Konstalasi
politik lokal Aceh khususnya Bireuen menjelang Pemilukada 2017 sudah dimulai dengan “gaduh” yaitu
munculnya berbagai pasangan calon yang belum disahkan Komisi Indepeden
Pemilihan (KIP) Kabupaten Bireuen, yang dasarnya dengan harus mengikuti
tahapan-tahapan Pilkada baru bisa mengumumkan ke publik sebagai Calon. Namun
apa yang terjadi saat ini, calon-calon pemimpin tersebut sudah mulai menebar
beragam macam pengenalan diri baik baliho, poster, spanduk bahkan secara tidak
langsung pembentukan timses-timses pemenangan.
Adapun timses-timses
tersebut sudah melakukan kerjanya dengan cara-cara baik dan ada pula secara buruk yaitu
saling menurunkan baliho-baliho antar calon, serang menyerang argumen yang
tidak “menjual calon” dengan visi, misi dan programnya namun hanya polesan kata
agar terlihat menawan yang padahal semestinya dilawan.
Calon pemimpin yang baik
sangat menentukan pencapaian tahapan pembangunan berkelanjutan untuk masa depan
kesejahteraan masyarakat Bireuen. Pertama, pemimpin yang baik harus
memiliki ciri yaitu mampu menciptakan loyalitas lingkungan yang tepat dan
kondusif yaitu perhatian kepada rakyat serta mengetahui kebutuhan rakyatnya
sehingga tidak “menjual diri” dengan kondisi menutupi keburukan-keburukan atau
membohongi publik dengan berbagai cara untuk bisa terpilih menjadi pemimpin.
Kedua, pemimpin yang baik
harus menghindari “dosa-dosa” yaitu berusaha untuk disukai rakyat bukan
dihormati dengan konsep kepemimpinannya, tidak pernah mau dinasehati dan acuh
terhadap apa yang diinginkan rakyat, ambisi buta tanpa punya keahlian dan ilmu
untuk menjadi seorang pemimpin.
Tidak dapat kita pungkiri
bahwa menghasilkan pemimpin
yang baik dalam pilkada yang berkualitas untuk pencapaian peningkatan
kesejahteraan Bireuen mendatang, dibutuhkan banyak unsur yang saling berkaitan yaitu pelaksana
Pilkada, Calon Pemimpin (kandidat-kandidat), dan yang tak kalah penting yaitu
unsur pemilih (voters) itu sendiri.
UU No. 32 Tahun2004
tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan tentang syarat-syarat menjadi pemilih
yaitu pertama, memiliki hak pilih jika telah berusia 17 tahun dan
atau telah kawin. Kedua, untuk menggunakan hak pilih, seseorang harus didaftar
sebagai pemilih dengan syarat tidak terganggu jiwa atau ingatannya dan hak
pilihnya tidak sedang dicabut berdasarkan keputusan pengadilan yang memiliki
kekuatan hukum. Ketiga, seorang pemilih hanya dapat didaftar satu kali. Keempat,
bagi seseorang yang memiliki tempat tinggal lebih dari satu, dia harus
memutuskan satu tempat tinggal
saja untuk di daftar sebagai pemilih.
Pentingnya
pemilih cerdas
Sikap pragmatis
masyarakat Bireuen sebagai pemilih dalam menentukan siapa Calon Pemimpin
Bireuen bukanlah sesuatu yang menjadi salah karena hal tersebut sudah dilihat
dari pengalaman bahwa kepemimpinan di Bireuen selama ini tidak memberi dampak
yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Bireuen bahkan menurut
kondisi saat ini penduduk Bireuen hampir 50% adalah masyarakat miskin.
Bireuen merupakan daerah
kedua terbanyak penduduk miskin di Provinsi Aceh setelah Aceh Utara, sehingga
pemilih melihat calon
pemimpin tidak punya itikad politik yang baik untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Selain itu pemimpin
Bireuen sekarang terlihat seperti “terpecah-belah” sehingga tidak menjadi pemimpin milik semua
masyarakat tetapi hanya suatu kelompok, sehingga muncul slogan “awak tanyo,
awak jeh, awak nyan”.
Untuk demikian,
semestinya slogan ini harus dibuang jauh supaya nantinya yang terpilih dapat
menjunjung netralitas kepemimpinannya sehingga mewujudkan pembangunan Bireuen
yang lebih berkualitas dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menelisik hal itu lebih
jauh, ada beberapa hal menjadi pemilih yang cerdas pada Pilkada Bireuen
Februari 2017 mendatang yaitu pertama, menggunakan hak pilih
merupakan wujud menentukan terpilihnya calon pemimpin yang baik
atau buruk untuk Bireuen. Bahwa satu suara sangat menentukan Bireuen akan
dipimpin oleh siapa nantinya. Kedua, memahami seluruh visi, misi
dan program serta mengetahui track record bahkan mempelajari daftar riwayat
hidup sehingga kita memilih pemimpin
yang tepat.
Ketiga, mengevaluasi kinerja
dan mengakumulasi “janji-janji palsu” bagi calon incumbent sehingga menjadi
catatan bagi pemilih apa yang sudah
dijalankan selama menjadi pemimpin
Bireuen, apakah
sesuai atau tidak antara janji dan pelaksanaan kerjanya. Keempat, sangat perlunya
kesadaran kritis sebagai pemilih
bahwa pilkada
adalah moment untuk menentukan nasib diri sendiri dengan menaruh harapan pada calon pemimpin terpilih
nantinya. Kelima, harus ada gerakan melawan segala bentuk intimidasi dan
politik uang.
Mari jadi pemilih cerdas,
jangan salah menggunakan hak pilih yang akan berdampak selama 5 tahun atas
nasib kita sebagai penduduk Bireuen.
Penulis :
Muazzinah, B. Sc, MPA (Dosen UIN Ar Raniry Aceh)