![]() |
IST |
MANILA -
Sejumlah foto yang memperlihatkan kondisi tak manusiawi di dalam sebuah lapas
di Filipina muncul ke publik.
Lapas di Quezon City itu
kini menampung 3.800 orang tahanan, hampir lima kali lipat dari kapasitas
maksimalnya.
Di dalam penjara ini, para
tahanan dan narapidana terpaksa hidup berdesakan hanya beralaskan lantai beton
atau di semua ruang yag tersedia. Bahkan tak sedikit yang terpaksa tidur sambil
duduk atau berdiri.
"Banyak yang menjadi
gila," kata Mario Dimaculangan, narapidana yang paling lama menghuni
penjara itu kepada AFP.
"Mereka tak bisa
berpikir. Tempat ini begitu penuh. Hanya dengan sedikit gerakan maka kami akan
menyenggol sesuatu atau seseorang," tambah Mario.
Direktur Eksekutif Pusat
Informasi HAM Filipina (PhilRights) Dr Nymia Pimentel Simbulan mengatakan,
kondisi mengenaskan ini juga terjadi di hampir semua lapas di negeri kepulauan
itu.
"Kondisi semacam ini
terjadi di berbagai lapas di kabupaten dan kota di seluruh negeri termasuk
lapas yang dikelola pemerintah pusat," ujar Simbulan.
Kondisi sanitasi di
berbagai lapas itu sangat buruk. Di lapas Quezon City, satu kamar mandi
digunakan lebih dari 130 orang.
Kejam
Menurut laporan Komisi HAM
pada April 2015, di lapas-lapas Filipina nyaris tak tersedia toilet atau toilet
yang ada dalam kondisi sangat buruk.
Kondisi sanitasi yang
buruk berujung pada kondisi lingkungan yang tak higienis yang berujung pada
munculnya berbagai penyakit seperti TBC, infeksi kulit, diare dan berbagai
penyakit lainnya.
Masalah lain adalah
ketegangan di antara para narapidana yang berdesakan itu kerap berujung
kekerasan dan penyiksaan.
"Kelebihan populasi
adalah masalah besar. Sama seperti makanan, situasi kurang bersih dan minimya
fasilitas membuat mereka hidup menderita," tambah Simbulan.
Padahal Filipina adalah
negara penandatangan konvensi PBB menentang penyiksaan, yang salah satu isinya
adalah melarang perlakuan kejam dan tak manusiawi terhadap narapidana atau
tahanan.
"Sayangnya, kondisi
di berbagai penjara di Filipina menunjukkan hal sebaliknya," tambah
Simbulan.
"Kondisi semacam ini
sudah berlangsung lama dan pemerintah nampaknya tidak mengambil langkah untuk
mengatasi kepadatan dan minimnya fasilitas di lapas," lanjut Simbulan.
Masalah ini, kata
Simbulan, berakar dari sistem hukum yang rusak. Kepadatan penjara ini berawal
dari macet dan lambannya proses persidangan.
Lambannya proses hukum di
Filipina tak hanya disebabkan minimya ruang sidang juga karena terbatasnya
jumlah hakim dan jaksa.
Alhasil, dalam setahun
hanya digelar dua atau tiga persidangan sehingga banyak tahanan harus menunggu
bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun untuk disidangkan.
"Membebaskan para
tahanan ini dengan uang jaminan juga bukan opsi yang baik karena sebagian besar
tahanan di Filipina adalah orang miskin," kaa Phelim Kine, wakil direktur
Human Right Watch (HRW) Asia.
"Dan misalnya mereka
bisa membayar uang jaminan, sebagian besar dari mereka adalah tahanan kasus
narkotika yang tak bisa dibebaskan dengan uang jaminan," tambah Kine.
Hukum lamban
Sebanyak 90 persen
penghuni lapas di Filipina sedang menunggu atau tengah menjalani sidang,
demikian data dari Biro Manajemen Penjara dan Pemasyarakatan Filipina.
"Angka ini Filipina
adalah negara Asia Tenggara tertinggi dalam hal jumlah tahanan yang menanti
persidangan," tambah Kine.
Sebagai contoh, Mario
Dimaculangan yang sudah ditahan di Lapas Quezon City sejak 2001, sejak didakwa
membunuh kerabat seorang politisi. Dia hanya menjalani satu sidang setiap
tahun.
Masalah bagi para
narapidana ini tak berhenti di dalam lapas, saat mereka dibebaskan bahkan
dengan status tak bersalah, mereka akan menghadapi kesulitan lain.
Para mantan narapidana ini
akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan setelah bebas karena stigma buruk yang
mereka sandang sebagai bekas "penjahat".
Sementara, untuk melamar
pekerjaan mereka harus mendapatkan surat rekomendasi dari kepolisian dan biro
investigasi nasional.
"Hal ini menjadi
kendala utama bagi mereka untuk mendapatka pekerjaan layak dengan gaji
memadai," ujar Simbulan.
Sebagian besar akhirnya
memilih bekerja di jalur informal dan tak sedikit yang kembali ke dunia hitam.
Hal yang dikhawatirkan
adalah perang melawan kejahatan yang dikobarkan Presiden Rodrigo Duterte akan
memperburuk masalah lembaga pemasyarakatan ini.
Sejak berkuasa akhir Juni
lalu, sedikitnya 300 orang yang diduga terlibat kejahatan narkotika tewas
ditembak polisi.
Alhasil, ribuan pengedar
dan pengguna narkotika di Filipina menyerahkan diri agar tak dibunuh.
Ribuan orang ini akhirnya
akan dimasukkan ke penjara-penjara Filipina yang sangat buruk dan sudah sangat
kelebihan populasi itu. [AFP/Kompas]