Seorang pemuda bertubuh kekar, namun lemah oleh karena rasa lapar. Duduk terkulai dipinggir jalan, berwajah lesu dan menengadahkan tangan kepada semua orang yang lalu lalang, minta sedekah sambil mengulang lagu duka cerita hidupnya yang kalah, kisah derita kelaparan dan kehinaan.
Kala malam tiba, bibir dan lidahnya pedih kekeringan, sedangkan tangan masih sehampa perut yang melilit keroncongan. Dibenahinya diri, lalu pergi ke luar kota, kemudian duduk di bawah pohon, tak kuasa menahan lelehnya air mata. Lalu ditengadahkannya mata yang penuh tanya berkata “Oh Tuhan, aku telah pergi kepada orang kaya meminta kerja, tetapi dia memalingkan muka, melihat penampilan ku kumal, aku telah pergi mengetuk sebuah rumah sekolah, namun tiada mendapatkan berkah, karena tiba dengan hampa tangan.
Segala macam pencarian nafkah telah kuupayakan, namun tiada satupun kudapatkan. Dalam kebingungan telah terpaksa kuminta sedekah, tetapi ditolak umat-Mu, bahwa ibuku melahirkan daku, dan kini bumi sendiri menyerahkanku kembali kepada-Mu, sebelum sampai waktuku?.
Lalu wajahnya berubah tiba-tiba. Dia bangkit berdiri dengan mata berbinar berapi-api. Dibuatnya tongkat ke arah kota sambil berteriak kasar, Sekuat tenaga aku telah menjerit meminta roti, tetapi kau menolakkku dengan berlagak buta-tuli, kini aku tidak meminta lagi, akan kuambil sendiri dengan kekuatan tangan besi. Telah kumohon sepotong roti, dengan himbauan pada kasih hati, tetapi rasa kemanusiaanmu telah mati. Baiklah kini akan kuambil sendiri atas nama kejahatan!.
Berjalanlah waktu bertahun-tahun, yang mengenal pemuda itu sebagai penyamun, pembunuh, pengobrak-abrik keselamatan jiwa, dibinasakannya siapa pun yang menentangnya, ditumpuknya harta benda dan kekayaan, dibuatnya merebut pengaruh dari pemegang kekuasaan. Sekarang dia memperoleh pengaguman, dari rekan sepencaharian, membangkitkan rasa iri pada sesama pencuri, menimbulkan gentar dan ngeri pada seluruh penduduk negeri.
Kekayaan dan kedudukan rampasan itu, mendesak pemimpin mengangkat dia sebagai walikota, cara yang menyedihkan yang dianut para gubernur dungu. Maka pencurian memperoleh pengesahan, pemerasan didukung alat kekuasaan, penindasan kaum lemah menjadi kebiasaan, dan dalam masa itu penonton khalayak ramai bersorak-sorai.
Demikianlah sentuhan pertama ketamakan mengubah si lembut menjadi pelaku tindak kejahatan dan melahirkan pembunuhan dari pecinta kedamaian, demikianlah benih awal keserakahan insan bertumbuh menjadi raksasa dan menghantamkan godam seribu kaki pada kemanusiaan.[duniarakyat89]