IST |
Dalam dunia tasawuf kita
sering mendengar sebuah ungkapan yang disebut dengan Rabitah. Secara singkat
esensi merupakan suatu ungkapan ikatan hati kita dengan apa yang akan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dikala seseorang membayangkan
pikiran yang positif (thingking positif), maka bayangan tersebut akan
mengantarkannya kepada perkara positif dan suci.
Namun Sebaliknya memantapkan
suatu bayangan negatif (thingking negatif) dalam alam pikirannya akan
mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang negative dan tidak terpuji pula. Rabitah
dalam etimologinya diartikan dengan “perhubungan, perikatan”. (Kamus
Arab-Indonesia, Mahmud Yunus, 136).
Dalam kamus Al-Munawir
disebutkan bahwa rabitah adalah hubungan atau ikatan. (kamus al-Munawir, hal
501). Syekh Daud al-Fatani di dalam kitabnya “Diya 'ul-Murid” menyebutkan bahwa
rabitah itu mengkhayalkan rupa syaikhnya diantara dua matanya maka yaitu terlebih
sangat muakkad bagi memberi bekas. Maka dihadirkan rupa shaikhnya pada hatinya.
Hal senada juga
diungkapkan oleh Syekh 'Abdus Shamad Al-Palimbangi di dalam kitabnya
“Hidayatus-Salik” mengatakan tentang adab-adab berzikrullah, antara lain beliau
menyebutkan adab yang ketujuh dengan katanya:"Ketujuh, menyerupakan rupa
syaikhnya antara kedua matanya dan adab ini terlebih muakkad (sangat dituntut)
pada ahli tasawuf."
Sementara dalam persfektif
Syekh Muhammmad Amin Al Kurdi menyebutkan diharuskan seorang murid terus
menerus merabitahkan rohaniahnya kepada rohaniah Syekh gurunya yang mursyid,
guna mendapatkan karunia dari Allah SWT.
Beliau mengatakan sebuah karunia yang didapati itu bukanlah dari
mursyid, seorang mursyid tidak memberi bekas, pemberi bekas yang hakiki dan
sesungguhnya hanya Allah SWT. Dia pemegang peranan seluruh perbendaharaan di
langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk mentasarufkannya
kecuali sang khalik sendiri melalui pintu- pintu yang telah ditetapkan-Nya atau
menjadi Sunnah-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para wali-wali Allah
SWT yang memberikan syafaat dengan izin-Nya ( Tanwirul Qulub, Syekh Amin Al
Kurdi, hal 448).
Manusia sebagai “ahsanil
taqwim” merupakan sebagai makhluk yang diberi cahaya akal untuk berfikir maka
langkah awal yang harus ditempuh adalah berfikir kemudian menerapkan kepada
tindakan. Bayangan pikiran itu laksana seperti pohon yang tumbuh dan berkembang
secara perlahan dan berangsur-angsur, ketika panen tiba menghasilkan buah yang
manis atau pahit. Suatu bentuk bayangan pikiran yang baik adalah merupakan
benih yang akan menghasilkan buah “amaliah” yang “hasanah”, lezat dan harum.
Tentu saja aplikasinya
dengan senantiasa memelihara bayangan pikiran yang baik, seiring berputarnya
dimensi waktu, mereka melahirkan akar-akar mereka di seluruh penjuru jiwanya
dan tumbuh menjadi sosok pohon besar dan kuat. Prosesi rabitah itu juga dapat
diumpamakan seperti bercermin. Kita bercermin aplikasi perbuatannya akan
menyesuaikan diri dengan obyek yang ada di hadapannya. Meskipun watak dan
karakter manusia itu telah terbentuk sulit untuk diubah, namun apabila dilakukan
usaha yang tekun dan istiqamah untuk menghapus prilaku dan watak yang tidak diinginkan itu maka akhlakul
karimah dan kebaikan secara alami dan perlahan akan menghampirinya.
Untuk itu diperlukan
pemusatan perhatian kepada nilai-nilai “usawatun hasanah”, termasuk bayangan
kepribadian yang mampu menjadi “nasihatun nafsi” (self-suggestion) untuk bisa
dikoneksikan diri dalam hubungan vertical dan horizontal yang terbungkus dalam
dimensi ibadah untuk mengharapkan ridha ilahi di setiap saat dan tempat kita
berada.
Seseorang tidak akan
memperoleh ilmu tanpa melalui perantaraan muallim (guru) baik secara langsung
atau tidak langsung. Seorang murid dengan sungguh-sungguh menunut ilmu dari
gurunya, dan seorang guru dengan tulus ikhlas memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada muridnya, hingga dengan demikian terjadilah hubungan yang
harmonis antara keduanya.
Murid yang mendapatkan
ilmu pengetahuan dari gurunya dengan cara demikian akan memperoleh ilmu yang
berkah dan bermanfaat. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari prosesi rabitah
(ikatan bathin) itu banyak yang telah kita lakoni walaupun dalam berbagai versi
aplikasinya sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.
Didunia pendidikan
umpamanya, rabitah antara murid dengan guru biasa adalah menyalurkan ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge), sejauh mana seorang murid mampu mencerna
dan menangkap apa yang telah disalurkan oleh sang gurunya tersebut, itulah yang
diperoleh oleh anak didiknya. Sedangkan dalam persoalan kerohaniahan, Rabitah
antara murid dengan guru mursyid yakni menyalurkan masalah kerohaniahan atau
yang sering disebut dengan “transfer of spiritual”.
Persamaannya
“tranferisasi” nya membutuhkan seorang mursyid (guru), sebab tanpa perantaraan
guru tidak mungkin murid memperoleh “keilmuan”nya. Bahkan sinilah letak
perbedaannya. Transfer of knowledge tidak akan sempurna tanpa peranan guru,
terlebih lagi “transfer of spiritual “ yang jauh lebih spesifik dan tinggi
perkaranya, maka tidak akan terkoneksi
spritualnya tanpa guru mursyid.
Bahkan Imam Abu Yazid
Al-Bustami menyebutkan :”Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam
bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syaitan”. (Tafsir Ruhul
Bayan, Juz V, hal 203). Bentuk rabitah seorang pelajar dengan gurunya, mereka
menghoramti guru dan ahlinya dan menjalankan apa yang telah diketahuinya,
dengan berbuat apa yang diketahui Allahpun akan memberikan ilmu yang belum
diketahuinya.
Sebuah kisah menarik
diceritakan, pada suatu hari Imam Syafi’i RA yang sedang mengajar ribuan para
santrinya, secara tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kedatangan seseorang badui
yang berpakaian lusuh, kumal dan kotor. Akan tetapi Imam Syafi’i langsung
mendekati dan memeluknya.
Namun Para santri merasa
kaget dan heran melihat perilaku gurunya itu. Setelah selesai mengajar,
merekapun bertanya: “Siapa dia wahai guru, sampai engkau memeluknya erat-erat.
Padahal dia merupakan seorang Badui yang kumuh, kotor, dan menjijikkan?”. Imam
Syafi’i menjawab: “ Beliau adalah
guruku. Dia yang telah mengajariku tentang perbedaan antara anjing yang cukup
umur dengan anjing yang masih kecil. Aku pun bertanya hal tersebut kepada badwi
yang ku peluk tadi. Baduwi itu menerangkan bahwa anjing yang cukup umur
mengangkat sebelah kaki belakang apabila kencing, sedangkan anjing yang belum
baligh tidak mengangkat kakinya bila kencing.
Dengan panduan Baduwi
itulah, maka aku dapat menyiapkan kitabku itu.” Sungguh mulia akhlak Imam
Syafi’i. Beliau menghormati semua guru-gurunya, meskipun dari masyarakat biasa.
Sudah selayak dan sepatutnya kita terlebih yang hidup pada era globalisasi
sekarang ini untuk terus merabitah diri dalam segala hal dan kondisi sehingga
setiap usaha yang kita lakukan akan membuahkan hasil yang maksimal dan selalu
berorientasi kepada akhirat, pundi-pundi tabungan yang akan kita petik nantipun
akan semakin bermakna. Rabitah merupakan semangat persatuan dan menghalaukan
diri dari musuh-musuh yang akan mengacaukan ranah dan wilayah kita.
Memerangi hawa nafsu dan
bala tentaranya merupakan jihad terbesar dalam sejarah kehidupan manusia
sebaagimana yang telah diapreasisikan sendiri oleh rasululah dalam sabda-Nya. Diantara
bala tentara tersebut adalah kebodohan merupakan musuh yang selalu menggerogoti
kita setiap saat dan kesempatan. Kebodohan itulah musuh bersama yang harus
dibasmi dengan cahaya ilmu lewat tradisi ta’lim yang telah diwariskan oleh para
assabiqul awwalun.
Dengan semangat rabitah
optimisme dan berpikir positif sebagai modal utama untuk meraih masa depan yang
cemerlang akan selau menghampiri setiap insan dalam menjalankan kewajiban dan
tugasnya sehari-hari, aktifitas atau ibadah yang berkalaborasi dengan rabitah
itu dalam bahasa spesifiknya rasulullah menyebut dengan “ihsan” akan melahirkan
buah ibadah tersebut terbungkus dalam nilai keikhlasan dan keridahaan ilahi
rabbi, sebab ada sebuah proyektor besar yang selalu mengintai dan malaikat
mencatat setiap gerak dan langkah yang akan dipertanggunngjawabkan esok di
pengadilan yang sesungguhnya dihadapan Allah SWT. Wallahu Muwafiq Ilatariq,
Wallahu ‘Allam Bishawab
Penulis : Helmi Abu Bakar
El-Langkawi (Staf pengajar di Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga dan IAIA
Al-Aziziyah Samalanga).