IST |
MEDAN –
Hiruk pikuk politik menjelang Pilkada Aceh 2017 semakin terasa aromanya,
semerbak hingga pelosok-pelosok dan penjuru Aceh bahkan hingga tercium ke luar
daerah. Dinamika lobi-lobi politik makin terasa dan menjadi bumbu ‘Ngopi’ para
penikmat kopi Aceh yang sudah mendunia.
Mencuatnya sejumlah nama
Kandidat Cagub Aceh sudah menginspirasi orang untuk mendukung, berpartisipasi
dan menjadi bagian tak terpisahkan sebagai tim pemenangan para kandidat yang
dielu-elukan. Bukan hanya itu saja, sejumlah partai politik juga sudah berusaha
bertamu, menjamu bahkan diskusi untuk melakukan tawar-menawar dan bargainning
sebagai ‘Mahar Politik’ sebelum dipinang atau meminang untuk saling berpasangan
sebagai calon pasangan menuju Pilkada Aceh mendatang.
Bukan hanya itu saja,
ternyata munculnya nama-nama tenar mantan petinggi GAM seperti Zakaria Saman,
dr. Zaini Abdullah, Irwandi Yusuf serta Muzakir Manaf telah menginspirasi
kader, simpatisan dan pihak-pihak tertentu untuk melancarkan isu murahan,
fitnah, dan provokasi yang ujung-ujungnya untuk kampanye hitam, menjegal
popularitas lawan politik serta menaikkan elektabilitas kandidat.
Bahkan sejumlah partai
politik juga tidak segan-segan menebar ‘umpan politik’ menawarkan survey
internal dan membuka pintu pendaftaran calon kepala daerah namun enggan untuk
mengumumkan hasilnya dan memilih untuk menyimpan rapat dijadikan ‘rahasia’
internal.
Tarik ulur surat dukungan
juga dimainkan sebagai jurus dagang sapi hanya sekedar untuk menguji publik.
Perpecahan internal sengaja dihembuskan agar saat situasi aman didamaikan
kemudian berharap akan dianggap bak pahlawan oleh rakyat.
Maju melalui partai
politik maupun independen sejatinya tidak perlu diperdebatkan, karena semua
sudah diatur dan sesuai dengan perundang-undangan di negeri tercinta Indonesia.
Seharusnya tak perlu dipergunjingkan karena sejatinya seluruh kandidat Cagub
Aceh sudah berjanji ya sekali lagi ‘Ber-JANJI’ untuk membuat perubahan menuju
Aceh yang makmur, aman, damai dan sejahtera. Tak perlu menunjuk siapa kamu
siapa dia?
Pilkada Aceh ini merupakan
proses demokrasi pasca perdamaian Helsinki, namun yang membuat miris proses
penjaringan calon kepala daerah hampir semua parpol belum berani jujur dan
terkesan masih bermain petak umpet untuk mengusung calon kandidat dan
cenderung tidak melihat kapabilitas dan kredibilitasnya.
Parpol sebagai pemegang
tiket untuk masuk ke arena pilkada semakin kehilangan kepercayaan diri untuk
mencalonkan kader-kader terbaiknya yang harusnya sudah dipersiapkan
kapabilitasnya untuk masuk ke arena pilkada. Faktanya, sejumlah partai politik
yang memiliki jumlah kursi lumayan banyak di DPRA takut untuk mencuatkan nama
kadernya, dan lebih memilih ‘wait and see’ untuk mendukung kandidat yang
memiliki peluang menang lebih besar untuk di dukung. Kalaupun ada pimpinan
parpol yang namanya digadang-gadang akan maju baik menjadi calon gubernur atau wakil
gubernur justru malu-malu untuk dekat dengan rakyat, atau memang takut kalau
ketahuan tidak punya massa?
Hari ini partai politik terkesan
hanya mencari “untung” dan hanya ingin menikmati bagian dari kekuasaan tidak peduli
lagi untuk memperjuangkan konstituen dan rakyat. Kalau memang berjuang untuk
rakyat, seharusnya partai poltik bisa menyiapkan kader terbaiknya atau partai
politik memang sudah kehilangan ruhnya sebagai wadah kaderisasi dan agregasi
yang harusnya menghasilkan kader-kader potensial yang siap secara pengetahuan
dan pengalaman untuk memimpin suatu daerah.
Perlu diingat, kalau
partai politik mengajukan calon yang tidak mempunyai kapabilitas akhirnya
pembangunan terhambat karena menyusun RPJMD saja tidak mampu, memilih
pejabat-pejabat teknis tidak sesuai kompetensi, jangankan berfikir inovasi yang
rutin saja tidak terselesaikan dengan baik. Untuk itu, kandidat Cagub Aceh dari
independen dan partai politik silahkan turun ke masyarakat untuk menggali
informasi bagaimana kondisi rakyat yang sebenarnya, apa masalah yang ada di
masyarakat mulai dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten.
Berdasarkan informasi
tentang berbagai permasalahan dan tipe pemimpin yang diinginkan masyarakat,
maka partai politik bisa mencari dan melamar sosok-sosok yang sesuai dengan
harapan masyarakat. Bila calon yang dianggap kapabel hanya satu, maka segera
dideklarasikan. Apabila calonnya banyak maka bisa menggunakan mekanisme
konvensi. Dan setelah dideklarasikan, jangan pula memaksakan kehendak dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Karena sejatinya pilihan
hati nurani rakyat akan tetap dipertanggungjawabkan.
Kita berharap kepada
orang-orang yang masih “waras” mau membisikkan kepada elit-elit parpol untuk
mengedepankan kapabilitas dalam proses penjaringan serta terus memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas untuk
memilih calon kepala daerah yang mempunyai kapabilitas.
Penulis : Ali Sahniur, S.
Pd (Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Simeulue/IPPELMAS Medan)