
Perjanjian Damai Aceh yang
lebih dikenal dengan MoU Helsinki dan melahirkan butir-butir perjanjian
termasuk lahirnya UU Pemerintahan Aceh, ternyata tidak cukup ampuh untuk
mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Aceh khususnya bagi para mantan
kombatan GAM. Padahal perjuangan GAM saat itu adalah untuk menuntut keadilan kepada
Pemerintah Indonesia sebagaimana dideklarasikan oleh Tgk. Muhammad Hasan Di Tiro.
Perjanjian damai tersebut
merupakan kesepakatan bersama pihak yang bertikai yakni antara RI-GAM. Namun
setelah 10 tahun lebih perjanjian damai, buah perjanjian damai tidak bisa
dinikmati oleh seluruh rakyat Aceh termasuk para mantan kombatan GAM. Kalaupun
ada yang menikmati hanya beberapa pihak saja, karena para mantan kombatan sudah
terpecah belah oleh politik dan kekuasaan.
Seharusnya seluruh mantan
kombatan bisa menikmati buah perdamaian ini, tanpa harus mencampuradukkan
kepentingan politik. Saat ini banyak para mantan kombatan, anak-anak yatim para
syuhada, janda-janda korban konflik dan kaum dhuafa yang telah mengorbankan
segalanya untuk perjuangan Aceh tidak dihargai sama sekali. Kalaupun ada yang
sudah dibantu, masih bisa dihitung, sedangkan yang terlantar masih ribuan
orang.
Hal tersebut disampaikan
oleh Wakil Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah 05 Deli Sumatera Utara,
Jamaluddin melalui siaran persnya, Rabu (24/8/2016).
Kata dia, pria yang akrab
disapa Agam Nibong ini mengungkapkan bahwa pada saat konflik melanda di seluruh
Aceh, keberadaan GAM Deli merupakan barisan terdepan GAM di wilayah Sumatera
Utara hingga ke Lampung. Dan kiprah GAM Deli untuk mensupport perjuangan Aceh
tidak bisa terbantahkan.
“Apalagi, saat ini para
mantan anggota GAM Deli sudah disahkan keberadaannya sebagai anggota KPA Deli berdasarkan
SK KPA Pusat yang ditandatangani Muzakir Manaf dan distempel resmi, tapi hingga
detik ini keberadaan kami layaknya seperti anak ayam yang kehilangan induknya
bahkan seperti anak tiri. Jangankan dikasih air mineral atau kebutuhan lain,
ditanyakan tentang kondisi anggota pun tidak pernah. Ini sungguh menyedihkan!”
ujarnya dengan raut kecewa.
Lanjut dia, beberapa
anggota KPA Deli memang sudah kembali ke daerah masing-masing di Aceh karena
tidak bisa bertahan hidup di Sumatera Utara, hanya dengan mengandalkan sebagai
nelayan tradisional, buruh kasar dan tenaga kerja serabutan.
“Kondisi ini sudah kami
rasakan hampir 10 tahun usia perdamaian, namun sepertinya kawan-kawan mantan
kombatan di Aceh juga mengalami hal sama bahkan ada yang lebih menyedihkan.
Bagaimana kami bisa percaya lagi, para mantan petinggi GAM yang saat ini
memiliki kekuasaan baik sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, walikota dan
anggota dewan baik DPRK dan DPRA, masih memperjuangkan nasib rakyat? Padahal
kenyataannya jauh ikan dari panggang,” cetusnya.
Agam juga mengingatkan
bahwasanya para mantan kombatan, anak-anak yatim para syuhada, janda-janda korban
konflik dan kaum dhuafa juga membutuhkan perhatian. Bukan hanya untuk makan
tapi untuk kesehatannya, pendidikannya, masa depannya juga jaminan hidup yang
layak dari pemerintah Aceh.
“Janganlah rakyat selalu
dijadikan korban nafsu untuk merebut jabatan dan kekuasaan. Cukup kisah Din
Minimi saja yang menuntut ketidakadilan kepada Pemerintah Aceh, jangan lahir
Din Minimi baru akibat kekecewaan terhadap para pejabat yang berkuasa yang
sudah lalai dengan amanah para endatu,” ujarnya mengingatkan.
“Tolong perhatikan
keadilan untuk seluruh rakyat Aceh, jangan buat anak-anak yatim menangis dan
berurai air mata. Niatkan dan ikhlaskan hati agar lahir senyuman mereka.
Biarkan mata air keadilan bisa dirasakan seluruh rakyat Aceh,” pintanya penuh
harap.[Rls]