IST |
LOBI Hotel Sriwijaya, Jakarta Pusat, sedang lengang
sore itu. Sebagian besar Purna Paskibraka yang menjadi tamu hotel itu sedang
mengikuti Upacara Penurunan Bendera Pusaka. Budiharjo Winarno, Purna Paskibraka
1978, karena suatu alasan tidak turut serta ke istana. Bersama Historia dia
menyaksikannya dari televisi yang terpasang di lobi hotel.
“Harusnya belum (penurunan bendera, red). Aturan itu,
kan, dari jam enam pagi sampai jam enam sore. Jadi upacaranya mestinya jam
17.45. Ini baru 16.30 sudah diturunkan,” ujarnya mengomentari upacara yang
disiarkan secara langsung itu. Sambil memerinci aturan Upacara Penurunan
Bendera Pusaka, Purna Paskibraka yang sekarang berwiraswasta ini mengeluh,
“Sekarang aturan dilanggar, ya mau bagaimana lagi.”
Budiharjo sangat peduli kepada aturan dan filosofi
seputar Paskibraka. Selama pembicaraan sore itu, dia banyak menjelaskan tentang
hal-hal mendasar itu. Tidak hanya itu, pengetahuannya tentang sejarah
Paskibraka juga terbilang detil sebagaimana dikisahkan kepada Historia.
Karena suasana Jakarta yang tidak kondusif akibat
tekanan dari Belanda, ibukota Republik Indonesia akhirnya dipindahkan ke
Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Di ibukota baru ini pula ulang tahun
kemerdekaan Indonesia kali pertama dilangsungkan. Untuk hajatan penting itu
disiapkan sebuah upacara pengibaran bendera pusaka di halaman Gedung Agung
Yogyakarta.
“Presiden Sukarno memerintahkan Kak Mut selaku
ajudannya untuk mempersiapkan upacara kemerdekaan itu,” terang Budiharjo. Kak
Mut yang dimaksud adalah Mayor Laut Husein Mutahar atau lebih dikenal sebagai
H. Mutahar, penggubah lagu hymne Syukur. “Kak Mut punya ide brilian. Upacara
ini adalah untuk mempersatukan Indonesia dan menggelorakan semangat
kemerdekaan.”
Untuk merealisasikan idenya itu, Mutahar lalu
mengumpulkan sepuluh pemuda-pemudi dari latar belakang etnis berbeda yang saat
itu tinggal di Yogyakarta. Dalam pemikiran Mutahar, dengan mengemban tugas
bersama mengibarkan bendera pusaka, pemuda-pemudi Nusantara pilihan itu dapat
menjadi simbol pemersatu Indonesia. “Nah, kalau pemuda-pemudi sudah bersatu,
Indonesia ini akan jaya,” ucap Budiharjo menirukan Mutahar.
Itulah formasi pertama pasukan pengibar bendera pusaka
yang disebut Kelompok 10. Saat itu belum ada pemanggilan pemuda dari daerah
luar Jawa karena suasana yang tidak mendukung dan kendala transportasi.
Formasi ini terus dipertahankan hingga 1950. Tahun
berikutnya formasi berganti dengan Kelompok 17. Saat itu, Mutahar tidak
terlibat lagi dalam upacara pengibaran bendera. Hingga 1966 kegiatan tahunan
itu dipersiapkan oleh Rumah Tangga Kepresidenan.
“Baru tahun 1967 kita memakai formasi 17-8-45,” ujar
Purna Paskibraka wakil Yogyakarta ini. “Saat itu Pak Harto yang meminta kembali
Kak Mut mempersiapkan upacara kemerdekaan. Konsep beliau adalah melambangkan
tanggal Proklamasi.”
Selama perkembangan itu upacara kemerdekaan juga
dipersiapkan dengan mengadopsi upacara militer. Ketika diminta menjelaskan
lebih rinci bilamana upacara kemerdekaan mulai mengadopsi upacara militer,
Budiharjo masih ragu. “Saya juga masih mencari-cari literaturnya,” lanjutnya.
Yang terang, meskipun sistem formasinya terus
diperbarui, konsep pluralitas anggota cetusan Mutahar tetap dipertahankan. Pada
awal dibentuknya pasukan pengibar bendera pusaka keanggotaannya diisi oleh
anak-anak pegawai pemerintahan di sekitaran ibukota. Pangkal soalnya adalah
masalah transportasi yang minim.
“Yang penting prinsip keterwakilan itu tetap
terpenuhi,” ujar Budiharjo, “malah tahun 1962 semua pengibar adalah mahasiswa
UI (Universitas Indonesia).”
Sistem keanggotaan yang lebih proporsional baru
ditetapkan pada 1968. Saat itu dibuat aturan bahwa anggota pengibar bendera
pusaka adalah wakil dari setiap provinsi. Lalu pada 1969 anggota pengibar
bendera pusaka adalah siswa sekolah menengah atas dari seluruh provinsi di
Indonesia. Juga masing-masing provinsi diwakili oleh sepasang remaja putra dan
putri.
Sampai 1967 pasukan pengibar bendera pusaka ini belum
memiliki nama resmi. Nama resmi Paskibraka sebagai singkatan dari Pasukan Pengibar
Bendera Pusaka baru dicetuskan dan diresmikan pada 1972. Pencetus nama
Paskibraka itu adalah Idik Sulaiman Nataatmaja.[Historia]