Dini hari ini, kami sarapan
sahur di sebuah sudut kota tua bernama paling singkat Idi. Kota bernama singkat
lain ialah Soe di NTT. Seperti puluhan tahun lalu tatkala kami masih kecil,
akrab dan bernuansa.
Banyak cerita yang terajut
di negeri rempat kakek kami tinggal kemudian dikuburkan di sini. Rumah kami di
Seuneubok Rambong sepagar dengan rumah orang tua Ridwan Abubakar (Nektu)
anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh. Di sela-sela pohon kelapa yang ramah dan
gemulai. Di depannya sebuah meunasah tempat tadarus dialunkan.
Sambil mengunyah makanan
sahur dengan menu sederhana, beberapa nama tokoh asal Idi terlintas dalam
pikiran saya. Ada Abdullah Puteh, mantan Gubernur Aceh, Usman Latif Jacob,
tokoh pendidikan, politisi Golkar, dan penceramah yang mempesona. Juga Ismail
Ben, politisi PPP, orang tua Iqbal Farabi. Dr Hanafiah, birokrat kesehatan dan
politisi Golkar. Rektor Unsyiah Prof. Dr. Syamsul Rizal meski berasal dari
Pidie dia lahir dan sekolah di Idi.
Diantara rangkaian itu
semua, menyebut Idi (Ibukota Aceh Timur) tidak akan lengkap tanpa menyebut nama
Husin yang kemudian dikenal dengan Tgk. Amir Husin Almujahid. Dia menjabat
Ketua Pemuda Pusa (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di awal kemerdekan. Ketua Pusa
ialah Daud Beureeh.
Saat itu kelompok ulama
memburu kaum Uleebalang (Teuku) karena diduga akan ingin menjemput kembali
Belanda setelah Jepang menyerah kalah pada Sekutu, 1945. Banyak kaum ninggrat
menyingkir ke luar. Sebagian ditangkap dan dieksekusi.
Adalah Husin Almujahid
yang menangkap Jenderal Mayor Teuku Nyak Arief , Residen Aceh. Pangkat Nyak
Arief dilucuti dan dipasang di bahunya sendiri kemudian Teuku Nyak Arief
dibuang ke suatu tempat.
Renungan kontemplatif ini
berakhir ketika dari masjid terdengar lantunan ayat Quran. Sebentar lagi subuh
tiba dan kita masuk hari ketiga berpuasa.
Tuhan, panjangkan umur
kami agar dapat menyelesaikan perintah-Mu sebagaimana tercantum dalam surat
Baqarah ayat 183.[Dikutip dari laman Facebook Barlian AW AW, Seorang Sastrawan Aceh]