IST |
JAKARTA -
Wajah pemuda ini cukup tampan. Hidungnya bangir. Kulitnya putih. Penampilannya
kinyis-kinyis di eranya tumbuh kembang. Bahkan, sebagian orang menganggapnya
memiliki darah Belanda. Padahal, dia adalah putra asli yang terlahir di utara
Celebes, Manado, 28 Desember 1928.
Dia terlahir dengan nama
Elias Daniel Mogot. Orang lebih mengenalnya dengan sebutan Daan Mogot. Sebuah
nama jalan yang menghubungkan Jakarta, mulai dari perempatan Grogol, Jakarta
Barat hingga Tangerang, Banten.
"Beliau memang orang
Sulawesi Utara, ganteng. Pada saat itu dia disebutnya sebagai ABG (Anak Baru
Gede) yang terhebat," kata Candrian Attahiyat, mantan Anggota Tim Penamaan
Jalan, dilansir Liputan 6 SCTV, Selasa 10 November 2015.
Pemberian nama Jalan Daan
Mogot sendiri bukan berarti karena gagah dan tampannya si pemuda. Lebih dari
itu, perjuangan dan keberaniannya putra dari Nicolaas Mogot dan Emilia
Inkiriwang dalam meraih dan menjaga kemerdekaan RI-lah yang mendasari pemberian
nama jalan penghubung dua provinsi tersebut.
"Beliau mendapatkan
Bintang Mahaputra pada 1966, setelah itu namanya diabadikan sebagai nama
jalan," kata Candrian.
Daan Mogot hijrah ke
Jakarta pada usia 11 tahun. Ayahnya saat itu ditugaskan menjadi Kepala Lapas
Cipinang, Jatinegara, Jakarta Timur.
Dia mulai masuk dunia
militer ketika Jepang menduduki Indonesia di tahun 1942. Saat itu usianya 14
tahun, namun otaknya terbilang cemerlang serta beragam prestasi selama
pendidikan militer, mengantarkannya menjadi instruktur Pembela Tanah Air (Peta)
di Tabanan, Bali. Di sini pulalah dia bertemu dengan dua temannya, Kemal Idris
dan Zulkifli Lubis. Pemikiran tentang nasib bangsa kerap mereka bincangkan guna
mencari jalan keluar.
Karier Daan Mogot yang
moncer membawanya ke Jakarta. Dia ditempatkan sebagai staf di Markas Besar Peta
di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Saat Indonesia
memproklamirkan kemerdekaann, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan
Rakyat (BKR). Pangkat perwira disandangnya di usia muda, Mayor.
Di usia yang baru belasan
tahun itu pula, Daan Mogot mencetuskan gagasan membentuk Akademi Militer.
Gagasan ini muncul dari pengalamannya menjadi instruktur di Bali. Tujuannya tak
lain untuk membentuk perwira dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
November 1945, Akademi
Militer Tangerang berdiri. Rekan-rekannya -Kemal Idris, Daan Jachja dan Taswin,
mempercayakan mandat Direktur Akademi Militer Tangerang di tangan Daan Mogot.
Sementara beberapa rekan lain bertugas menjadi instruktur para calon perwira
yang bergabung.
"Yang paling menarik
dari dia, seusia dia yang masih remaja dia menjabat Direktur Akmil
Tangerang," kata Candrian.
Dua bulan berdiri,
tepatnya 25 Januari 1946, pecah bentroka antara tentara Jepang dengan para
taruna Akademi Militer Tangerang, juga melibatkan beberapa perwira dari Resimen
IV Tangerang. Mereka adalah Mayor Wibowo, Letnan Satu Soebianto
Djojohadikoesoemo, dan Letnan Satu Soetopo.
Letusan
Senjata di Markas Tentara Jepang
Peristiwa tersebut bermula
ketika 70-an taruna Akademi Militer Tangerang berupaya untuk melucuti senjata
tentara Jepang di Lengkong. Upaya ini adalah langkah mendahului setelah Daan
Mogot menerima kabar pasukan Belanda dan KNIL akan menduduki Parung.
Padahal, upaya negosiasi
Daan Mogot dan beberapa perwira yang mendampinginya bertemu Kapten Abe tengah
berlangsung agar Jepang mau menyerahkan senjatanya. Sementara tanpa ada
komando, puluhan taruna di bawah pimpinan Letnan Satu Soebianto dan Letnan satu
Soetopo, melucuti senjata para tentara di barak Jepang.
Tak dinyana, di tengah
pelucutan senjata tersebut terdengar letusan, entah siapa memulai dan dari
mana. Sekejap saja, desing peluru saling bersahutan di luar depot senjata
Jepang. Posisi puluhan taruna terkepung di markas tentara Jepang. Senjata yang
sudah diserahkan direbut kembali pasukan Jepang.
Tidak hanya senapan
kokang, senapan mesin dan granat diarahkan ke puluhan taruna tersebut. Daan
Mogot yang terkejut langsung berlari keluar dan mendapati pasukannya ditembaki
Jepang. Dia pun melawan. Daan Mogot berupaya melindungi pasukannya. Namun
seluruh senjata pasukan Jepang tertuju kepadanya dan mengenai paha dan dada.
33 taruna dan 3 perwira,
salah satunya Daan Mogot, dinyatakan gugur dalam pertempuran singkat itu.
Sementara Mayor Wibowo ditawan Jepang.
Saksi kejadian, Prof DR
Soebroto mengatakan, asal suara letusan senjata api di tengah negosiasi
tersebut masih misteri. "Sampai sekarang belum tahu itu suara tembakan
dari mana," tutur Soebroto.
Dia menambahkan, para
taruna yang gugur dalam palagan Serpong dimakamkan satu liang lahat di bawah
monumen Lengkong.
"Yang tewas ditempat
dimakamkan pada liang yang sama, tepat di bawah monumen Lengkong. Namun, selang
beberapa tahun liang kubur digali kembali, diidentifikasi, kemudian dimakamkan
terpisah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna," papar Soebroto.[Liputan6]