-->


Kisah Daan Mogot, Perwira Tampan Berprestasi Asal Celebes

15 Agustus, 2016, 16.47 WIB Last Updated 2016-08-15T09:47:46Z
IST
JAKARTA - Wajah pemuda ini cukup tampan. Hidungnya bangir. Kulitnya putih. Penampilannya kinyis-kinyis di eranya tumbuh kembang. Bahkan, sebagian orang menganggapnya memiliki darah Belanda. Padahal, dia adalah putra asli yang terlahir di utara Celebes, Manado, 28 Desember 1928.

Dia terlahir dengan nama Elias Daniel Mogot. Orang lebih mengenalnya dengan sebutan Daan Mogot. Sebuah nama jalan yang menghubungkan Jakarta, mulai dari perempatan Grogol, Jakarta Barat hingga Tangerang, Banten.

"Beliau memang orang Sulawesi Utara, ganteng. Pada saat itu dia disebutnya sebagai ABG (Anak Baru Gede) yang terhebat," kata Candrian Attahiyat, mantan Anggota Tim Penamaan Jalan, dilansir Liputan 6 SCTV, Selasa 10 November 2015.

Pemberian nama Jalan Daan Mogot sendiri bukan berarti karena gagah dan tampannya si pemuda. Lebih dari itu, perjuangan dan keberaniannya putra dari Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang dalam meraih dan menjaga kemerdekaan RI-lah yang mendasari pemberian nama jalan penghubung dua provinsi tersebut.

"Beliau mendapatkan Bintang Mahaputra pada 1966, setelah itu namanya diabadikan sebagai nama jalan," kata Candrian.

Daan Mogot hijrah ke Jakarta pada usia 11 tahun. Ayahnya saat itu ditugaskan menjadi Kepala Lapas Cipinang, Jatinegara, Jakarta Timur.

Dia mulai masuk dunia militer ketika Jepang menduduki Indonesia di tahun 1942. Saat itu usianya 14 tahun, namun otaknya terbilang cemerlang serta beragam prestasi selama pendidikan militer, mengantarkannya menjadi instruktur Pembela Tanah Air (Peta) di Tabanan, Bali. Di sini pulalah dia bertemu dengan dua temannya, Kemal Idris dan Zulkifli Lubis. Pemikiran tentang nasib bangsa kerap mereka bincangkan guna mencari jalan keluar.

Karier Daan Mogot yang moncer membawanya ke Jakarta. Dia ditempatkan sebagai staf di Markas Besar Peta di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaann, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Pangkat perwira disandangnya di usia muda, Mayor.

Di usia yang baru belasan tahun itu pula, Daan Mogot mencetuskan gagasan membentuk Akademi Militer. Gagasan ini muncul dari pengalamannya menjadi instruktur di Bali. Tujuannya tak lain untuk membentuk perwira dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.

November 1945, Akademi Militer Tangerang berdiri. Rekan-rekannya -Kemal Idris, Daan Jachja dan Taswin, mempercayakan mandat Direktur Akademi Militer Tangerang di tangan Daan Mogot. Sementara beberapa rekan lain bertugas menjadi instruktur para calon perwira yang bergabung.

"Yang paling menarik dari dia, seusia dia yang masih remaja dia menjabat Direktur Akmil Tangerang," kata Candrian.

Dua bulan berdiri, tepatnya 25 Januari 1946, pecah bentroka antara tentara Jepang dengan para taruna Akademi Militer Tangerang, juga melibatkan beberapa perwira dari Resimen IV Tangerang. Mereka adalah Mayor Wibowo, Letnan Satu Soebianto Djojohadikoesoemo, dan Letnan Satu Soetopo.

Letusan Senjata di Markas Tentara Jepang

Peristiwa tersebut bermula ketika 70-an taruna Akademi Militer Tangerang berupaya untuk melucuti senjata tentara Jepang di Lengkong. Upaya ini adalah langkah mendahului setelah Daan Mogot menerima kabar pasukan Belanda dan KNIL akan menduduki Parung.

Padahal, upaya negosiasi Daan Mogot dan beberapa perwira yang mendampinginya bertemu Kapten Abe tengah berlangsung agar Jepang mau menyerahkan senjatanya. Sementara tanpa ada komando, puluhan taruna di bawah pimpinan Letnan Satu Soebianto dan Letnan satu Soetopo, melucuti senjata para tentara di barak Jepang.

Tak dinyana, di tengah pelucutan senjata tersebut terdengar letusan, entah siapa memulai dan dari mana. Sekejap saja, desing peluru saling bersahutan di luar depot senjata Jepang. Posisi puluhan taruna terkepung di markas tentara Jepang. Senjata yang sudah diserahkan direbut kembali pasukan Jepang.

Tidak hanya senapan kokang, senapan mesin dan granat diarahkan ke puluhan taruna tersebut. Daan Mogot yang terkejut langsung berlari keluar dan mendapati pasukannya ditembaki Jepang. Dia pun melawan. Daan Mogot berupaya melindungi pasukannya. Namun seluruh senjata pasukan Jepang tertuju kepadanya dan mengenai paha dan dada.

33 taruna dan 3 perwira, salah satunya Daan Mogot, dinyatakan gugur dalam pertempuran singkat itu. Sementara Mayor Wibowo ditawan Jepang.

Saksi kejadian, Prof DR Soebroto mengatakan, asal suara letusan senjata api di tengah negosiasi tersebut masih misteri. "Sampai sekarang belum tahu itu suara tembakan dari mana," tutur Soebroto.

Dia menambahkan, para taruna yang gugur dalam palagan Serpong dimakamkan satu liang lahat di bawah monumen Lengkong.

"Yang tewas ditempat dimakamkan pada liang yang sama, tepat di bawah monumen Lengkong. Namun, selang beberapa tahun liang kubur digali kembali, diidentifikasi, kemudian dimakamkan terpisah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna," papar Soebroto.[Liputan6]
Komentar

Tampilkan

Terkini