-->

Rabitah : Transfer Of Spiritual

25 Mei, 2016, 23.22 WIB Last Updated 2016-05-25T16:50:32Z
IST
Dalam dunia tasawuf kita sering mendengar sebuah ungkapan yang disebut dengan Rabitah. Secara singkat esensi merupakan suatu ungkapan ikatan hati kita dengan apa yang akan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dikala seseorang membayangkan pikiran yang positif (thingking positif), maka bayangan tersebut akan mengantarkannya kepada perkara positif dan suci.

Namun Sebaliknya memantapkan suatu bayangan negatif (thingking negatif) dalam alam pikirannya akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang negative dan tidak terpuji pula. Rabitah dalam etimologinya diartikan dengan “perhubungan, perikatan”. (Kamus Arab-Indonesia, Mahmud Yunus, 136).

Dalam kamus Al-Munawir disebutkan bahwa rabitah adalah hubungan atau ikatan. (kamus al-Munawir, hal 501). Syekh Daud al-Fatani di dalam kitabnya “Diya 'ul-Murid” menyebutkan bahwa rabitah itu mengkhayalkan rupa syaikhnya diantara dua matanya maka yaitu terlebih sangat muakkad bagi memberi bekas. Maka dihadirkan rupa shaikhnya pada hatinya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Syekh 'Abdus Shamad Al-Palimbangi di dalam kitabnya “Hidayatus-Salik” mengatakan tentang adab-adab berzikrullah, antara lain beliau menyebutkan adab yang ketujuh dengan katanya:"Ketujuh, menyerupakan rupa syaikhnya antara kedua matanya dan adab ini terlebih muakkad (sangat dituntut) pada ahli tasawuf."

Sementara dalam persfektif Syekh Muhammmad Amin Al Kurdi menyebutkan diharuskan seorang murid terus menerus merabitahkan rohaniahnya kepada rohaniah Syekh gurunya yang mursyid, guna mendapatkan karunia dari Allah SWT.  Beliau mengatakan sebuah karunia yang didapati itu bukanlah dari mursyid, seorang mursyid tidak memberi bekas, pemberi bekas yang hakiki dan sesungguhnya hanya Allah SWT. Dia pemegang peranan seluruh perbendaharaan di langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk mentasarufkannya kecuali sang khalik sendiri melalui pintu- pintu yang telah ditetapkan-Nya atau menjadi Sunnah-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para wali-wali Allah SWT yang memberikan syafaat dengan izin-Nya ( Tanwirul Qulub, Syekh Amin Al Kurdi, hal 448).

Manusia sebagai “ahsanil taqwim” merupakan sebagai makhluk yang diberi cahaya akal untuk berfikir maka langkah awal yang harus ditempuh adalah berfikir kemudian menerapkan kepada tindakan. Bayangan pikiran itu laksana seperti pohon yang tumbuh dan berkembang secara perlahan dan berangsur-angsur, ketika panen tiba menghasilkan buah yang manis atau pahit. Suatu bentuk bayangan pikiran yang baik adalah merupakan benih yang akan menghasilkan buah “amaliah” yang “hasanah”, lezat dan harum.

Tentu saja aplikasinya dengan senantiasa memelihara bayangan pikiran yang baik, seiring berputarnya dimensi waktu, mereka melahirkan akar-akar mereka di seluruh penjuru jiwanya dan tumbuh menjadi sosok pohon besar dan kuat. Prosesi rabitah itu juga dapat diumpamakan seperti bercermin. Kita bercermin aplikasi perbuatannya akan menyesuaikan diri dengan obyek yang ada di hadapannya. Meskipun watak dan karakter manusia itu telah terbentuk sulit untuk diubah, namun apabila dilakukan usaha yang tekun dan istiqamah untuk menghapus prilaku dan watak  yang tidak diinginkan itu maka akhlakul karimah dan kebaikan secara alami dan perlahan akan menghampirinya.

Untuk itu diperlukan pemusatan perhatian kepada nilai-nilai “usawatun hasanah”, termasuk bayangan kepribadian yang mampu menjadi “nasihatun nafsi” (self-suggestion) untuk bisa dikoneksikan diri dalam hubungan vertical dan horizontal yang terbungkus dalam dimensi ibadah untuk mengharapkan ridha ilahi di setiap saat dan tempat kita berada.

Seseorang tidak akan memperoleh ilmu tanpa melalui perantaraan muallim (guru) baik secara langsung atau tidak langsung. Seorang murid dengan sungguh-sungguh menunut ilmu dari gurunya, dan seorang guru dengan tulus ikhlas memberikan pendidikan dan pengajaran kepada muridnya, hingga dengan demikian terjadilah hubungan yang harmonis antara keduanya.

Murid yang mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dengan cara demikian akan memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari prosesi rabitah (ikatan bathin) itu banyak yang telah kita lakoni walaupun dalam berbagai versi aplikasinya sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.

Didunia pendidikan umpamanya, rabitah antara murid dengan guru biasa adalah menyalurkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), sejauh mana seorang murid mampu mencerna dan menangkap apa yang telah disalurkan oleh sang gurunya tersebut, itulah yang diperoleh oleh anak didiknya. Sedangkan dalam persoalan kerohaniahan, Rabitah antara murid dengan guru mursyid yakni menyalurkan masalah kerohaniahan atau yang sering disebut dengan “transfer of spiritual”.

Persamaannya “tranferisasi” nya membutuhkan seorang mursyid (guru), sebab tanpa perantaraan guru tidak mungkin murid memperoleh “keilmuan”nya. Bahkan sinilah letak perbedaannya. Transfer of knowledge tidak akan sempurna tanpa peranan guru, terlebih lagi “transfer of spiritual “ yang jauh lebih spesifik dan tinggi perkaranya, maka tidak akan terkoneksi  spritualnya  tanpa guru mursyid.

Bahkan Imam Abu Yazid Al-Bustami menyebutkan :”Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syaitan”. (Tafsir Ruhul Bayan, Juz V, hal 203). Bentuk rabitah seorang pelajar dengan gurunya, mereka menghoramti guru dan ahlinya dan menjalankan apa yang telah diketahuinya, dengan berbuat apa yang diketahui Allahpun akan memberikan ilmu yang belum diketahuinya.

Sebuah kisah menarik diceritakan, pada suatu hari Imam Syafi’i RA yang sedang mengajar ribuan para santrinya, secara tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kedatangan seseorang badui yang berpakaian lusuh, kumal dan kotor. Akan tetapi Imam Syafi’i langsung mendekati dan memeluknya.

Namun Para santri merasa kaget dan heran melihat perilaku gurunya itu. Setelah selesai mengajar, merekapun bertanya: “Siapa dia wahai guru, sampai engkau memeluknya erat-erat. Padahal dia merupakan seorang Badui yang kumuh, kotor, dan menjijikkan?”. Imam Syafi’i menjawab: “ Beliau  adalah guruku. Dia yang telah mengajariku tentang perbedaan antara anjing yang cukup umur dengan anjing yang masih kecil. Aku pun bertanya hal tersebut kepada badwi yang ku peluk tadi. Baduwi itu menerangkan bahwa anjing yang cukup umur mengangkat sebelah kaki belakang apabila kencing, sedangkan anjing yang belum baligh tidak mengangkat kakinya bila kencing.

Dengan panduan Baduwi itulah, maka aku dapat menyiapkan kitabku itu.” Sungguh mulia akhlak Imam Syafi’i. Beliau menghormati semua guru-gurunya, meskipun dari masyarakat biasa. Sudah selayak dan sepatutnya kita terlebih yang hidup pada era globalisasi sekarang ini untuk terus merabitah diri dalam segala hal dan kondisi sehingga setiap usaha yang kita lakukan akan membuahkan hasil yang maksimal dan selalu berorientasi kepada akhirat, pundi-pundi tabungan yang akan kita petik nantipun akan semakin bermakna. Rabitah merupakan semangat persatuan dan menghalaukan diri dari musuh-musuh yang akan mengacaukan ranah dan wilayah kita.

Memerangi hawa nafsu dan bala tentaranya merupakan jihad terbesar dalam sejarah kehidupan manusia sebaagimana yang telah diapreasisikan sendiri oleh rasululah dalam sabda-Nya. Diantara bala tentara tersebut adalah kebodohan merupakan musuh yang selalu menggerogoti kita setiap saat dan kesempatan. Kebodohan itulah musuh bersama yang harus dibasmi dengan cahaya ilmu lewat tradisi ta’lim yang telah diwariskan oleh para assabiqul awwalun.

Dengan semangat rabitah optimisme dan berpikir positif sebagai modal utama untuk meraih masa depan yang cemerlang akan selau menghampiri setiap insan dalam menjalankan kewajiban dan tugasnya sehari-hari, aktifitas atau ibadah yang berkalaborasi dengan rabitah itu dalam bahasa spesifiknya rasulullah menyebut dengan “ihsan” akan melahirkan buah ibadah tersebut terbungkus dalam nilai keikhlasan dan keridahaan ilahi rabbi, sebab ada sebuah proyektor besar yang selalu mengintai dan malaikat mencatat setiap gerak dan langkah yang akan dipertanggunngjawabkan esok di pengadilan yang sesungguhnya dihadapan Allah SWT. Wallahu Muwafiq Ilatariq, Wallahu ‘Allam Bishawab

Penulis : Helmi Abu Bakar El-Langkawi (Staf pengajar di Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga dan IAIA Al-Aziziyah Samalanga).
Komentar

Tampilkan

Terkini