LHOKSUKON - Sungguh malang nasib para petani perkebunan kelapa
sawit yang di Aceh Utara. Pasalnya, kebun yang dijadikan untuk sandaran
hidupnya tidak dapat dinikmati dengan maksimal untuk mencukupi kebutuhan
pokoknya sehari-hari.
Bukan
karena hama, akan tetapi lahan tersebut dikuasai oleh koperasi dan hasil yang
diberikan kepada petani tidak sesuai dengan hasilnya. Per hektare area (Ha)
rata-rata petani memperoleh hasil Rp 30-50 ribu. Padahal jika kebunnya dikelola
sendiri mencapai 2 juta lebih/ per bulan.
Berdasarkan
laporan yang diterima LintasAtjeh.com, petani sebenarnya sudah jenuh dengan
sistim yang digunakan oleh koperasi. Akan tetapi petani mengaku takut untuk
keluar dari keanggotaan koperasi karena di bawah ancaman, dan intimidasi dari
oknum-oknum penegak hukum.
Mereka
(koperasi) juga tak segan-segan mengintimidasi secara terang-terangan dan melaporkan
petani ke Polisi dengan tuduhan kasus pencurian. Padahal, sertifikat tanah
jelas dimiliki oleh petani.
Hal
itu seperti yang menimpa Riyono, petani kebun sawit di desa Seureke, Kecamatan Langkahan
Kabupaten Aceh Utara dilaporkan ke Polisi ke Mapolsek Langkahan pada hari Jum’at
22 April 2016, karena dituduh mencuri buah sawit yang diklaim milik koperasi.
Saat
ditemui di salah satu Warkop di terminal Lhoksukon, Riyono (56) kepada Wartawan mengatakan
bahwa dirinya tercatat sebagai petani kebun yang tercatat
sebagai anggota di bawah KUD Sejahtera Mandiri dan dia telah lama memiliki sertifikat kebun
sawit itu.
“Kami para petani
merasa sudah dibohongi oleh pengurus KUD bertahun-tahun dari pendapatan hasil
panen kebun kami. Hampir tiap bulan KUD membayar hasil panen kepada petani
mulai Rp. 50-150 bayaran itu kami terima dengan keterpaksaan dan berbagai
alasan dari pegurus KUD,” ujar Riyono.
Maka
pada Selasa 14 Desember 2015, ia dan keluarga mengundurkan diri dari keangotaan
di koperasi, tapi tidak ada tanggapan dari pihak pengurus KUD itu.
“Setelah sepuluh hari
tidak ada tanggapan, saya pun langsung memanen sawit di kebun milik saya yang
berada dalam area lahan kepengurusan Koperasi Sejahtera Mandiri. Sawit yang saya
panen pertama kali yaitu pada bulan Januari 2016. Buah yang saya panen sebanyak
1 mobil hartop diminta beli oleh KUD dengan bayaran Rp. 2juta. Berselang satu
bulan kemudian yaitu bulan Februari 2016 juga buahnya dibawa ke KUD dan dibayar
Rp. 2juta,” ungkap Riyono.
Dan
pada bulan Maret 2016, Ia dilarang oleh ketua KUD agar tidak memanen dan mengatakan biar karyawan
KUD saja yang memanennya. Namun, Ia dikasih uang oleh ketua KUD sebanyak Rp.
1,5 Juta dari buah yang mereka panen di kebunnya.
Setelah
itu, sambung dia, pada bulan ke empat
tepatnya bulan April 2016 Ia kembali memanen buah sawit di kebunnya. Namun,
belum pun selesai memanen sawit, baru dapat 45 tandan lalu ia didatangi oleh
pihak polisi dari Polsek Langkahan, dan Koramil bersama Ketua KUD dan
rombongannya.
“Sore hari itu juga
saya dibawa ke Polek Langkahan. Malam saya diberi izin pulang, pagi besoknya
saya disuruh kembali kepolsek lagi setelah malam saya disuruh pulang hukuman
ini belangsung tiga hari dan pada hari
ke empat dan ke lima saya ditahan tidak disuruh pulang lagi. Karena saya
disebut sebagai tersangka yang diduga telah melakukan tindak pidana pencurian.
Melanggar pasal 362 YO Pasal 363 ayat 4 KUHPidana. Seperti surat polisi yang
diberikan kepada saya oleh penyidik di Kantor Polsek Kecamatan Langkahan,”
ungkap Riyono.
Lanjut
dia, setelah gechik gampong Seureke datang ke Polsek pada hari kelima malam itu
untuk menjemputnya dengan jaminan bisa diselesaikan oleh desa, maka Riyono pun diizinkan
untuk pulang ke rumah.
Riyono
pun mengadukan kasus tersebut ke kuasa hukum.
Kuasa
hukum Riyono, Tgk Asnawi Ahmad SH.,M.Si saat menjelaskan, apabila seorang
aparat hukum menahan seseorang yang memanen sawit di atas lahan kebunya sendiri
itu sangat keliru jika untuk dijadikan tersangka, sedangkan si tersangka bisa
menunjukkan surat sertifikatnya.
"Sementara,
koperasi membuat laporan resmi kepada polisi tidak ada dasar hukumnya,
karena kliennya adalah salah seorang
keanggotan koperasi sejahtera mandiri,” ujar Tgk Asnawi.
Lanjutnya,
pak Riyono pernah membuat pernyataan secara resmi untuk keluar dari ke
anggotaan koperasi pada tahun 2015.
Dia
menegakan dalam hal ini koperasi dapat dijerat degan pasal 72 junto Pasal 385
KUH Pidana degan ancaman hukuman tujuh tahun penjara karena telah mengambil
hak-hak petani.
Kasus
seperti ini masih terus terjadi di koperasi-koperasi lainnya yang luput dari
pantauan media. [Mag-Malik]