Oleh : Ian Singleton, Ph.D.
Dari : Yayasan Ekosistem Lestari-
Program Konservasi Orangutan Sumatera
SEBELUM masa konflik Aceh hutan
Aceh terus berkurang tapi selama konflik relative stabil karena perkebunan
tidak aktif dan juga sebagian besar petani petani yang berkebun di pinggir
hutan juga tidak rajin kerja.
Tetapi, sesudah konflik selesai
dan masa kedamaian mulai, kondisi sebelumnya telah kembali dan kerusakan dan
kehilangan hutan terus terjadi lagi.
Kelihatanya juga pemerintah Aceh
tidak terlalu serius dan berkomitmen tinggi terhadap kelestarian hutan dan
konservasi, terbukti karena kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser
sampai sekarang tidak masuk sama sekali dalam RTRW Aceh dan dengan keadaan
Pergub yang jelaskan cara untuk dapat izin konsesi di dalam KEL.
Ancaman ancaman kepada hutan Aceh
saat ini terutama akibat dari konversi hutan untuk meluaskan perkebunan kelapa
sawit, pertambangan dan energy, dan pembukaan jalan yang membuka akses baru
untuk perambahan dan konversi, untuk perburuan, dan memotong habitat satwa
melalui fragmentasi.
Tetapi, apa semua kerusakan ini
dapat di bilang “untuk kepentingan pengembangan ekonomi?” Cukup banyak bukti
bahwa tidak. Jumlah dan skala bencana di Aceh sangat signifikan dan kehilangan
dan kerugian ekonomi juga sangat signifikan. Sebenarnya, tidak terbukti sama
sekali bahwa konversi dan kerusakan ini menguntungkan ekonomi provinsi maupun
daerah. Misalnya, Bank Dunia mencatat kerugian ekonomi akibat banjir di akhir
tahun 2006 di Aceh mencapai USD 210 juta. Contoh lain, Bank Dunia juga mencatat
kerugian ekonomi Pemerintah Indonesia akibat kebakaran hutan di tahun 2015
mencapai USD 16,1 milyar
Sayang ini. Seharusnya perencanaan dan penataan ruang
selalu berbasis ilmiah dan fakta fakta/data data yang benar, dan di Aceh sudah
banyak data berkualitas tersedia, akibat kerja beberapa instansi. Maka aneh dan
sayang bahwa sepertinya pemerintah abaikan semua data dan bantuan yang tersedia
dalam proses perencanaan dan penataan ruang.
Yang perlu digarisbawahi bahwa :
jika merusak semua asset dan jasa lingkungan untuk memaximalkan revenue dalam
jangka pendek, potensi Aceh dalam pengembangan ekonomi jangka panjang sangat
terancam.