-->

Dayah Narkoba : Implementasi Nilai Syariat Terhadap Korban Narkoba

19 Juli, 2016, 10.48 WIB Last Updated 2016-07-19T19:12:54Z
IST
Penyebaran Islam di nusantara tidak lepas dari peran dayah. Dayah itu sendiri berasal dari kata “zawiyah” yang bermakna sudut atau pojok mesjid. Kata zawiyah itu pada mulanya dikenal di di Afrika utara pada awal perkembangan Islam. Zawiyah dimaksdukan kala itu adalah pojok mesjid yang menjadi halaqah para sufi, mereka biasanya berkumpul dan bertukar pikiran dan pengaalaman, berzikir dan berdiskusi.

Di Aceh dalam khazanah pendidikannya, istilah zawiyah itu berubah menjadi dayah, ini sama seperti kata “madrasah” berubah menjadi “meunasah” di kalangan masyarakat Aceh. (Sejarah Dayah, Kemenag Aceh, 2015). Dayah menjadi benteng terakhir untuk memfilter generasi dari berbagai pengaruh luar dan sejak awal mulanya menjadi tempat menerpa generasi penerus dalam membekali para santrinya dengan berbagai macam disilpin ilmu agama, mendidik akhlak dan budi pekerti. Dayah dewasa ini lahir dengan inovasi baru dizaman semakin canggih informasi dan teknologinya, diharapkan mampu untuk menjawab tantangan.
 
Di tengah era globalisasi kehidupan para generasi sekarang saat ini banyak dihantui oleh berbagai pengaruh dan budaya dari luar, salah satunya kecanduaan narkoba. Tidak sedikit generasi Aceh yang telah diracuninya bahkan kini Aceh termasuk dalam darurat narkoba. Ini bukan hanya isapan jempol, Aceh kini berada dalam rangking delapan di tingkat nasional dalam  “Klasemen Liga Narkoba” Indonesia dan juga Kajati Aceh Tarmizi, SH, MH dalam seminar dengan tema “Tingkatkan Sinergisitas Antar Lembaga dalam upaya penanggulan Penyalahgunaan Narkoba di Aceh”, Agustus lalu, beliau mengilustrasikan kondisi negeri “Serambi Mekkah” ini tergolong sangat kritis dan darurat dalam penyalahgunaan narkoba pada komponen masyarakat.(Kajati Aceh, Agustus 2015).

Genderang darurat narkoba diperkuat lagi dengan jumlah penggunaan yang mencapai 7000 orang. Para pecandu ini berasal dari berbagai elemen dan kalangan, mulai dari siswa sekolah, ibu rumah tangga, pejabat, oknum TNI/Polisi, PNS dan kalangan swasta. Mereka sebagai pengguna aktif sabu-sabu dan jumlah ini akan mengalami peningkatan. Tragis dan menyanyat hati kita, mayoritas pengguna itu di kalangan generasi penerus bangsa baik kalangan anak-anak maupun remaja dan pemuda. Penjelasan  ini hasil pertemuan antara kalangan Komisi VI DPRA Aceh dengan Badan Narkotika Nasional Propinsi (BNNP) Aceh awal Maret 2015. (Serambi Indonesia, 2015).

Pemerintah dalam halini juga tidak tinggal diam dibawah payung BNNP Aceh telah merilis dan menunjukkan tempat rehabilitasi sebanyak 19 rumah sakit dan Puskesmas di provinsi Aceh sebagai IPWL (Instilasi Penerima Wajib Lapor) untuk rehabilitasi penyalahgunaan narkotika. Diantara rumah sakit tersebut adalah RSU Zainal Abidin, RSU Langsa dan Puskesmas Kota Sigli. Pemerintah juga menunjuk sejumlah Lapas di Aceh sebagai tempat rehabilitasinya. Disamping itu ada juga pusat rehabilitasi narkoba non pemerintah yang dikelola oleh beberapa yayasan. Di Banda Aceh umpamanya ada YayasanTabina Aceh dan beberapa pusat rehabilitasi lainya. Bahkan diantara bukti serius pemerintah, melalui dinas sosial, pada bulan Agustus kemarin telahmerencanakan untuk membangun panti rehab korban narkoba di Takengon dengan anggaran dana diusulkan mencapai Rp. 67 milliar. Sebuah angka yang sangat  fantastis.

Diantara program tersebut, penulis melihat pemerintah belum melakukan penanganan berbentuk kearifan lokal dengan basis negeri syariat untuk mengelola sebuah lembaga rehab yang berbasis relegius. Terlebih dengan jumlah lembaga pendidikan Islam berbasis  dayah   yang telah mengakar dalam masyrakat untuk membentuk sebuah tempat rehabilitas dengan nama “Dayah Narkoba” disingkat dengan nama Darba. Metode yang akan diterapkan menggunakan pendekatan agamis yakni dengan menyalurkan prosesi kejiwaan dengan pembinaan agama. Teori dan konsep yang dirancang difokuskan kepada pengenalan diri dengan konsep ARRAB dengan kepanjangannya “Arafa Nafsah Arafa Rabbah” (pengenalan diri  untuk mengenal Allah).

Kata Ar-rabatau rabbitu sendiri merupakan bermakna ketuhanan, para santri ini dituntu untuk menemukan jati dirinyayang telah hilang ekses narkoba dengan penekanan kepada mencari esensi diri untuk menemukan nilai rabb (ketuhanan). Para penderita narkoba tersebut dibawah bimbingan guru rohani diajak untuk bertafakkur, menyesali diri apa yang telah dilakukan selama ini, dalam bahasan tasawufnya dikenal dengan “tawajuh”, mereka diajak meretas memori diri mereka hanyut dalam  alam penyesalan, merasa bersalah, menyesali dosa yang telah diperbuat selama ini, sehingga menangisi diri dengan air mata taubat dan penyesalan untuk terus mengenal diri sendiri. Sang guru spiritual ini mengajari mereka dengan berbagai zikir dan doa.

Zikir itu dengan gerakan seperti shalat dan zikir rutin sesuai dengan arahan guru rohani. Efektifitas pada tahapan ini, penderita diajak shalat dan berzikir. Sehingga, aspek fikiran (kognitif), perasaan (afektif), kemauan berbuat (konatif) serta aspek gerakan-gerakan tubuh (psikomotorik)korban narkoba itu dipadukan dalam satu arah, yakni nurani. cara ini, merupakan upaya untuk mengintegrasikan semua fungsi psikis manusia, dalam mencapai kepribadian yang sempurna.

Di dunia tasawuf sendiri ekses dari zikir itu sangat mempengaruhi seseorang, terlebih mereka yang berjiwa labil dan adanya  gangguan jiwa. Pengaruh dari zikir yang akan dirasakan oleh penderita sebuah kepuasaan rohani yang luar biasa yang tidak pernah dirasakan pada masa yang telah lalu. Dulu ada ketika korban narkoba merasakan kesenangan sering disebut dengan “fly”, namun kenikmatan yang kini dirasakan jarang sekali dan melebihi kesenagan dengan obat terlarang yang pernah meraka gunakan. Zikir itu dapat menghapus dan menghiangkan gelisah, rasa resah, khawatir juga mampu mengokohkan jiwa terhadap segala hambatan dan rintangan yangmenerpa dalam kehidupan ini.Allah telah menjanjikan ketenangan jiwa dengan berzikir, disebutkan dalam al-Quran berbunyi:“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tentram”. (QS. Ar-Ra’du[13]:29).

Para santri dayah narkoba diwajibkan untuk mandi dan mengekal diri dengan berwudhu. Lemahnya kesadaran korban narkoba hal ini diakibatkan  oleh mabuk, diantara yang dapat dipulihkan yakni dengan mandi dan wudlu. Dalam ilmu kedokteran efek dari mandi atau wudhu itu, dimana pembuluh darah di permukaan tubuh menciut, sehingga darah pergi ke otak, dan tubuh bagian terdalam menjadi hidroterapi yang sangat efektif, menyegarkan jiwa dan raga yang pernah tersiksa.

Para santri ini, diusahakan waktunya disibukkan dengan berbagai kegiatan religius. Umpamanya waktu malam diisi dengan berbagi kegiatan ibadah dengan menghidupkan malam, berzikir, shalat lail baik tasbih, taubat, tahajud, witir dan lainnya. Kegiatan mereka diisikan sampai selesai dhuha. Tetapi hal demikian tidak perlu dipaksakan, namun perlahan dan sistematis. Kita menginginkan isinya yang bisa mengembalikan korban untuk bisa disembuhkan. Pendekatan psikologis dan olahraga serta pengobatanbaik dengan kedokteran maupun herbal juga perlu dikombinasikan. Rehabilitasi santri dayah narkoba ini merupakan perpaduan berbagai konsep dengan penekanan nilai religiusnya.

Metode dan konsep itu terserah bagaimana disusun, setidaknya diantara metode tersebut dapat dirangkumkan dalam beberapa poin yaitu: pertama, bimbingan spiritual. Disini diperlukan seorang murabbi (guru spiritual) dalam  dunia tarekat dikenal dengan  sebutan mursyid untuk membangkitkan dan membimbing mental spiritual para santri dengan mengajarkan pendidikan wirid atau dzikir dan ibadah yang benar agar para santri dapat mengerti dalam proses mengenal Tuhannya. Pengenalan ini tidak terlepas dari kewajiban syar’i berupa tatacarashalat dan hal lain yang merupakanfardhu ain setiap muslim, disamping zikir dan doa serta wirid yang sudah warid lainnya dari rujukan yang muktabar. Kedua, pengobatan tradisional dan modern, untuk pengobatan para santri korban narkoba dan kelainan perilaku, hendaknya juga digunakan cara tradisional dan dikombinasikan dengan pengobatan modern (kedokteran).

Disini peran pemerintah dan lembaga-lembaga yang ahli turut disertakan dan dilakukan kerja sama yang baik. Racun dalam korban narkoba itu harusdikeluarkan dan memperbaiki fungsi syaraf dan organ tubuh. Tentu saja para ahli dan spesialis yang lebih tahu dalam hal ini diturut sertakan dan berpartipasi. Ketiga olah raga. Selain meningkatkan mental dan spiritual para santri, juga dijalankan program olah raga yang dilakukan setiap hari guna memulihkan dan mengembalikan kesehatan serta stamina para santri dengan bermain sepak bola, bulu tangkis, pencak silat dan lainnya.

Keempat, kesenian dan kerajinan. Dalam mengimbangi kegiatan para santri di dayah narkoba juga diadakan kesenian dan berbagai kerajinan tangan untuk memulihkan kepercayaan diri mereka. Kelima, pengajian, pengajian ini rutin dilakukan untu memberikan pengetahuan agama sehingga implementasi ibadah sesuai dengan syariat. Metode dan konsep tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan kondisi mereka sehingga tidak membosankan dan diciptakan mereka lebih mencintai dan mengangap penting dengan ilmu agama itu sendiri.

Penulis berharap dengan adanya Darba yang secara etimologinya penulis maksudkan berasal dari bahasa arab dengan makna “memukul”. Dengan “darba”(pukulan)ini akan melahirkan dan membentuk generasi muda yang berkepribadian baik dan mulia serta membentuk cara dan pola berpikir santri sebagai penghuni dayah tersebut, Darba akan melahirkan santri yang konstruktif dan produktif dalam berbuat baik semaksimal mungkin dan selalu bermental positif dan optimis dalam menanggapi seluruh kenyataan hidup.

Kita harapkan juga mereka walaupun sempat menjadi insan yang pernah mengalami pengalaman yang buruk juga harus selalu siap mengambil inisiatif dan penuh perhatian dalam memikirkan kepentingan diri dan orang lain serta terbiasa dalam memikul tanggung jawab. Kita didik mereka menjadi menjadi manusia seutuhnya sebagai khalifatul arddhi (pemimpin dimuka bumi) yang mengembangkan amanah layaknya manusia normal lainnya. Semua itu bukan hanya tugas dan kewajiban pemerintah, keluarga sang korban narkoba dan dayah sebagai tempat mendidik mereka, tetapi tugas kita semua.

Kita tidak boleh egoisme, surga itu kita raih sendiri dengan mengabaikan dan tidak peduli nasib orang lain, kita juga tidak boleh egoisme hanya mecegah diri kita sendiri dari cakaran api neraka dan melupakan saudara lain yang juga “ahli” (saudara). Jangan lupa perintah Allah SWT dalam Al-Quran yang berbunyi:”Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimudan keluargamu dari api neraka..”.(QS. At-Tahri[66]:6). Rasulullah juga telah memperingatkan kita dalam beramar makruf nahi mungkar dengan bunyinya: “Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaaannya), jika dia tidak sanggup, maka dengan lisannya, dan jika dia tidak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) dan demikian itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49).

Mengomentari hadist ini Syekh Amin Kurdimengatakan mencegah kemungkaran itu dikelompokkan kepada tiga golongan, mencegah dengan tangan dibebabkan kepada pemerintah dengan kekuasaannya, kemudian ulama berperan mencegahnyadengan menyampaikan secara lisan, sedangkan masyarakat biasa pada posisi ketiga dengan membenci dan tidak senang dengan kemungkaran.

Narkoba merupakan salah satu bentuk maksiat dan musuh besar bangsa bahkan dunia sekalipun, tanpa kepedulian semua eleman masyarakat baik keluarga, masyarakat dan pemerintah niscaya musuh besar itu akan terus merajalela dan memangsa anak dan saudara kita dibumi Iskandar Muda ini khususnya dan negara kita ini pada umumnya. Hari ini korbannya tetangga dan saudara kita, siapa tahu dan siapa yang menjamin besok atau lusa, monster yang bernama narkoba itu tidak akan “menerkam” anak dan keluarga bahkan diri kita sendiri? Namun dengan sokongan dan kerjasama yang baik dari semua lapisan dan elemen tersebut, Insya Allah narkoba sebagai musuh itu akan dapat kita jinak danmusnahkan di negeri tercinta ini.

Peranan Darba (Dayah Narkoba) disamping sebagai bentuk pencegahan rehabilitasi, kuratif (pengobatan) juga dapat difungsikan sebagai pencegahan preventif (pencegahan pra terlibat narkoba). Usaha preventif hendaknya komposisi dan penjabarannya lebih menyentuh dengan kearifan lokalnya, disini peranan dayah juga dipandang sangat strategis, namun tanpa dukungan semua pihak juga tidak berhasil walaupun saat ini secara tidak langsung dayah telah melakukannya semenjak dari dulu secara mandiri dan fungsinya sebagai obor dan lampu umat. Bentuk partipasinya pemerintah bukan hanya “simbolis” dan “kunker”.

Tetapi harus lebih dari itu dalam memberantas narkoba sebagai musuh terbesar bangsa (the nation's biggest enemy). Namun tiga pencegahan (preventif, kuratif dan rehabilitasi) tersebut, tidak sempurna tanpa adanya usaha represif  yakni menindak dan memberantas penyalahgunaan narkoba melalui jalur hukum, yang dilakukan oleh para penegak hukum atau aparat keamanan yang dibantu oleh masyarakat. Usaha refresif ini harus serius memberi jera para pelaku, terlebih Aceh saat ini sudah dideklarsikan syariat Islam semenjak tahun 2001 sudah selayaknya tindakan refrensif dalam bingkai syariat diaplikasikan. Hendaknya penegakan  syariat Islam itu bukan hanya dijadikan sebagai bentuk“syari-ap” (syari-baca “cari”, ap-konsumsi-penulis) baik dalam segi politis atau lainnya, tetapi implementasi syariat yang akan menahkodakan negeri Iskandar Muda  ini sebagai negeri impian bermahkotakan “baldatun tayyibatun warabbul ghafur”. Semoga..!!!

Penulis : Helmi Abu Bakar El-Langkawi (Staf Pengajar Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga dan Jamaah Tariqat Naqsyabandiah Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini