JAKARTA - Apakah wartawan
bisa independen? Pertanyaan itu selalu terngiang di telinga publik seiring
berkembangnya era globalisasi dan digitalisasi. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi independensi wartawan dalam pemberitaan dan layak menjadi diskusi
kita bersama.
"Selama ini wartawan
sulit independen, penyebabnya ada tiga hal, yakni pertama tingkat pendidikan
relatif rendah, kedua tingkat ekonomi wartawan rendah, dan ketiga adanya
paradigma pemerintah terhadap pers tidak mendukung," demikian dikatakan
Ketum PPWI, Wilson Lalengke, S. Pd, M. Sc, MA, kepada LintasAtjeh.com, Selasa
(3/5/2016), melalui pesan elektroniknya.
Pria yang pernah mengenyam
pendidikan di Utrecht University-Netherlands dan telah meraih gelar Master of
Art (M.A.) dalam bidang Applied Ethics (Etika Terapan) ini, menjelaskan karena
tingkat pendidikan rendah, hasil karya kurang bermutu sehingga dampak publikasi
tidak produktif, menyebabkan pembangunan secara makro rendah, yang berakibat
daya beli masyarakat rendah, pada akhirnya nilai jual karya para wartawan
rendah.
“Karena umumnya tingkat
ekonomi para wartawan yang rendah, maka mereka dipaksa memilih uang dan
meninggalkan idealisme, termasuk memilih berpolitik karena identik dengan
kekuasaan yang punya akses besar ke sumber uang,” beber Wilson lulusan PPRA-48
LEMHANAS ini.
Pemerintah tidak peduli
dunia pers, melihat pers tidak esensi dalam pembangunan, sehingga tidak
disediakan program pemerintah terkait pemberdayaan wartawan. Karena paradigma
pemerintah yang demikian, maka wartawan jalan dewe (sendiri) sesuai kehendak
manusiawinya, cari hidup, cari uang.
Ketua Umum Persatuan
Pewarta Warga Indonesia (PPWI) yang selama ini mengembangkan jurnalisme warga
melalui media online Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI), beranggotakan
ribuan orang di dalam maupun di luar negeri, berasal dari berbagai latar
belakang profesi, menyampaikan solusi konkrit agar wartawan bisa independen.
Solusinya menurut saya,
perlu dibentuk Badan Pers Nasional (Bapernas), yang mengelola pers secara
menyeluruh, yang terdiri dari:
1. Program pendidikan
pers;
2. Peningkatan ekonomi
pekerja pers;
3. Pengelolaan
sarana/prasarana publikasi dan media masa sebagai lembaga sosial, bukan badan
usaha;
4. Pengelolaan
informasi/data publikasi, yg harus dipilah dari informasi pribadi dan informasi
laporan instansi terkait;
5. Pengembangan perangkat
di lingkungan Bapernas, antara lain badan diklat, badan pengawas, badan etik,
dan mahkamah kehormatan pers.
Pers adalah pembentuk
peradaban, lanjutnya, harus dikelola secara serius dan benar. Pendidikan formal tidak akan
berhasil ketika pengelolaan informasi publik dan media massa gagal dilakukan
negara. Lihat saja faktanya, guru sudah lemas mengajar murid-muridnya,
hasilnya? SDM sang murid amat rendah, perilaku tidak bermoral, keterampilan
rendah, inovasi amat kurang, hidup instant.
“Jadi, dengan adanya Badan
Pers Nasional, keberadaan wartawan sangat terjamin dalam segala hal otomatis
independensi wartawan bisa dipertanggungjawabkan,” demikian pungkas Wilson
peraih gelar Master of Science (M.Sc.) dari The University of Birmingham -
England dalam bidang Global Ethics (Etika Global).[red]