LANGSA -
LSM FAKTA mengecam keras terhadap praktek penebangan 'liar' hutan bakau
(mangrove_red), untuk produksi arang illegal yang sudah berlangsung selama
puluhan tahun di wilayah hukum Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang. Hal
tersebut merupakan kejahatan besar sebagaimana termuat dalam Pasal 50,
Undang-Undang Nomor: 4I Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan dapat dikenakan
sanksi hukum sesuai dengan Pasal 78 Undang-Undang (UU) tersebut.
"Hasil dari
penulusuran LSM FAKTA bahwa hampir keseluruhan 'pemain' arang di wilayah hukum
Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang, baik pengusahanya maupun para
koperasinya terindikasi sebagai pihak-pihak yang bermasalah," demikian
tegas Ketua LSM FAKTA, R. Wiranata kepada LintasAtjeh.com, Minggu (14/8/2016).
Wiranata membeberkan,
baru-baru ini sejumlah gudang tempat penyimpanan arang milik pengusaha
keturunan Tioghoa asal Medan, Sumatera Utara, Lehanas Simakmur alias Asiong,
yang merupakan pihak penampung arang illegal dari wilayah hukum Aceh Timur,
Kota Langsa dan Aceh Tamiang digugat oleh salah satu ormas di Sumatera Utara,
yakni Ormas Gerakan Muda Pejuang Pembaharuan Sumatera Utara (GMP2-SU).
"Selama ini kita
ketahui bahwa Asiong merupakan seorang pengusaha yang melakukan kegiatan penampungan
arang illegal dari Aceh yang dilakukan atas nama PT. Niaga Makmur dan
bekerjasama dengan para oknum pengurus koperasi yang bermasalah, seperti oknum
Ketua Koperasi KSU Flora Potensi dan juga Koperasi KSU Bina Mufakat,"
terang Wiranata.
Tambahnya, beberapa hari
belakangan ini media massa telah mengungkapkan tentang berbagai indikasi
kejahatan oknum Ketua Koperasi KSU Flora Potensi, Agusriadi, yang diduga kuat
telah melakukan penyalahgunaan wewenangnya untuk memperkaya dirinya dengan cara
bertindak secara sepihak memuluskan usaha arang illegal dengan Asiong.
Selain itu, kata Wiranata,
terungkap juga persoalan besar lainnya, yakni pengangkutan arang bakau asal
Aceh, khususnya dari wilayah hukum Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang
menggunakan dokumen bodong yang selama ini dilakukan oleh Koperasi KSU Bina
Mufakat.
"Hal tersebut
berdasarkan temuan terhadap adanya surat kaleng atas nama masyarakat di pesisir
pantai timur yang ditujukan kepada Direktur Intelkam Polda Aceh, tertanggal 22
Januari 2016 kemarin," ungkap Wiranata.
Lanjutnya, dalam surat
kaleng tersebut berisi tentang perihal: praktek illegal logging oleh Koperasi
Bina Mufakat yang wilayah kerjanya di Kota Langsa, Kabupaten Aceh Timur dan
Sumatera Utara. Turut dilampirkan, fotocopy nota angkutan dan fako
bodong/palsu, dengan tembusan surat, 1. Kapolda Aceh, 2. Wakapolda Aceh.
3.Dirkrimsus Polda Aceh, 4. Kabid Propam Polda Aceh, 5. Kapolri, 6. Wakapolri,
7.Kabag Intelkam Polri, 8. Kabag Reskrim Polri, serta 9. Kabid Propam Polri.
Terangnya lagi, dalam isi
surat kaleng tersebut dituliskan pada alenia ke tiga bahwa praktek illegal
logging perambahan hutan bakau di Kabupaten Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang
sudah berlangsung selama puluhan tahun dan setiap hari ratusan ton arang bakau
yang dikirim ke Medan maupun Banda Aceh, Meulaboh, Takengon dan tempat lain
yang hanya dilengkapi dengan nota angkutan dari Koperasi KSU Bina Mufakat yang
diduga bodong.
Pada alenia ke empat,
tertulis bahwa praktek jual beli nota angkutan dari Koperasi KSU Bina Mufakat
seharga Rp. 200 ribu per-ton arang bakau dan ini sudah bisa menjadi surat sakti
yang wajib ada. Kalau tidak dilengkapi dengan surat sakti tersebut sudah pasti
pihak terkait langsung memproses dan tangkap. Lalu untuk sekali jalan mobil
pick up Grand Max harus bayar Rp 400 ribu per unit dan untuk jenis truk colt
diesel harus bayar Rp. 1 juta kepada pihak terkait.
Menurut keterangan
Wiranata, sebenarnya selama ini izin Koperasi KSU Bina Mufakat disebutkan semua
sah, tapi hanya izin jasa non kayu, artinya 'mereka tidak boleh menebang pohon
bakau sebatangpun' sebab izin pemanfaatan hasil hutan kayu belum ada, baik dari
BP2HP maupun dari Kementrian Kehutanan dan Kementrian Lingkungan Hidup.
"Dikarenakan
perizinan Koperasi KSU Bina Mufakat baru terbit sekitar tahun 2015 lalu, maka
sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemanfaatan hasil hutan
kayu harus berasal dari hasil tanaman sendiri. Ironisnya, peredaran arang bakau
sudah berjalan sejak tahun 2007 dengan menggunakan Faktur Kayu Olahan (FAKO)
yang diganti dengan menggunakan Nota Angkutan sejak tahun 2014 lalu, tetap
terus berlangsung sampai saat ini. Diduga kuat kegiatan Koperasi KSU Bina
Mufakat tersebut ILLEGAL dan harus dihentikan segera," tegas Ketua LSM
FAKTA, R. Wiranata.[Red]