IST |
JAKARTA - Mayor
Jenderal (Purn) TNI Kivlan Zen menyebut bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI)
sesungguhnya telah bangkit sejak 2010. Namun, kemunculannya, kata Kivlan,
bergantung pada Presiden Joko Widodo.
Isu kebangkitan PKI belakangan santer terdengar bersamaan
dengan maraknya kemunculan atribut-atribut berbau komunis.
"Tergantung Jokowi. Kalau minta maaf 17 Agustus nanti,
ya (PKI) muncul," ujar Kivlan saat ditemui di Balai Kartini, Jakarta,
Kamis (2/6/2016).
"Makanya Jokowi jangan minta maaf. Kalau minta maaf ya
kita nyatakan dia bukan Presiden. Kita tumbangkan. Berarti kita perang sama
Jokowi," sambung dia.
Adapun mengenai sosok Wahyu Setiaji yang sebelumnya ia sebut
sebagai pimpinan PKI, kata dia, adalah anak dari Wakil Ketua CC PKI Lukman
Njoto atau Nyoto. Wahyu disebut memiliki pengaruh kuat untuk menarik orang
karena tak lepas dari pengaruh ayahnya.
"Anak-anak keturunan dia (Nyoto) sudah bersatu. Mereka
kongres di Ngabrak (Magelang), Agustus 2010 membuat AD/ART baru," kata
Kivlan.
Metode yang digunakan untuk menarik massa bergabung, lanjut
dia, adalah Metode Kerja Tiga Bentuk Perjuangan (MK TBP) yang mampu menyentuh
kalangan petani, buruh, ABRI, TNI, Polri, hingga pengawai negeri. Metode
tersebut sama dengan yang digunakan DN Aidit.
"Kemudian agitasi propaganda, fitnah, teror, dia punya
program untuk merebut kekuasaan," sambungnya.
Kivlan mengklaim, informasi tersebut didapatkan dari jaringannya
di lapangan yang juga ikut masuk ke dalam kongres. Mereka turut mendapatkan
buku pedoman kerja serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Kivlan menyebut, mereka juga telah melaksanakan kongres di
sejumlah daerah seperti Magelang, Salatiga, Sukabumi, hingga Banyuwangi.
"Yang terakhir mereka mau kongres Agustus lalu di
Salatiga di salah satu universitas. Diminta jangan kongres, pindah ke Magelang
di daerah Kopeng. Saya sendiri ngejar, kok. Bubar," paparnya.
Kivlan menyebutkan, basis PKI baru tersebut selain ada di
Jakarta, juga ada di Malang dan Salatiga.
Adapun titik basis di Jakarta, kata dia, berada di salah
satu kampus negeri bernafas Islam. Namun, ia enggan menyebutkan lebih detail
mengenai lokasi tersebut.
"Rektornya juga tahu kok anak-anak Marxis itu belajar
Marxis, mereka kembangkan," tutur Kivlan.
Pemerintah dalam berbagai kesempatan sudah menegaskan tidak
ada niat untuk meminta maaf terkait peristiwa 1965. [Kompas]