JAKARTA
- Salah satu alasan mengapa koruptor bisa mendapat remisi di hari raya
keagamaan dan hari kemerdekaan ialah karena kurangnya ruang tahanan di penjara
Indonesia.
Menanggapi
hal itu, Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti menilai, selain
menambah jumlah penjara, solusi lain yang bisa dilakukan dalam waktu dekat
ialah dengan mengurangi tahanan dengan kasus yang sangat rendah.
“Solusinya
tidak hanya bangunan, misalnya bisa dengan mengurangi jumlah napi yang cuma
curi sendal atau curi kaos, ngapain dihukum?” kata Bivitri dalam diskusi di
Jalan Gereja Santa Theresia, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/8).
Tak
hanya itu, berdasarkan studi yang pernah ia baca, dikatakan bahwa sistem
pendataan di penjara Indonesia sangatlah buruk. Di penjara masih ada napi yang
seharusnya sudah bisa menghirup udara bebas, tapi harus mendekam di balik
jeruji besi lebih lama lantaran kacaunya data tersebut.
“Ada
seorang napi yang seharusnya sudah lepas dua bulan lalu, kemudian petugasnya
nggak tahu. Lalu karena dia orang miskin dan tidak punya advokat, ya sudah
nurut aja. Jadi banyak yang sudah lepas, tapi masih menginap lebih lama,”
ujarnya.
Sebagai
informasi, di tahun 2016 saja tercatat ada lebih dari 187 ribu penghuni yang
mendekam di penjara, sementara kapasitas total penghuni di balik jeruji besi
itu hanya 120 ribu orang.
Seperti
diketahui, salah satu alasan pemerintah merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 karena
lembaga pemasyarakatan ada yang sudah penuh. Dalam draft revisi PP tersebut
dikatakan pula bahwa ketentuan Justice Collaborator (JC) sebagai syarat remisi
bagi pelaku korupsi, terorisme, dan narkotika dihilangkan.
“Korupsi
syaratnya lebih beratlah untuk dapat remisi. Kalau misalnya diobral, ya itu
harus dipertanyakan,” tandasnya.[Kriminalitas]