PADA
setiap pemilu, isu netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu
topik yang hangat diperbincangkan. Seiring juga dengan isu netralitas
TNI/POLRI. Namun berbeda dengan TNI/POLRI yang memang secara jelas sesuai
undang-undang diharuskan netral tanpa hak pilih, PNS ada di area abu-abu. PNS
secara tegas dilarang menjadi pengurus atau anggota partai politik, tapi mereka
memiliki hak pilih. Karenanya, PNS selalu menjadi sasaran janji-janji muluk
partai, janji calon kepala daerah, atau janji calon presiden.
Suara para PNS di
Indonesia yang mencapai 4,5 juta orang, menjadi rebutan. Di Kalimantan Selatan
sendiri, data BPS terakhir menyebutkan jumlah PNS daerah ini mencapai hampir
100.000 orang. Angka tersebut belum termasuk hitungan jika PNS bersangkutan
bisa membawa keluarga dan kenalannya untuk memberikan dukungan yang sama dengan
pilihannya. Maka dari itu merebut dukungan para PNS selalu menjadi agenda
setiap partai politik, calon kepala daerah, calon presiden atau stakeholder
politik lainnya pada setiap pemilu dan pemilukada.
Lalu pertanyaannya adalah,
dimana posisi PNS pada sistem politik di Indonesia? Apakah diharuskan netral
total seperti TNI/POLRI sementara mereka punya hak pilih? Bolehkah PNS ikut
berkampanye atau memberikan dukungan secara terbuka pada calon atau partai
politik tertentu?
Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
yang kemudian diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN) secara jelas menyatakan: Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh
partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN,
serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang
dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Hal ini diperkuat Undang-undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang pada
pasal 41 ayat 2 yang secara tegas melarang Pegawai Negeri Sipil menjadi
PELAKSANA kampanye politik.
Namun undang-undang yang
sama pada pasal 41 ayat 4 dan 5 menyebutkan bahwa PNS boleh menjadi PESERTA
kampanye. Dengan prasyarat, tidak boleh menggunakan atribut Partai Politik,
Pasangan Calon, atau atribut pegawai negeri sipil. Serta dilarang mengerahkan
pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan fasilitas
negara.
Pasal 44 undang-undang
nomer 42 tahun 2008 ini juga memuat topik yang bertema PNS dan kampanye, isinya
secara lengkap sebagai berikut:
(1)
Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri
serta pegawai negeri lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada
keberpihakan terhadap Pasangan Calon yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada
pegawai negeri dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan
masyarakat.
Pada bagian ini, perhatian
perlu ditujukan pada larangan mengajak dan mengimbau anggota keluarga dan masyarakat.
Satu dekade terakhir,
dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan semakin maraknya penggunaan
jejaring sosial di internet serupa Facebook, Twitter atau sejenisnya, orang
perorang dengan mudahnya memaparkan ide, pilihan maupun pendapatnya kepada
publik.
Terkait hal tersebut di
atas, PNS sebagai abdi negara yang statusnya dijamin dan diatur undang-undang
perlu memahami bahwa jejaring sosial adalah bagian dari masyarakat. Karenanya,
perlu ada kehati-hatian dalam menyuarakan pendapat khususnya terkait politik
dan keberpihakan.
Dalam paparan dua
undang-undang di atas, dapat disimpulkan bahwa PNS sebagai warga negara yang
mempunyai hak pilih, diperbolehkan mengikuti kampanye serta menyuarakan
dukungan terhadap partai atau calon jabatan politik tertentu. Namun, PNS
dilarang mengajak orang lain untuk memilih partai atau calon tertentu termasuk
dilarang mengajak anggota keluarga.
Hal ini diperkuat
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil
Menjadi Anggota Partai Politik yang menyatakan sanksi bagi PNS yang terlibat
aktif dalam kegiatan politik adalah pemberhentian dengan hormat atau dengan
tidak hormat. Sementara bagi PNS yang ingin menjadi anggota atau pengurus
partai politik, dapat dilakukan asalkan ia mengundurkan diri sebagai PNS.
Larangan yang sama juga
tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil yang melarang PNS memberikan dukungan kepada calon
Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara ikut serta sebagai pelaksana
kampanye, menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau
atribut PNS, atau mengerahkan PNS lain sebagai peserta kampanye.
Pelanggaran PNS pada
aturan PP di atas akan dikenai hukuman disiplin, seperti yang dijelaskan
sebagai berikut:
Hukuman
disiplin ringan (teguran lisan; teguran tertulis; atau pernyataan tidak puas
secara tertulis).
Hukuman disiplin sedang; (penundaan
kenaikan gaji berkala selama 1 tahun; penundaan kenaikan pangkat selama 1
tahun; atau penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun).
Hukuman disiplin berat (penurunan
pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun; pemindahan dalam rangka
penurunan jabatan setingkat lebih rendah; pembebasan dari jabatan;
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; atau
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS).
Selain Undang-undang dan
PP tersebut di atas, netralitas PNS juga diatur oleh Surat Edaran MENPAN Nomor
07 Tahun 2009 tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum yang
pada dasarnya adalah penjabaran dari aturan-aturan di atasnya. Namun pada Surat
Edaran MENPAN ini dimuat aturan yang memperbolehkan PNS menjadi anggota Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam kegiatan pemilu dengan disertai
adanya izin dari atasan langsung.
Dengan demikian, dapat
diambil kesimpulan bahwa PNS sebagai warga negara yang memiliki hak pilih dalam
pemilu, memiliki hak untuk mengikuti kampanye serta dapat menyuarakan ide serta
pendapatnya terkait politik, baik di masyarakat maupun di media sosial termasuk
internet. Namun PNS dilarang menjadi pelaksana kampanye termasuk dilarang
mengajak dan mengimbau siapapun untuk memilih calon tertentu. Sanksi dari
pelanggaran aturan ini berupa sanksi disiplin mulai dari tingkat ringan, sedang
hingga berat sesuai dengan penilaian dari atasan yang berhak melakukan
penilaian.[Manusiasuper]