-->

USM Gelar Workshop Kurikulum Komunikasi dan Penyiaran Islam

26 Juni, 2016, 00.19 WIB Last Updated 2016-06-25T17:20:40Z
BANDA ACEH - Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah Universitas Serambi Mekkah (USM), mengadakan Workshop Kurikulum di Aula Kampus Universitas Serambi Mekkah Bathoh Banda Aceh, Sabtu (25/6/2016). Workshop diikuti oleh civitas akademika Fakultas Dakwah dan Prodi KPI Universitas Serambi Mekkah.

Adapun pemateri Workshop Kurikulum tersebut antara lain menghadirkan Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Malikussaleh dan Ketua ASPIKOM Aceh Kamaruddin Hasan, S.Sos, M.Si didampingi Awaluddin Arifin, S.Sos, M.Kom.I. Juga menghadirkan Ketua Prodi KPI STAIN Gajah Putih Fachrur Rizha, S.Sos.I, SP, M.I.Kom, bersama Dekan Fakultas Dakwah Universitas Serambi Mekkah Dr. Andri Nirwana, MA, Ketua Prodi KPI Universitas Serambi Mekkah Ainal Fitri serta dimoderatori oleh Fuadi.

Kamaruddin Hasan dalam pemaparannya tentang kurikulum dan peluang dan tantangan mahasiswa dan lulusan KPI, menyebutkan bahwa masyarakat global sebagai komunitas planet bumi menyadari bahwa ragam budaya, ras, aliran dan agama atau berbagai bentuk dan sistem keyakinan tertentu tidak dapat lagi dijadikan sebagai sekat yang membelenggu kreativitas dan inovasi interaksi antar sesama, isolasi sosial dengan berbagai latar belakang, sudah mengalami “pembongkaran”, termasuk dalam dunia dakwah dan atau penyiaran Islam.

“Penyiaran Islam yang bersendikan amar ma’ruf nahi munkar secara fungsional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengontrol perilaku kehidupan umat Islam dan manusia secara keseluruhan khususnya di Aceh termasuk dalam literacy media bagi generasi muda,” terangnya.

Perputaran roda kapitalisme global, lanjut dia, dengan “libido/syahwat” pasar bebasnya yang teramat kencang, mulai membuat benteng pertahanan ruhiyah dan spirit dakwah/penyiaran Islam yang teramat luhur tersebut. Mulai pudar perlahan karena mentalitas dan pondasi kepribadian pelakunya tak sekuat penyiaran Islam itu sendiri.

Untuk itu, tambah Kamaruddin, dalam me-review kurikulum komunikasi dan penyiaran Islam perlu dipahami dengan benar tentang filsafat ilmu, antologi, epistimologi keilmuan termasuk studi aksiologi.

“Selain itu, dosen, mahasiswa dan civitas akademika mesti menguasai teknologi komunikasi dan informasi. Bagaimana mengintegrasikan antara Ilmu dan Islam. Misalnya secara epistimologi kajian komunikasi adalah broadcasting, jurnalistik, managemen media dan lain-lain, maka Penyiaran Islam mesti menjadi core values dengan perspektif Islam,” tegasnya lagi.

Lanjutnya, termasuk didalamnya mensinergikan pendekatan teologis-normatif dan  histories-empiris dengan memadukan paradigma Sains  dan Islam, sehingga tidak ada dikotom diantara keilmuan dan keislaman, dilakukan dengan melalui interaksi dialog yang  kreatif diantara komponen-komponen dengan acuan dasar filsafat Ilmu.

Paradigma dalam menyusun kurikulum komunikasi dan penyiaran Islam (KPI), jelas mesti didasari kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber  epistemologi sebagai cara memperoleh ilmu pengetahuan melalui proses (persepsi indrawi, kalbu/akal, wahyu/ilham). Sehingga akan tampak dalam kurikulum adanya penggabungan antara studi Tekstual  dan kontekstual.

Pemahaman domain komunikasi, masih kata dia, sub domain penyiaran/media dan Islam sebagai warna nilai yang menjiwai dan memandunya. Dalam mata kuliah teori-teori komunikasi misalnya, jika bidang komunikasi umum berbicara dari sudut tingkatan dan level-levelnya, maka dalam KPI perlu ada tambahan kontemplasi nilai-nilai keislaman pada teori-teori tersebut.

Berkaitan dengan kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), Kamaruddin Hasan, menyebutkan bahwa jenjang kualifikasi adalah tingkat capaian pembelajaran KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan.

“Merupakan kualifikasi perwujudan mutu dan jati diri bangsa terkait dengan sistem pendidikan, sistem pelatihan kerja serta sistem penilaian kesetaraan capaian pembelajaran (learning outcomes), yang dimiliki untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang bermutu dan produktif.  Merupakan sistem yang berdiri sendiri dan merupakan jembatan antara sektor pendidikan dan pelatihan untuk membentuk Sumber Daya Manusia berkualitas dan bersertifikat melalui skema pendidikan formal, non formal, in formal, pelatihan kerja atau pengalaman kerja. Yang disepakati bersama, disusun berdasarkan ukuran hasil pendidikan dan/atau pelatihan yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja,” tandasnya.

Apalagi, tambahnya, Pendidikan Tinggi merupakan salah satu unsur yang berperan penting dan bertanggung jawab atas upaya pemberdayaan Sumber Daya Manusia yang kreatif, inovatif dan produktif. Sehingga mampu mandiri dan bersaing dalam menghadapi peluang dan tantangan di era globalisas termasuk MEA.

“Bisa kita bayangkan, bagaimana data dari ASEAN Competitive Inbox, bahwa tingkat pendidikan kita Indonesia berada di peringkat kelima. Masih kalah jauh dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Tingginya biaya pendidikan kita membuat tak banyak masyarakat yang mampu mengenyam pendidikan. Meskipun, sudah menjadi rahasia umum bahwa setidaknya harus menjadi lulusan sarjana untuk mendapat pekerjaan yang layak,” kata dia.

Pada sesi terakhir pemateri sepakat bahwa mesti ada sinergisitas antara kurikulum ilmu komunikasi umum dengan komunikasi dan penyiaran islam (KPI), juga diharapkan semua penyelenggaran jurusan Ilmu Komunikasi, termasuk komunikasi dan penyiaran yang ada di Aceh untuk segera melakukan review kurikulum.[Rls]
Komentar

Tampilkan

Terkini