BANDA
ACEH - Dr.Amri. SE. MSi selaku Pakar ekonomi Aceh yang juga dosen Fakultas
Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh menyebutkan, kebijakan Presiden
Jokowi yang menetapkan harga daging harus bisa di bawah Rp. 80.000 tidak akan
berjalan di Provinsi Aceh.
Menurut
Dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, Sabtu 4 Juni 2016 dikirim lewat WhatsApp kepada
wartawan. Dalam dua hari menjelang bulan suci Ramadhan, sudah pasti harga daging
di Aceh malah naik lebih tinggi mencapai Rp. 150.000 per kilogram sampai Rp.
170.000 per kilogram.
Pemerintah
bisa saja menetapkan harga daging Rp 80 ribu, namun khususnya di Aceh, tidak
akan terwujud, alasannya, harga daging akan ditentukan oleh mekanisme demand
dan supply.
Meningkatnya
harga daging sapi dibeberapa provinsi ini juga apakah sudah sesuai dengan UU
Nomor 18 Tahun 2012 mengenai pangan yang mewujudkan tingkat kecukupan pangan
terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
“Kalau
pun dipaksakan kepada penjual, tak akan mau menjual pada harga tersebut pasti
rugi, jika memang memaksakan menjual harga daging maksimal Rp.80.000, para
pedagang akan rugi," kata Amri.
Ini
menjadi evaluasi pemerintah. Apalagi dengan kondisi ekonomi kita saat ini
dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I /2015 hannya 4,8 persen, jnflasi 6,2
persen, nilai rupiah di kisaran 13.250 dan lambatnya penyerapan APBN dan APBD
yang mendorong daya beli masyarakat yang semakin menurun.
Menurut
hasil amatannya dari tahun ke tahun harga daging paling mahal se Indonesia
adalah di Aceh. Apalagi tradisi Meugang puasa dan meugang lebaran yang ada
hanya di Aceh.
“Coba
lihat pada hari ini Sabtu 4 Juni 2016, harga daging pasar-pasar di Aceh
mencapai Rp.150 ribu sampai 170 ribu. Tidak mungkin diterapkan kebijakan
pemerintah (harga daging Rp 80 ribu-di Aceh). Kalau di bawah harga tersebut
pedagang akan rugi. Dan ini tak akan terjadi," pungkas Amri. [Dw]