-->

Petani Sawit di Aceh Utara di Bawah Intimidasi

27 Mei, 2016, 12.28 WIB Last Updated 2016-06-09T08:54:29Z
LHOKSUKON - Sungguh malang nasib para petani perkebunan kelapa sawit yang di Aceh Utara. Pasalnya, kebun yang dijadikan untuk sandaran hidupnya tidak dapat dinikmati dengan maksimal untuk mencukupi kebutuhan pokoknya sehari-hari.

Bukan karena hama, akan tetapi lahan tersebut dikuasai oleh koperasi dan hasil yang diberikan kepada petani tidak sesuai dengan hasilnya. Per hektare area (Ha) rata-rata petani memperoleh hasil Rp 30-50 ribu. Padahal jika kebunnya dikelola sendiri mencapai 2 juta lebih/ per bulan.

Berdasarkan laporan yang diterima LintasAtjeh.com, petani sebenarnya sudah jenuh dengan sistim yang digunakan oleh koperasi. Akan tetapi petani mengaku takut untuk keluar dari keanggotaan koperasi karena di bawah ancaman, dan intimidasi dari oknum-oknum penegak hukum.

Mereka (koperasi) juga tak segan-segan mengintimidasi secara terang-terangan dan melaporkan petani ke Polisi dengan tuduhan kasus pencurian. Padahal, sertifikat tanah jelas dimiliki oleh petani.

Hal itu seperti yang menimpa Riyono, petani kebun sawit di desa Seureke, Kecamatan Langkahan Kabupaten Aceh Utara dilaporkan ke Polisi ke Mapolsek Langkahan pada hari Jum’at 22 April 2016, karena dituduh mencuri buah sawit yang diklaim milik koperasi.

Saat ditemui di salah satu Warkop di terminal Lhoksukon,  Riyono (56) kepada Wartawan mengatakan bahwa  dirinya  tercatat sebagai petani kebun yang tercatat sebagai anggota di bawah KUD Sejahtera Mandiri dan  dia telah lama memiliki sertifikat kebun sawit itu.

“Kami para petani merasa sudah dibohongi oleh pengurus KUD bertahun-tahun dari pendapatan hasil panen kebun kami. Hampir tiap bulan KUD membayar hasil panen kepada petani mulai Rp. 50-150 bayaran itu kami terima dengan keterpaksaan dan berbagai alasan dari pegurus KUD,” ujar Riyono.

Maka pada Selasa 14 Desember 2015, ia dan keluarga mengundurkan diri dari keangotaan di koperasi, tapi tidak ada tanggapan dari pihak pengurus KUD itu.

“Setelah sepuluh hari tidak ada tanggapan, saya pun langsung memanen sawit di kebun milik saya yang berada dalam area lahan kepengurusan Koperasi Sejahtera Mandiri. Sawit yang saya panen pertama kali yaitu pada bulan Januari 2016. Buah yang saya panen sebanyak 1 mobil hartop diminta beli oleh KUD dengan bayaran Rp. 2juta. Berselang satu bulan kemudian yaitu bulan Februari 2016 juga buahnya dibawa ke KUD dan dibayar Rp. 2juta,” ungkap Riyono.

Dan pada bulan Maret 2016, Ia dilarang oleh ketua KUD  agar tidak memanen dan mengatakan biar karyawan KUD saja yang memanennya. Namun, Ia dikasih uang oleh ketua KUD sebanyak Rp. 1,5 Juta dari buah yang mereka panen di kebunnya.

Setelah itu,  sambung dia, pada bulan ke empat tepatnya bulan April 2016 Ia kembali memanen buah sawit di kebunnya. Namun, belum pun selesai memanen sawit, baru dapat 45 tandan lalu ia didatangi oleh pihak polisi dari Polsek Langkahan, dan Koramil bersama Ketua KUD dan rombongannya.

“Sore hari itu juga saya dibawa ke Polek Langkahan. Malam saya diberi izin pulang, pagi besoknya saya disuruh kembali kepolsek lagi setelah malam saya disuruh pulang hukuman ini  belangsung tiga hari dan pada hari ke empat dan ke lima saya ditahan tidak disuruh pulang lagi. Karena saya disebut sebagai tersangka yang diduga telah melakukan tindak pidana pencurian. Melanggar pasal 362 YO Pasal 363 ayat 4 KUHPidana. Seperti surat polisi yang diberikan kepada saya oleh penyidik di Kantor Polsek  Kecamatan Langkahan,” ungkap Riyono.

Lanjut dia, setelah gechik gampong Seureke datang ke Polsek pada hari kelima malam itu untuk menjemputnya dengan jaminan bisa diselesaikan oleh desa, maka Riyono pun diizinkan untuk pulang ke rumah.

Riyono pun mengadukan kasus tersebut ke kuasa hukum.

Kuasa hukum Riyono, Tgk Asnawi Ahmad SH.,M.Si saat menjelaskan, apabila seorang aparat hukum menahan seseorang yang memanen sawit di atas lahan kebunya sendiri itu sangat keliru jika untuk dijadikan tersangka, sedangkan si tersangka bisa menunjukkan surat sertifikatnya.

"Sementara, koperasi membuat laporan resmi kepada polisi tidak ada dasar hukumnya, karena  kliennya adalah salah seorang keanggotan koperasi sejahtera mandiri,” ujar Tgk Asnawi.

Lanjutnya, pak Riyono pernah membuat pernyataan secara resmi untuk keluar dari ke anggotaan koperasi pada tahun 2015.

Dia menegakan dalam hal ini koperasi dapat dijerat degan pasal 72 junto Pasal 385 KUH Pidana degan ancaman hukuman tujuh tahun penjara karena telah mengambil hak-hak petani.

Kasus seperti ini masih terus terjadi di koperasi-koperasi lainnya yang luput dari pantauan media. [Mag-Malik]
Komentar

Tampilkan

Terkini