IST |
JAKARTA - Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) menolak jadi eksekutor hukuman kebiri yang rencananya
akan menjadi hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual pada anak.
Pelaksanaan hukuman
kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran
Indonesia.
"Kita tidak
menentang perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan
janganlah seorang dokter," ujar Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis dalam
jumpa pers di Jakarta, Kamis (9/6/2016).
Marsis menegaskan,
IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya
kepada pelaku kekerasan seksual pada anak. Namun, mereka menolak dilibatkan
dalam pelaksanaan hukuman kebiri atau menjadi eksekutor.
Ketua Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), dr Priyo Sidipratomo, mengatakan, dokter
tidak akan menggunakan pengetahuannya untuk hal yang bertentangan dengan
perikemanusiaan, sekalipun diajak. Hal itu disebutkan dalam sumpah dokter.
"Kalau
melanggar, dikeluarkan dari organisasi profesi organisasi. Dokter bertugas
hanya untuk kepentingan kemanusiaan. Dalam peperangan pun, dokter harus
menyelamatkan manusia, sekalipun itu musuh," kata Priyo.
Namun, sikap IDI
ini menjadi dilema karena hanya dokter yang memiliki kompetensi untuk memasukkan
zat kimia ke tubuh manusia.
Menurut dokter
spesialis andrologi, Wimpie Pangkahila, sebaiknya hukuman diperberat dengan
menambah masa kurungan penjara atau hukuman tambahan lainnya yang tidak
mencederai profesi dokter.
Wimpie mengatakan,
hukuman kebiri pun belum terbukti di dunia bisa memberikan efek jera terhadap
pelaku kejahatan seksual.
IDI Tolak Jadi Eksekutor Hukuman Kebiri, Pukulan Telak Bagi Pemerintah
Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR) menilai bahwa penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
untuk mengeksekusi hukuman kebiri merupakan pukulan telak bagi pemerintah.
Sikap IDI tersebut
dianggap sebagai pembuktian bahwa hukuman yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak tersebut tak didasarkan pada kajian dan analisa ilmiah yang mendalam oleh
pemerintah.
"Pilihan
pemerintah untuk mengambil keputusan tanpa kajian dan analisis mendalam serta
melibatkan pihak-pihak yang berkompeten, termasuk para pakar medis dan psikis
adalah sebuah tindakan fatal," ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi
Widodo Eddyono melalui keterangan tertulis, Jumat (10/6/2016).
Seharusnya, kata
Supriyadi, sejak awal pemerintah membuka partisipasi dan masukan dari banyak
pihak, termasuk para pakar medis dan psikis.
Sejak awal, pihaknya
mendukung penuh IDI untuk bersuara terkait hukum kebiri.
Supriyadi mengatakan,
pihaknya mengapresiasi sikap IDI.
ICJR pun meminta agar
pemerintah membuka kajian dan analisis yang sudah dilakukan untuk mengeluarkan
Perppu 1 Tahun 2016.
"ICJR juga
meminta Pemerintah menghormati posisi IDI dan Kode Etik Kodekteran
Indonesia," kata dia.
IDI telah mengeluarkan
surat tertanggal 9 Juni 2016 yang meminta agar dokter tidak menjadi eksekutor
dari Perppu 1 Tahun 2016 yang memuat tindakan kebiri.
Penolakan tersebut
didasarkan atas fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1
Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia dan juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta
Kode Etik Kodekteran Indonesia (KODEKI).
IDI juga menyatakan
bahwa atas dasar keilmuan dan bukti-bukti ilmiah, kebiri kimia tidak menjamin
hilang/berkurangnya hasrat serta potensi perilaku kekerasan seksual pelaku,
IDI juga meminta
supaya pemerintah mencari solusi lain selain penggunaan Kebiri Kimia yang
sekali lagi dianggap tidak efektif dalam kasus kekerasan seksual.
Pihak IDI juga
menyatakan bersedia untuk memaparkan pandangan ilmiah dan etikalnya tersebut di
hadapan Presiden Joko Widodo.[Kompas]