IST |
PUBLIK
terkejut dengan diberhentikannya Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Awak media mempediksi ini terjadi karena dia mengabaikan instruksi
Presiden menjelang perombakan kabinet. Beberapa kalangan menuding Presiden
Jokowi tidak pandai berterimakasih kepada mantan rektor Universitas Paramadina
itu; padahal dia berada di garis depan dalam pemenangan Jokowi menjadi
presiden. Namun beberapa pengamat kenegaraan menganggap itu adalah langkah
wajar. Anies dinilai jauh dari capaian gagasan-gagasan yang disusun Pesiden
dalam Nawacita terkait pendidikan.
Nawacita atau Nawa Cita,
adalah sembilan prioritas yang ingin dicapai Presiden Jokowi. Tujuannya adalah
mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Terkait
langkah-langkah yang harus ditempuh terkait pendidikan, alih-alih mengarah
kepada harapan tersebut, bahkan sepertinya Anies Baswedan gagal memahami maksud
Nawacita.
Selama menjabat Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Anies Baswedan dalam langkah praktisnya hanya berfokus pada
penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan menyudutkan Kurikulum
2013. Anies lupa bahwa penataan kembali kurikulum hanyalah sarana untuk
mencapai revolusi karakter bangsa. Bahkan Anies tidak melakukan pendekatan
dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Dia malah menerapkan
sistem liberasi pelajar yang menyebabkan siswa menjadi keras kepala, tidak
patuh pada peraturan sekolah dan menyamakan guru dengan pembantu rumah tangga
yang bekerja karena diupah oleh siswa.
Tak heran selama Anies
menjabat Menteri Pendidikan, banyak terjadi tindakan tak bermoral yang dilaukan
siswa. Bahkan guru-guru dengan sangat mudah diseret ke pengadilan hanya karena
persoalan sepele yang seharusnya dapat diselesaikan antara guru dengan siswa
berkangkutan. Latar belakang Anies Baswedan sebagai seorang pakar ilmu politik
tidak dapat dipungkiri, sadar maupun tidak, mempengaruhi paradigmanya dalam
memaknai pendidikan. Teori politik yang berlandaskan pada cara pandang
transaksional, menyebabkan cara pandang hubungan antara guru dengan siswa
seperti sebuah transaksi politik.
Padahal, dalam Nawacita
telah dengan tegas memaktubkan bahwa menata kurukulum pendidikan harus
mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Siswa tidak hanya dibimbing
untuk sadar bahwa mereka adalah bagian dari lingkungan belajar, namun juga
adalah bagian dari keseluruhan warga negara yang di pundak mereka masa depan
bangsa digantungkan. Bila kesadaran ini terwujudkan dalam diri siswa, maka
jangankan terhadap guru, kepada seluruh elemen bangsa mereka akan hormat.
Mereka akan sadar bahwa setiap elemen bangsa punya tugas dan tanggungjawab yang
sama dalam rangka memajukan negara Indonesia. Integritas ini dimulai dengan
kesadaran akan kesatuan antara guru dan murid, bukan parsialitas peran
sebagaimana dilihat oleh siswa belakangan ini, yang mana siswa melihat guru
hanya sebagai orang yang bertugas mentransformasi informasi karena telah mereka
dibayar.
Revolusi karakter bangsa
dimulai dari revolusi karakter siswa. Cita-cita ini harus dilaksanaka secara
proporsional antara pendidikan, pengajaran dan pelatihan. Sekolah bukan hanya
sebuah tempat seorang guru mentransformasi data-data yang tertulis di dalam
buku ke dalam kepala siswa. Sekolah adalah lembaga mengajarkan, mendidik dan
melatih siswa agar dalam diri mereka terdapat nilai-nilai patriotisme dan cinta
Tanah Air, semangat bela negara dan menjadi insan berbudi pekerti luhur.
Pendidikan harus dimaknai
secara utuh. Ia adalah suatu proses gerak jiwa menuju kesempurnaannya. Tujuan
pendidikan bukanlah membentuk otak siswa yang penuh dengan data-data dari
teori-teori yang tertulis di dalam buku ajar. Karena itulah Nawacita melihat
kesatuan antara pendidikan, pengajaran dan pelatihan.
Siswa perlu dididik
melalui pengajaran sejarah pembantukan bangsa. Mereka harus diberikan informasi
yang akurat tentang latar belakang bangsa. Data-data sejarah harus dibebaskan
dari kepentingan-kepentingan politis dalam penyajiannya. Siswa harus dilatih
untuk menjadi subjek yang kritis sehingga pengetahuan yang mereka bukan hanya
berdasarkan emosi sementara. Pengetahuan berdasarkan rasionalitas dapat
menumbuhkan budi pekerti luhur, semangat
patriotisme, dan cinta Tanah air. Langkah ini memberi jalan kepada
penguatan jati diri bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga
negara. Sehingga dapatlah terwujudnya peningatan kualitas hidup manusia
Indonesia dan terciptanya produktivitas dan daya saing, maju, bangkit serta
terhirdarlah bangsa kita sebagai bangsa lemah.
Peningkatan kualitas
pendidikan dan pelatihan untuk menolak negara lemah dapat terlaksana dengan
membangun negara dari pinggiran sehingga keppercayaan publik terhadap
konstelasi perpolitikan dapat
dikembalikan. Membangun masyarakat yang selama ini termarginalkan.
Membangun masyarakat yang
selama ini termarginalkan, sehingga mereka memiliki daya kritis yang rasional,
adalah prasyarat memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan mencipkakan
ruang-ruang dialog.
Pesiden Jokowi bersama
rakyat Indonesia menaruh harapan yang besar kepada Menteri Pendidikan yang
baru, Prof. Muhadjir Effendy. Kita mengharapkan beliau dapat mewujudkan
ppendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional dengan secara tepat
menafsirkan dan menerapkan Nawacita sehingga mewujudkan Indonesia yang
berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Tentunya ini hanya akan dapat terlaksana
dengan dukungan maksimal dari segenap masyarakat, khususnya elemen pendidikan.
Penulis : Miswari, S.Pd,
M.Ud (Dosen Filsafat Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Zawiyah Cot Kala
Langsa)