LANGSA - Pensiunan Kepala Bagian (Kabag) Hukum, PT Perkebunan Nusantara I
(Persero) Langsa, Darwis Anatami, SH, MH, berhasil mempertahankan desertasinya
yang berjudul 'Rekonstruksi Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Outsourcing
Berbasis Nilai Keadilan' dengan nilai cum laude (pujian_red).
Desertasi itu dipertahankan dalam ujian terbuka untuk memperoleh gelar
Doktor Ilmu Hukum yang digelar Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
(Unissula) Semarang, Jawa Tengah, di Aula S3 Fakultas Hukum Unissula, Sabtu
(20/8/2016) kemarin.
Ujian terbuka dipimpin oleh Prof. DR. H. Gunarto, SH, SE, Ak, M.Hum. (Ketua
program), Prof. DR. H. Jawade Hafizd, SH, MH (Dekan Fakultas Hukum), DR. H. Darwinsyah Minin, SH, MS, DR. H.
Jauhari, SH, M.Hum, DR. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, SH, M.Hum, dan DR. Hj. Anis
Masdiurohatun, SH, M.Hum.
Kepada LintasAtjeh.com, Rabu (31/8/2016), Darwis Anatami, SH, MH, yang juga
seorang akademisi di Universitas Samudra (Unsam) Langsa menyampaikan bahwa
dalam menyelesaikan desertasi, dirinya melakukan penelitian di tiga negara,
yakni di Malaysia, Singapore dan Beijing (Cina).
Dalam desertasinya, kata Darwis, dirinya
menyorot tentang permasalahan tenaga kerja outsourcing yang saat ini
menjadi masalah, baik di tingkat
nasional maupun internasional, karena dianggap sebagai perbudakan zaman modern
karena tenaga kerja bisa dieksploitasi dan disamakan dengan barang.
Darwis menyarankan adanya rekonstruksi undang-undang tenaga kerja agar
dapat memberikan perlindungan hukum yang berbasis nilai keadilan bagi setiap
tenaga kerja outsourcing.
Menurutnya, Undang-Undang (UU) Nomor: 13 Tahun 2003, tentang
ketenagakerjaan dirasakan belum cukup untuk memberikan perlindungan kepada para
tenaga kerja outsourcing sehingga sangatlah perlu dilakukan upaya rekonstruksi.
Lebih lanjut dia menjelaskan, bila dicermati dari status dan pemenuhan hak
para pekerja outsourcing, maka sangatlah jauh berbeda dengan para pekerja atau
karyawan tetap dari perusahaan pengguna. Upah untuk para pekerja outsourcing
juga hanya sebatas UMP. Tidak ada tunjangan sosial, hak cuti tahunan dan tidak
ada juga cuti hamil tidak diberikan.
Selain itu, kesempatan untuk membentuk atau bergabung dengan serikat
pekerja yang ada pada perusahaan pengguna tidak diberikan sehingga hubungan
industrial menjadi kabur.
"Kewajiban yang diemban oleh para tenaga kerja outsourcing tidaklah
berbeda dengan para pekerja atau karyawan tetap. Padahal perlindungan terhadap
para tenaga kerja sudah dijamin oleh UUD Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2), bahwa
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan," imbuhnya.
Pelanggaran terhadap perlindungan hukum para pekerja outsourcing adalah
pelanggaran HAM. Dan dari penelitian di Negara Singapore, Malaysia, Beijing
(Cina), terlihat jelas bahwa Indonesia sangat jauh tertinggal dalam pembinaan
dan perlindungan tenaga kerja outsourcing.
Menurut Darwis, rekonstruksi hukum yang dimaksud yakni menyarankan agar
pekerja outsourcing mendapatkan hak yang sama dengan pekerja atau karyawan
tetap, kecuali bagi para karyawan yang telah pensiun. Setelah lulus tes uji
selama 3 bulan berkerja maka pekerja outsourcing harus menjadi pekerja tetap
dengan perjanjian kerja berjangka.
"Pemecatan atau pemberhentian harus dibayar sesuai dengan Undang-Undang
No. 13 tahun 2003, tentang ketenaga kerjaan. Undang-Undang No. 21 tahun 2000, tentang
serikat pekerja. Undang-Undang No. 2 tahun 2004, tentang penyelesaian hubungan
industrial," demikian terang Darwis Anatami, SH, MH.[zf]