-->


Netralitas PNS Diantara Politik, Kampanye dan Media Sosial

29 September, 2016, 11.31 WIB Last Updated 2016-09-29T04:31:52Z
PADA setiap pemilu, isu netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu topik yang hangat diperbincangkan. Seiring juga dengan isu netralitas TNI/POLRI. Namun berbeda dengan TNI/POLRI yang memang secara jelas sesuai undang-undang diharuskan netral tanpa hak pilih, PNS ada di area abu-abu. PNS secara tegas dilarang menjadi pengurus atau anggota partai politik, tapi mereka memiliki hak pilih. Karenanya, PNS selalu menjadi sasaran janji-janji muluk partai, janji calon kepala daerah, atau janji calon presiden.

Suara para PNS di Indonesia yang mencapai 4,5 juta orang, menjadi rebutan. Di Kalimantan Selatan sendiri, data BPS terakhir menyebutkan jumlah PNS daerah ini mencapai hampir 100.000 orang. Angka tersebut belum termasuk hitungan jika PNS bersangkutan bisa membawa keluarga dan kenalannya untuk memberikan dukungan yang sama dengan pilihannya. Maka dari itu merebut dukungan para PNS selalu menjadi agenda setiap partai politik, calon kepala daerah, calon presiden atau stakeholder politik lainnya pada setiap pemilu dan pemilukada.

Lalu pertanyaannya adalah, dimana posisi PNS pada sistem politik di Indonesia? Apakah diharuskan netral total seperti TNI/POLRI sementara mereka punya hak pilih? Bolehkah PNS ikut berkampanye atau memberikan dukungan secara terbuka pada calon atau partai politik tertentu?

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang kemudian diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) secara jelas menyatakan: Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Hal ini diperkuat Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang pada pasal 41 ayat 2 yang secara tegas melarang Pegawai Negeri Sipil menjadi PELAKSANA kampanye politik.

Namun undang-undang yang sama pada pasal 41 ayat 4 dan 5 menyebutkan bahwa PNS boleh menjadi PESERTA kampanye. Dengan prasyarat, tidak boleh menggunakan atribut Partai Politik, Pasangan Calon, atau atribut pegawai negeri sipil. Serta dilarang mengerahkan pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan fasilitas negara.

Pasal 44 undang-undang nomer 42 tahun 2008 ini juga memuat topik yang bertema PNS dan kampanye, isinya secara lengkap sebagai berikut:

    (1) Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta pegawai negeri lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Pasangan Calon yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.

    (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada pegawai negeri dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Pada bagian ini, perhatian perlu ditujukan pada larangan mengajak dan mengimbau anggota keluarga dan masyarakat.

Satu dekade terakhir, dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan semakin maraknya penggunaan jejaring sosial di internet serupa Facebook, Twitter atau sejenisnya, orang perorang dengan mudahnya memaparkan ide, pilihan maupun pendapatnya kepada publik.

Terkait hal tersebut di atas, PNS sebagai abdi negara yang statusnya dijamin dan diatur undang-undang perlu memahami bahwa jejaring sosial adalah bagian dari masyarakat. Karenanya, perlu ada kehati-hatian dalam menyuarakan pendapat khususnya terkait politik dan keberpihakan.

Dalam paparan dua undang-undang di atas, dapat disimpulkan bahwa PNS sebagai warga negara yang mempunyai hak pilih, diperbolehkan mengikuti kampanye serta menyuarakan dukungan terhadap partai atau calon jabatan politik tertentu. Namun, PNS dilarang mengajak orang lain untuk memilih partai atau calon tertentu termasuk dilarang mengajak anggota keluarga.

Hal ini diperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik yang menyatakan sanksi bagi PNS yang terlibat aktif dalam kegiatan politik adalah pemberhentian dengan hormat atau dengan tidak hormat. Sementara bagi PNS yang ingin menjadi anggota atau pengurus partai politik, dapat dilakukan asalkan ia mengundurkan diri sebagai PNS.

Larangan yang sama juga tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang melarang PNS memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara ikut serta sebagai pelaksana kampanye, menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, atau mengerahkan PNS lain sebagai peserta kampanye.

Pelanggaran PNS pada aturan PP di atas akan dikenai hukuman disiplin, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:

       Hukuman disiplin ringan (teguran lisan; teguran tertulis; atau pernyataan tidak puas secara tertulis).
       
       Hukuman disiplin sedang; (penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun; penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun; atau penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun).
       
       Hukuman disiplin berat (penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun; pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; pembebasan dari jabatan; pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS).

Selain Undang-undang dan PP tersebut di atas, netralitas PNS juga diatur oleh Surat Edaran MENPAN Nomor 07 Tahun 2009 tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum yang pada dasarnya adalah penjabaran dari aturan-aturan di atasnya. Namun pada Surat Edaran MENPAN ini dimuat aturan yang memperbolehkan PNS menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam kegiatan pemilu dengan disertai adanya izin dari atasan langsung.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa PNS sebagai warga negara yang memiliki hak pilih dalam pemilu, memiliki hak untuk mengikuti kampanye serta dapat menyuarakan ide serta pendapatnya terkait politik, baik di masyarakat maupun di media sosial termasuk internet. Namun PNS dilarang menjadi pelaksana kampanye termasuk dilarang mengajak dan mengimbau siapapun untuk memilih calon tertentu. Sanksi dari pelanggaran aturan ini berupa sanksi disiplin mulai dari tingkat ringan, sedang hingga berat sesuai dengan penilaian dari atasan yang berhak melakukan penilaian.[Manusiasuper]

Komentar

Tampilkan

Terkini