakukan berarti Pemerintah Pusat menginginkan konflik baru
di Aceh, maka kami anak Syuhada akan
melawan dan akan menuntut untuk kembali berjuang untuk memerdekakan Aceh.
“Seharusnya dalam hal ini Pemerintah
Pusat bisa konsisten terhadap perjanjian MoU Helsinki yang telah disepakati
bersama antara GAM-RI demi tercapainya perdamaian abadi di Aceh. Karena kita semua
tahu bahwa UU PA merupakan pedoman dan bagian penting dalam perjianjian MoU
Helsinki. Jadi kita berharap Pemerintah Pusat untuk tidak berkhianat lah, jangan jadikan
perjanjian MoU Helsinki ini kembali terulang seperti perjanjian Lamteh," harapnya.
Selanjutnya, kita berharap
penuh kepada DPRA selaku perwakilan rakyat Aceh bukan hanya sekedar mencekam
atau menghardik tapi harus melawan siapapun yang berniat ingin menghapus pasal
per pasal dalam UU PA. Itu yang harus segera dilakukan oleh DPRA sesuai dengan
fungsionalnya.
“Diakhir cerita kita juga
mengharapkan kepada gubernur selaku kepala pemerintah Aceh untuk tidak tinggal
diam terhadap dihapusnya pasal per pasal dalam UU PA. Karena sudah sangat jelas hanya enam poin undang- undang
kewenangan Pemerintah Pusat, selebihnya kewenangan pemerintah Aceh. Jadi pak
gubernur Doto Zaini bek tinget bak duk, bek sampe nanggroe jipublo metepu hana,”
tutup Bukhari.[Rls]