-->


LSM FAKTA: Hentikan Peredaran Arang Illegal dari Aceh

14 Agustus, 2016, 13.39 WIB Last Updated 2016-08-14T06:39:59Z
LANGSA - LSM FAKTA mengecam keras terhadap praktek penebangan 'liar' hutan bakau (mangrove_red), untuk produksi arang illegal yang sudah berlangsung selama puluhan tahun di wilayah hukum Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang. Hal tersebut merupakan kejahatan besar sebagaimana termuat dalam Pasal 50, Undang-Undang Nomor: 4I Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Pasal 78 Undang-Undang (UU) tersebut.

"Hasil dari penulusuran LSM FAKTA bahwa hampir keseluruhan 'pemain' arang di wilayah hukum Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang, baik pengusahanya maupun para koperasinya terindikasi sebagai pihak-pihak yang bermasalah," demikian tegas Ketua LSM FAKTA, R. Wiranata kepada LintasAtjeh.com, Minggu (14/8/2016).

Wiranata membeberkan, baru-baru ini sejumlah gudang tempat penyimpanan arang milik pengusaha keturunan Tioghoa asal Medan, Sumatera Utara, Lehanas Simakmur alias Asiong, yang merupakan pihak penampung arang illegal dari wilayah hukum Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang digugat oleh salah satu ormas di Sumatera Utara, yakni Ormas Gerakan Muda Pejuang Pembaharuan Sumatera Utara (GMP2-SU). 

"Selama ini kita ketahui bahwa Asiong merupakan seorang pengusaha yang melakukan kegiatan penampungan arang illegal dari Aceh yang dilakukan atas nama PT. Niaga Makmur dan bekerjasama dengan para oknum pengurus koperasi yang bermasalah, seperti oknum Ketua Koperasi KSU Flora Potensi dan juga Koperasi KSU Bina Mufakat," terang Wiranata.

Tambahnya, beberapa hari belakangan ini media massa telah mengungkapkan tentang berbagai indikasi kejahatan oknum Ketua Koperasi KSU Flora Potensi, Agusriadi, yang diduga kuat telah melakukan penyalahgunaan wewenangnya untuk memperkaya dirinya dengan cara bertindak secara sepihak memuluskan usaha arang illegal dengan Asiong.

Selain itu, kata Wiranata, terungkap juga persoalan besar lainnya, yakni pengangkutan arang bakau asal Aceh, khususnya dari wilayah hukum Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang menggunakan dokumen bodong yang selama ini dilakukan oleh Koperasi KSU Bina Mufakat.

"Hal tersebut berdasarkan temuan terhadap adanya surat kaleng atas nama masyarakat di pesisir pantai timur yang ditujukan kepada Direktur Intelkam Polda Aceh, tertanggal 22 Januari 2016 kemarin," ungkap Wiranata.

Lanjutnya, dalam surat kaleng tersebut berisi tentang perihal: praktek illegal logging oleh Koperasi Bina Mufakat yang wilayah kerjanya di Kota Langsa, Kabupaten Aceh Timur dan Sumatera Utara. Turut dilampirkan, fotocopy nota angkutan dan fako bodong/palsu, dengan tembusan surat, 1. Kapolda Aceh, 2. Wakapolda Aceh. 3.Dirkrimsus Polda Aceh, 4. Kabid Propam Polda Aceh, 5. Kapolri, 6. Wakapolri, 7.Kabag Intelkam Polri, 8. Kabag Reskrim Polri, serta 9. Kabid Propam Polri.

Terangnya lagi, dalam isi surat kaleng tersebut dituliskan pada alenia ke tiga bahwa praktek illegal logging perambahan hutan bakau di Kabupaten Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang sudah berlangsung selama puluhan tahun dan setiap hari ratusan ton arang bakau yang dikirim ke Medan maupun Banda Aceh, Meulaboh, Takengon dan tempat lain yang hanya dilengkapi dengan nota angkutan dari Koperasi KSU Bina Mufakat yang diduga bodong.
Pada alenia ke empat, tertulis bahwa praktek jual beli nota angkutan dari Koperasi KSU Bina Mufakat seharga Rp. 200 ribu per-ton arang bakau dan ini sudah bisa menjadi surat sakti yang wajib ada. Kalau tidak dilengkapi dengan surat sakti tersebut sudah pasti pihak terkait langsung memproses dan tangkap. Lalu untuk sekali jalan mobil pick up Grand Max harus bayar Rp 400 ribu per unit dan untuk jenis truk colt diesel harus bayar Rp. 1 juta kepada pihak terkait.

Menurut keterangan Wiranata, sebenarnya selama ini izin Koperasi KSU Bina Mufakat disebutkan semua sah, tapi hanya izin jasa non kayu, artinya 'mereka tidak boleh menebang pohon bakau sebatangpun' sebab izin pemanfaatan hasil hutan kayu belum ada, baik dari BP2HP maupun dari Kementrian Kehutanan dan Kementrian Lingkungan Hidup.

"Dikarenakan perizinan Koperasi KSU Bina Mufakat baru terbit sekitar tahun 2015 lalu, maka sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemanfaatan hasil hutan kayu harus berasal dari hasil tanaman sendiri. Ironisnya, peredaran arang bakau sudah berjalan sejak tahun 2007 dengan menggunakan Faktur Kayu Olahan (FAKO) yang diganti dengan menggunakan Nota Angkutan sejak tahun 2014 lalu, tetap terus berlangsung sampai saat ini. Diduga kuat kegiatan Koperasi KSU Bina Mufakat tersebut ILLEGAL dan harus dihentikan segera," tegas Ketua LSM FAKTA, R. Wiranata.[Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini