IST |
SEMARANG – Hukum
sudah seharusnya melindungi segenap warganya tanpa memandang gender dan status
sosial. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, demikian
pasal 28 D UUD 1945 mengamanatkan.
Atas fenomena
kejadian kekerasan kepada anak yang muncul kepermukaan berkat sorotan media,
seperti sebuah tren baru. Banyaknya kasus pencabulan terhadap anak memaksa
pemerintah mengubah hukuman bagi pelaku menjadi lebih berat.
Hukuman kebiri
melalui PERPU No. 1 tahun 2016 digulirkan pemerintahan Jokowi untuk mengancam
pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dengan munculnya PERPU ini diharapkan
dapat memberikan efek jera pelaku.
Dari undang-undang
yang ada, hukuman hanya mengarah kepada yang diduga pelaku. Sedangkan pihak
lain seperti orang tua luput dari perhatian undang-undang. Orang tua sebagai
pemangku kewajiban mendidik anak agar berkepribadian baik, hanya dikenakan
kewajiban mendidik tanpa ada ancaman hukuman.
Sebagai contoh, kasus
yang terjadi di Jawa Timur pada bulan Mei 2016. Melalui akun Divisi Humas Polri
di media sosial facebook, Kepolisian Sektor Wonokromo menangkap NC (20 tahun)
atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya. NC dituduh melakukan tindakan
persetubuhan dengan anak dibawah umur asal Kediri.
Menurut Kapolsek
Wonokromo, Kompol Arisandi, “Pelaku berkenalan
dengan korban melalui media sosial facebook. Setelah 4 bulan berpacaran, korban
datang ke Surabaya melalui terminal Bungurasih dan dijemput pelaku. Kemudian
korban menginap di kos korban selama satu minggu”.
Dari satu sisi, NC
adalah pelaku, namun disisi lain dirinya bisa saja korban dari kecerobohan
orang tua korban yang tidak mendidik anaknya dengan baik. Korban bisa saja
tidak menemui dan tidak menginap.
Jika menilik dari
keterangan polisi bahwa korban mendatangi pelaku, tentu hal tersebut atas
kemauan korban sendiri. Karena korban masih dibawah umur, perlakuan pelaku
terhadap korban masih dijerat dengan UU perlindungan anak. Dasar suka sama suka
tidak dapat membebaskan pelaku dari perbuatannya, namun orang tua juga
seharusnya bertanggung jawab atas tindakan korban.
Pelaku dalam hal
ini justru seperti menjadi korban atas kelalaian orang tua gadis dibawah umur
tersebut. Undang-undang sama sekali tidak mengakomodir keadilan bagi pelaku
yang sebenarnya adalah korban.
Jika gadis dibawah
umur tersebut tidak mau melakukan tindakan persetubuhan, bisa saja hal tersebut
tidak terjadi dan kasus ini tidak bergulir. Dengan korban mendatangi pelaku,
bisa saja yang mengajak dan merayu pelaku untuk melakukan tindakan persetubuhan
adalah korban.
Dalam undang-undang
kata ”anak” adalah seseorang yang belum berusia
18 tahun. Namun jika menilik dari sisi sosial kehidupan sekarang, anak-anak
usia belasan ini sudah mengerti yang namanya seks. Dengan demikian, hal diatas
sangat mungkin terjadi.
Undang-undang yang
seharusnya adil tanpa melihat gender dan status sosial, pada hal ini sama
sekali tidak terlihat. Pelaku yang notabene lelaki selalu menjadi bahan
ekploitasi undang-undang untuk dipersalahkan. Hal ini jelas melanggar
undang-undang tentang kesetaraan gender di mata hukum.
Perlu menambahkan
pasal ancaman bagi orang tua/wali korban. Orang tua/wali yang kedapatan tidak
mendidik anaknya sehingga melakukan tindakan yang menyebabkan orang lain
melakukan kejahatan persetubuhan dengan diri anak tersebut, diperlu pasal
khusus.
Perlunya penambahan
pasal tersebut demi keadilan dan kepastian hukum bagi setiap warga negara
Indonesia. Kepastian ini perlu agar tidak ada lagi kasus yang sebenarnya bukan
semata-mata kesalahan satu orang, namun ditanggung hanya satu orang, yaitu
pelaku.
UU nomor 35 tahun
2014 hanya memberikan kewajiban kepada orang tua dalam hal pendidikan dan lain
sebagainya tanpa adanya ancaman hukuman jika anak bertindak di luar norma.
Hukum harusnya menilik juga peran orang tua sangat sentral dalam urusan anak
mengambil keputusan.
Ataukah
undang-undang harus melihat bahwa anak tidak selalu dibenarkan. Sehingga
apabila terjadi persetubuhan, perlu adanya peninjauan kasus apakah ada peran
serta anak itu sendiri atau murni kesalahan pelaku.
Jika anak
dilindungi undang-undang, warga negara yang bukan anak juga perlu dilindungi.
Jangan sampai keadilan dicederai hanya karena kata “anak”. Anak tetap harus
mendapat perhatian tanpa harus meninggalkan keadilan.
Penulis : Bastomi
(Anggota PPWI Semarang)