-->

Sudahkah UU Kekerasan Seksual Melindungi Seluruh Warga Negara?

10 Juni, 2016, 09.32 WIB Last Updated 2016-06-10T02:32:55Z
IST
SEMARANG – Hukum sudah seharusnya melindungi segenap warganya tanpa memandang gender dan status sosial. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, demikian pasal 28 D UUD 1945 mengamanatkan.

Atas fenomena kejadian kekerasan kepada anak yang muncul kepermukaan berkat sorotan media, seperti sebuah tren baru. Banyaknya kasus pencabulan terhadap anak memaksa pemerintah mengubah hukuman bagi pelaku menjadi lebih berat.

Hukuman kebiri melalui PERPU No. 1 tahun 2016 digulirkan pemerintahan Jokowi untuk mengancam pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dengan munculnya PERPU ini diharapkan dapat memberikan efek jera pelaku.

Dari undang-undang yang ada, hukuman hanya mengarah kepada yang diduga pelaku. Sedangkan pihak lain seperti orang tua luput dari perhatian undang-undang. Orang tua sebagai pemangku kewajiban mendidik anak agar berkepribadian baik, hanya dikenakan kewajiban mendidik tanpa ada ancaman hukuman.

Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Jawa Timur pada bulan Mei 2016. Melalui akun Divisi Humas Polri di media sosial facebook, Kepolisian Sektor Wonokromo menangkap NC (20 tahun) atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya. NC dituduh melakukan tindakan persetubuhan dengan anak dibawah umur asal Kediri.

Menurut Kapolsek Wonokromo, Kompol Arisandi, “Pelaku berkenalan dengan korban melalui media sosial facebook. Setelah 4 bulan berpacaran, korban datang ke Surabaya melalui terminal Bungurasih dan dijemput pelaku. Kemudian korban menginap di kos korban selama satu minggu”.

Dari satu sisi, NC adalah pelaku, namun disisi lain dirinya bisa saja korban dari kecerobohan orang tua korban yang tidak mendidik anaknya dengan baik. Korban bisa saja tidak menemui dan tidak menginap.

Jika menilik dari keterangan polisi bahwa korban mendatangi pelaku, tentu hal tersebut atas kemauan korban sendiri. Karena korban masih dibawah umur, perlakuan pelaku terhadap korban masih dijerat dengan UU perlindungan anak. Dasar suka sama suka tidak dapat membebaskan pelaku dari perbuatannya, namun orang tua juga seharusnya bertanggung jawab atas tindakan korban.

Pelaku dalam hal ini justru seperti menjadi korban atas kelalaian orang tua gadis dibawah umur tersebut. Undang-undang sama sekali tidak mengakomodir keadilan bagi pelaku yang sebenarnya adalah korban.

Jika gadis dibawah umur tersebut tidak mau melakukan tindakan persetubuhan, bisa saja hal tersebut tidak terjadi dan kasus ini tidak bergulir. Dengan korban mendatangi pelaku, bisa saja yang mengajak dan merayu pelaku untuk melakukan tindakan persetubuhan adalah korban.

Dalam undang-undang kata ”anak” adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Namun jika menilik dari sisi sosial kehidupan sekarang, anak-anak usia belasan ini sudah mengerti yang namanya seks. Dengan demikian, hal diatas sangat mungkin terjadi.

Undang-undang yang seharusnya adil tanpa melihat gender dan status sosial, pada hal ini sama sekali tidak terlihat. Pelaku yang notabene lelaki selalu menjadi bahan ekploitasi undang-undang untuk dipersalahkan. Hal ini jelas melanggar undang-undang tentang kesetaraan gender di mata hukum.

Perlu menambahkan pasal ancaman bagi orang tua/wali korban. Orang tua/wali yang kedapatan tidak mendidik anaknya sehingga melakukan tindakan yang menyebabkan orang lain melakukan kejahatan persetubuhan dengan diri anak tersebut, diperlu pasal khusus.

Perlunya penambahan pasal tersebut demi keadilan dan kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia. Kepastian ini perlu agar tidak ada lagi kasus yang sebenarnya bukan semata-mata kesalahan satu orang, namun ditanggung hanya satu orang, yaitu pelaku.

UU nomor 35 tahun 2014 hanya memberikan kewajiban kepada orang tua dalam hal pendidikan dan lain sebagainya tanpa adanya ancaman hukuman jika anak bertindak di luar norma. Hukum harusnya menilik juga peran orang tua sangat sentral dalam urusan anak mengambil keputusan.

Ataukah undang-undang harus melihat bahwa anak tidak selalu dibenarkan. Sehingga apabila terjadi persetubuhan, perlu adanya peninjauan kasus apakah ada peran serta anak itu sendiri atau murni kesalahan pelaku.

Jika anak dilindungi undang-undang, warga negara yang bukan anak juga perlu dilindungi. Jangan sampai keadilan dicederai hanya karena kata “anak”. Anak tetap harus mendapat perhatian tanpa harus meninggalkan keadilan.

Penulis : Bastomi (Anggota PPWI Semarang)
Komentar

Tampilkan

Terkini