Kematian
merupakan akhir dari sebuah kehidupan dunia dan pintu gerbang menuju akhirat.
Rasulullah dalam banyak hadist menganjurkan kepada kita untuk merenungkan
kepada maut (kematian), diantaranya, beliau bersabda: :“Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang
melenyapkan segala macam kelezatan(kematian).” (HR. At-Tirmidzi).
Dalam hadist
yang beliau juga bersabda: “Orang yang paling banyak mengingat mati dan
paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah
orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259). Islam sebagai
agama yanga bersifat universal, disamping dalam ajarannya diajarkan etika,
Islam juga mengajarkan estetika dalam aplikasi kehidupan sehari-hari. Salah
satu estetika dalam menerjemahkan kematian sebagaimana yang diajarkan oleh
Syekh Jalaluddin Ar-Rumi lewat tarekat Maulawiyah yang dikenal dengan nama Tarian
Sufi. Diantara nilai yang ditonjolkan dalam gerakan tarian ini untuk
mengingatkan kita kepada kematian.
Syekh
Jalaluddin Ar-Rumi merupakan sosok ulama pencetus lahirnya tarekat Maulawiyah
dalam implementasinya tarekat ini dengan gerak-gerik yang berputar disertai
dengan zikir dan alunan musik. Tarian ini dikenal dibelahan dunia barat dikenal
dengan nama “The Whirling Darvishes”, sedangkan didunia timur disebut
dengan Sama’/Sema (mendengar).
Syekh Ar- Rumi
lahir di Balkh (Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604
Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu
Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm,
keturunan Ali bin Abi Thalib. Sebelum terjun kedunia sufistik, Syekh ar-Rumi
terkenal seorang teolog yang handal pada masanya, namun ketika bertemu dengan Syams
al-Din Tabrizi pada tahun 1244 M. Akhirnya perjumpaan ini ternyata telah
mengubah hidup Syekh Rumi menjadi seorang penyair sufi yang sangat terkemuka.
Hal ini
dilukiskan dalam bait syairnya: “Hasratku pada Sang Kekasih telah membawaku
terbang melintasi samudera ilmu dan keluasan al-Qur’an. Aku menjadi gila.
Kutelusuri bentangan sajadah dan masjid dengan segenap hasrat dan kekhusyukan.
Kukenakan pakaian pertapa untuk memperkaya kebajikan. Cinta menghampiriku, dan
berkata ”Wahai sang Guru, lepaskan dirimu! Mengapa kau terp[aut pada sajadah?
Tidakkah kau ingin hatimmu bergetar di hadapan-Ku! Tidakkah kau ingin melampaui
pengetahuan dengan penglihatan? Maka tundukan kepalamu..”. (Aflaki, Menaqib
Al-Arfian, h. 20.)
Syekh Ar-Rumi
meninggalkan warisan pemikiran spiritual yang banyak menginspirasi umat Islam. The
Whirling Darvishes salah satu inspirasi yang ditinggalkan Rumi yang
merupakan paduan warna dari tradisi, sejarah, religi, dan budaya Turki. Dalam
persepsi ar-Rumi kondisi dasar semua yang ada di dunia ini adalah berputar.
Tidak ada satu benda dan makhluk yang tidak berputar. Keadaan ini diakibatkan
oleh perputaran elektron, proton, dan neutron dalam atom merupakan partikel
terkecil penyusun semua benda. Ar-rumi mengibaratkan perputaran partikel
tersebut sama halnya dengan perputaran jalan hidup manusia dan perputaran bumi.
Prosesi kehidupan manusia mengalami perputaran, dari ‘adam (tidak ada),
menjadi wujud (ada), kemudian kembali menjadi ‘adam. Manusia merupakan
makhluk ahsanu at-taqwim (sebaik-baik bentuk) yang dibekali akal dan
kecerdasan membuatnya berbeda dan lebih utama dari makhluk ciptaan Allah yang
lainnya. Tarian Sema yang didominasi gerakan berputar-putar. Tarian ini
meskipun telah banyak di mainkan oleh tarekat sufi tetapi telah menjadi ciri
khas dasar bagi tarekat al-Maulawiyah. Tarian suci ini dimainkan oleh
para Darwish dalam pertemuan-pertemuan atau majlis sebagai dukungan
eksternal terhadap upacara-upacara (ritual mereka).
Implementasi
dari tarekat ini menurut Mulyadi Kartanegara dalam bukunya “Tarekat
Mawlawiyah Tarekat Kelahiran Turki,” dengan mengutip pendapat Talat Sait
dan Metin And, Profesor terkemuka di Universitas Ankara, menyebutkan
bahwa tarian ini di mulai dengan membungkukkan badan yang dimulai oleh para
Darwisy kepada pemimpinnya untuk mendapat restu. Pada mulanya tangan mereka
bersilang dan ditempelkan ke dada dengan posisi tangan mengencengkram bahu,
lalu tangan mereka mulai terangkat. Kaki-kaki mereka mulai merapat, pada tahap
awal mereka bergerak sangat lambat, namun secara perlahan tangan mereka
meninggalkan bahu dan berangsur-angsur tangan mereka merentang lurus dan
membentuk posisi horizontal. Tangan kanan mereka berlalu sambil menengadah
dengan telapak tangan ke atas sedang tangan kiri diturun ke bawah. Posisi
tersebut secara simbolik menggambarkan pengaruh dari langit yang diterima
dengan telapak tangan terbuka dari atas, diteruskan ke bawah menuju dunia oleh
tangan yang lain. Kadang kala satu tangan dibuka dan tangan lain menekan ke
dada.
Para Darwisy
berputar-putar dengan bertumpu secara bergantian pada tumit, sedangkan kaki
yang lain mengupayakan untuk berputar. Mata mereka tampak sayu atau tertutup
dan kepala mereka sedikit condong pada salah satu pundak. Semakin mereka
mempercepat putaran, rok putih mereka seperti payung yang terbuka. Tariam ini
dipimpin oleh Sama’ Zembasi (pemimpin tarian sufi), beliau yang
memberikan aba-aba dan tidak mengikuti tarian, Nasr mengatakan bahwa tarian
Mawlawi dimuali dengan nostalgia dengan Tuhan, lalu berkembang sedikit demi
sedikit menjadi keterbukaan limpahan rahmat dari surga, dan akhirnya
menghasilkan fana’ dan penyatuan kedalam diri Sang Kebenaran. (Mulyadhi
Kartanegara, Tarekat Mawlawiyah Tarekat Kelahiran Turki, h. 330.)
Syekh Ar-rumi
sebagai pencetus “The Whirling Darvishes” dalam setiap unsur dalam
memainkan tarian tersebut mempunyai filosofi tersendiri, namun sebagaian orang
terlupakan untuk mengambil ibrah (pelajaran). Peci yang dipakai oleh
penari berbentuk lonjong keatas, ini menyimbolkan batu nisan, sedangkan
jubahnya ibarat peti jenazah, dan bajunya berwarna putih adalah laksana kain
kafan, seluruh unsur tersebut mengajak kita untuk selalu mengingat kepada
kematian(maut). Instrument yang lain adalah seruling bukan saja merepresentasikan
terompet mitologis untuk menghidupkan kembali orang mati pada hari kebangkitan,
tapi juga menyimbolkan jiwa yang terpisah dari Tuhan, dan bertemu setelah dia
dikosongkan dari diri dan diisi oleh jiwa Ilahi.
Dalam ilmu
sastra, spesifiknya sebuah sastra
sufistik baik syair maupun lainnya, harus dibedakan antara shurah (morfologi bahasa) dengan al-ma’ani (makna). Bahasa
merupakan bentuk eksternal sedangkan
al-ma’ni merupakan bentuk internal (substansi) dari suatu sastra atau puisi. Sastra atau syair yang dapat mengekspresikan
nilai spiritual apabila keluar dari seseorang yang batinnya sedang bergejolak
karena kerinduan kepada Rabb (Allah SWT). Hasil renungan kontemplatif memungkinkan adanya kristalisasi antara
pengalaman batin dan pencarian spiritual sebagai manifestasi dari upayanya
membangkitkan dzikir dan tafakur tentang Tuhan. Ungkapan bahasa semacam ini
akan dapat menentramkan batin seseorang dan merasa akan melahirkan nilai Rabithah (merasakan kehadiran Rabb dalam jiwanya) yang tinggi.
Menelaah sastra sufistik memberikan sebuah pesan moral kepada pembacanya untuk melakukan pendakian spiritual menuju man ‘arafa nafsah ‘arafa rabbah (Barang siapa mengenal dirinya, pasti akan
mengenal tuhannya). Dalam hal ini seorang
sastrawan Melayu, Baharuddin Ahmad mengatakan bahwa kesusastraan Sufi adalah
tipe yang memanjangkan hakekat kebenaran dan keindahan yang digambarkan secara
rinci dalam pernyataan fenomena sifat, tabiat dan realitas alam rendah dan hubungannya
dengan realitas Sejati. (Sastera Sufi, Ahmad Baharuddin, 1992).
Beranjak
dari kupasan diatas, gerakan sufistik
merupakan ekspresi keindahan (estetika) dan mahabbah (kecintaan) yang berkenaan dengan zikir dan pikir yakni mengingat dan memikirkan tentang khalqillah
(ciptaan Allah SWT) menuju ke gerbang transdental paling akhir untuk
berjumpa dengan sang Khalik dengan terlebih dulu harus melewati pintu kematian.
Setidaknya dengan banyak mengingat kematian akan membawa kita menuju dan meraih
prediket sa’adah (kebahagian) yang hakiki kelak nantinya. Semoga !!
Penulis : Helmi Abu Bakar El-Langkawi (Sekretaris LP3M IAI Al-Aziziyah Samalanga dan Staf Pengajar di Dayah
Mudi Mesjid Raya Samalanga, Bireuen, Aceh)