IST |
ORANG
tua Sri Wahyuni menggelar pengajian dengan sajian tumpeng nasi kuning untuk
mendukung anak mereka berlaga di ajang Olimpiade. Tulang punggung keluarga,
Yuni juga rutin membagi sepatu dan kaus kepada anak-anak tetangga.
Candiana dan Rosita putus
asa. Niat menonton perjuangan putri mereka, Sri Wahyuni Agustina, di Olimpiade
tak kesampaian.
Padahal, sudah sejak Sabtu
(6/8/2016) dini hari mereka memelototi televisi. Mereka tak tahu bahwa Yuni
–sapaan akrab Sri Wahyuni– baru dijadwalkan turun sehari kemudian.
Tapi, ketika kembali
begadang pada Minggu dini hari (7/8/2016) pun, tetap tak ada tayangan perebutan
medali angkat besi putri kelas 48 kilogram di televisi.
Sampai kemudian telepon
seluler Candiana berdering kemarin pagi (7/8/2016). Dalam kondisi masih menahan
kantuk karena begadang dua hari beruntun, diangkatnya telepon. Ada Junaidi,
suami Supeni, pelatih Yuni, di seberang sana.
Dengan kegembiraan meluap,
Candiana meneruskan kabar gembira dari Junaidi tersebut. ’’Itu si Yuni dapat
nomor dua,’’ teriak Candiana menirukan suara Junaidi kepada sang istri, Rosita.
Seketika rumah sederhana
di Kampung Bojong Pulus, Desa Banjaran Wetan, Kabupaten Bandung, itu larut
dalam keharuan. Rosita menangis, disusul Desi Nuryanti, adik Yuni, yang tinggal
di sebelah. Sedangkan Candiana tak putus-putus memanjatkan syukur.
Sejak saat itu, tidak
henti-hentinya ucapan selamat datang kepada keluarga Yuni dari berbagai
penjuru. Ponsel Candiana berkali-kali berdering. Tamu hilir mudik berdatangan.
Lifter 22 tahun tersebut
lahir dan besar di tengah keluarga sederhana. Pintu masuk ke gang rumahnya
hanya bisa dilewati sepeda motor. Kalau ada dua motor berjalan bersama, harus
ada yang mengalah untuk menepi.
Di depan rumah orang tua,
ada rumah kakeknya, Andin Lesmana. Di bagian belakang, ada satu tanah petak
kosong yang sudah menjadi milik Yuni. Di sebelahnya ada rumah adiknya, Desi,
yang kini sudah punya satu anak.
Di rumah orang tuanya itu,
jerih payah Yuni selama menggeluti angkat besi sejak berusia 13 tahun
tersimpan. Berjejer rapi deretan medali, piagam, serta boneka event di dalam
lemari kaca di ruang tamu rumahnya.
Di keluarga Yuni mengalir
kuat darah olahragawan. Candiana, sang ayah, dulu merupakan pelari jarak jauh
di level kabupaten. Itu pula yang dulu sempat membuat Yuni kecil berlatih lari.
Bahkan sempat mengikuti sebuah ajang lari 10 kilometer saat itu.
Tapi, minimnya ajang lari
saat itu membuat Yuni berpaling ke angkat besi yang lebih dulu digeluti
adiknya, Desi.
’’Suatu ketika Eneng
(Yuni, Red) nangis ke saya minta dibawa ke tempat latihan angkat besi di tempat
Pak Maman Suryaman,’’ ungkap Candiana.
Maman merupakan sosok
dedengkot angkat besi di Jawa Barat. Bersama istrinya, Luki, mereka melihat
potensi besar seorang Yuni sejak usia 13 tahun.
’’Saat itulah Bu Luki minta
Yuni biar tinggal di mes,’’ ujar Rosita.
Sejak itu pula Yuni jarang
pulang dan ketemu keluarga. Sebagai gantinya, Rosita dan Candiana sering
menjenguk putri sulungnya tersebut di tempat latihan.
Tidak jarang, mereka curi
waktu untuk memberikan camilan kesukaan Yuni, batagor. Maklum, dengan program
latihan dan pola makan yang diatur, Eneng –sapaan Yuni di keluarga– tidak boleh
sembarangan makan.
Selain itu, setiap
menjelang Yuni tampil di sebuah event, keluarga selalu menggelar pengajian
dengan warna-warni tumpeng serta nasi kuning.
’’Boleh dikatakan tradisi
karena kami ingin melihat Eneng bisa dimudahkan dalam mengangkat beban,’’
terang Rosita.
Kini segala pengorbanan
itu terbayar lunas. Raihan medali perak Olimpiade 2016 tersebut membuatnya
berhak atas bonus Rp 2 miliar plus Rp 15 juta per bulan untuk tunjangan hari
tua.
Candiana dan Rosita
menyerahkan sepenuhnya penggunaan uang itu ke tangan Yuni yang kini kuliah di
jurusan hukum Universitas Bhayangkara, Jakarta.
’’Eneng sudah punya
investasi rumah, tabungan, dan kini mau nambah tanah di samping jalan besar,’’
katanya.
Menurut Candiana, Yuni
menginginkan keluarganya juga punya tempat tinggal yang lebih layak. Di mata
keluarga, Yuni merupakan tulang punggung. Setiap bulan dia tidak lupa
mentransfer sejumlah uang untuk kebutuhan sekolah adik-adiknya.
Selain Desi, Yuni punya
dua adik yang masih berstatus pelajar. Mereka adalah Eliana Apriliyanti, 13,
dan Rangga Arya Suhenda, 11. Termasuk menyisihkan sejumlah uang hadiah medali
perak Asian Games Incheon 2014 untuk biaya umrah orang tua.
’’Itu menjadi hadiah yang
tidak terlupakan buat kami,’’ ungkap Rosita.
Di kalangan tetangga
kampung, Yuni juga dikenal luwes serta suka berbagi. Rade Karmana, salah
seorang tetangga, mengaku sering mendapat hadiah dari Yuni.
’’Kadang juga uang. Yang paling sering, anak-anak dikasih sepatu dan kaus kejuaraan,’’ ucapnya.
’’Kadang juga uang. Yang paling sering, anak-anak dikasih sepatu dan kaus kejuaraan,’’ ucapnya.
Kerendahan hati itu pula
yang membuat keluarga semakin yakin prestasi Yuni bakal terus meningkat.
Apalagi usianya masih muda. Setidaknya masih bisa mengikuti dua Olimpiade lagi.
’’Kami sebagai orang tua
hanya bisa mendukung dan mendoakan,’’ tegas Candiana.[JPNN]