-->

Ingat! Ongkos Politik Mahal dan Korbannya Adalah Rakyat

16 Mei, 2016, 13.39 WIB Last Updated 2016-05-16T06:39:45Z
IST
Suatu pertanyaan mendasar yang selalu muncul setiap kali melaksanakan pemilu. Seberapa besar ongkos politik yang harus dikeluarkan untuk bisa mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, Anggota Legislatif maupun Presiden di Negara kita, Indonesia?

Perkembangan pelaksanaan pemilu merupakan salah satu masalah klasik yang selalu muncul adalah perhitungan biaya politik yang harus digelontorkan. Umumnya meliputi, lobi politik kepada parpol, intensitas rapat akbar, pemasangan atribut, rentang masa kampanye sejak terdaftar sebagai kandidat dan seterusnya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa ongkos politik sangalah tinggi, artinya tidak seimbang lagi dengan penghasilan formal ketika mereka terpilih nantinya. Belum lagi adanya pengeluaran anggaran siluman untuk keperluan relawan dan pelicin suara (money politik). Biaya siluman memungkinkan untuk transaksi lain suara melalui penyelenggara kenakalan pemilu.

Walau tidak pernah dihitung secara detail tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa besarnya ongkos politik sangatlah tidak sebanding lagi dengan penghasilan resmi seorang kandidat terpilih.

Sehingga untuk menutupi ketidaksebandingan tersebut, mereka akan bergerak mencari penghasilan non-formal melalui berbagai upaya yang seringkali menyerobot legalitas hukum maupun intervensi pihak pemerintah pusat/daerah dengan memanfaatkan kewenangan.

Hal inilah yang tidak menutup kemungkinan akan memberi peluang negosiasi menuju transaksi finasial dalam mengembalikan modal berpolitik, akibat dari ketidaksesuaian antara penghasilan resmi dengan ongkos politik yang telah dikeluarkan. Kira-kira seperti inilah masa depan Indonesia, kian berbelok arah dari tujuan memajukan kesejahteraan rakyat secara adil merata.

Bahkan pada saat ini, investasi asing dalam bidang perkebunan, garment, telekomunikasi, industri otomotif dan lainnya semakin subur mendominasi sektor perekonomian Indonesia. Tetapi nilai rupiah selalu melemah, sulit untuk kembali ke posisi semula, sementara elementer pemerintahan sedang sibuk efouria demokrasi politik.

Harapan satu-satunya sebagai pintu terakhir dalam upaya mendapat kandidat ideal berada di tangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan politik. Apabila rakyat turut terkontaminasi dalam penyalahgunaan kedaulatan politik dalam pembarteran suara dengan uang, berarti rakyat juga berkontribusi dalam penentuan tipe legislator kapitalis.

Efeknya rakyat tidak bisa menuntut banyak agar para legislator memperjuangkan nasibnya karena telah mengambil imbalan sejak awal.

Biaya politik kian membengkak karena kontestan masih menggunakan metode tradisional. Peserta pemilu juga cenderung malas, tidak mau berusaha lebih keras untuk pencapaian target suara, meskipun itu memang melelahkan.

Mereka enggan turun langsung untuk menemui pemilih secara rutin, kegiatan turun ke lapangan hanya dilakukan saat mendekati hari pemungutan suara. Selain itu, jenis kampanye masih menggunakan cara tradisional, bahkan masih mempunyai niat untuk unjuk kekuatan agar dipahami sebagai parpol besar.

Hal ini harus mengeluarkan uang untuk sewa gedung, stadion, biaya transportasi-akomodasi-konsumsi, mengundang artis kesohor untuk mengumpulkan massa. Belum lagi fokus beriklan di media cetak dan elektronik, biaya promosi tersebut pastinya akan menguras kantong. Fenomena ini membuat seorang politisi atau calon pemimpin membangun image kekuatan sebuah parpol dan kemapanan seorang kandidat.

Kendaraan Korupsi

Biarpun setiap parpol sedang sibuk menyusun peta politik lewat kesibukan memilih kandidat yang dijagokan, menimbang strategi kampanye, transaksi jual-beli suara, pengalihan pandangan melalui program yang pro-rakyat, mengatur kompas lobi politik dan persiapan negosiasi lain sebagainya.

Sementara mereka calon pemilih yang cerdas tentu akan tetap santai saja, masa bodoh dengan hiruk pikuk persiapan kampanye pilkada maupun pemilu lainnya, bahkan mereka sama sekali tidak pernah mencari tahu sebab musabab kericuhan seputar dunia politik.

Apalagi repot-repot mengurus hak daftar pemilih, begitu pula bagi mereka yang tidak punya pilihan namun cuek bebek tanpa koar-koar menghasut golput. Memilih diam, masa bodoh karena mereka sangat paham dan penuh pengertian.

Sebab Pemilu bukanlah tentang kesadaran berpolitik, merupakan teori pesta rakyat atau semarak hari perayaan pendidikan demokrasi, melainkan diartikan secara sadar sebagai lahan bisnis dan berfungsi untuk kendaraan korupsi.

Hakekat pemilu adalah mencintai terhadap salah satu bendera partai politik, caleg, dan capres. Lalu sangat membenci kemudian mencaci maki kader partai politik lain. Ini adalah penyakit kepribadian orang tolol, tipe manusia seperti ini tidak bisa dipercaya netralitas pendapatnya tentang politik.

Bahkan kebanyakan dari mereka bermental kekanak-kanakan, goblok, sok tahu dan gemar bermain api kerusuhan di depan mimbar maupun di lapangan kampanye.

Satu hal lagi, mereka tahu orasi politik hanya tebar pesona politikus yang berisikan janji manis, sama sekali tidak bermanfaat tapi tetap didatangi karena disana ada pamrih. Begitupun dengan kandidat yang akan dipilih.

Orang cerdas akan berpikir, bahwa kampanye adalah tempat berkumpulnya manusia goblok yang mengaku cerdas. Karena semakin tolol manusia biasanya kian banyak bicara tentang hal-hal yang belum jelas, mereka merasa lebih tahu mengenai sesuatu yang belum pernah dialami, bahkan mampu menjelaskan secara detail sesuatu hal yang masih remang-remang.

Misalnya berkeyakinan jika kandidat “A” menang dengan pasti dapat merubah kehidupan masyarakat, memberikan program terbaik dengan hasil sempurna, membandingkan masa sebelumnya dengan keadaan yang akan datang.

Padahal mereka sama sekali belum pernah mengalami langsung dan apalagi membuktikan. Tapi bagi mereka yang cerdas, tidak akan pernah tahu tentang hal yang belum pernah di alami, dilihat, dirasakan dan akan berkata, “Saya tidak tahu”. Tapi diam-diam akan mencari tahu (bukan makanan).

Coba bayangkan ketika sebuah media publik menggelar promosi dan para kadernya ramai-ramai menyatakan, “Katakan TIDAK PADA KORUPSI!!!”. Alih-alih setelah menjabat justru mereka semua tersangkut skandal korupsi. Fakta ini sudah menjadi rahasia umum.

Inilah yang sebuah dasar pemikiran manusia rendah moral, mereka akan berbuat baik jika menemukan keyakinan argumen pada sebuah ideologi (politik), menentang ideologi pihak lain dan justru berbuat anarki atau setidaknya bersikap sinis.

Sepertinya moralitas mereka palsu karena ada gula ada semut. Loyal dan sering menggelar bakti sosial, mereka berharap honor besar untuk mengembalikan modal umpan.

Apapun atau bagaimanapun platform sebuah ideologi politik yang menjadikan agama sebagai landasan moral dan etika berbangsa dan bernegara maupun berkonsep nasionalis, tujuan tersembunyi para kader dalam diskusi internal biasanya menyebut bahwa power partai politik mereka besar dan kuat untuk membuktikan bahwa bendera komprtitor mereka lemah. Begitupun sebaliknya sama saja.

Pemilih Cerdas

Karena sebuah kecerdasan mereka mampu ambil keputusan, berani menentukan pilihan. Tapi di balik tingkat kecerdasan tersebut, tersembunyi kebodohan yang tidak belajar dari sejarah (track record) parpol maupun kandidat pilihannya.

Rata-rata mereka yang memilih karena sudah terhasut oleh khotbah moral dan tergiur lipstick sosial kampanye, mirip janji masa depan trainer multi level marketing (MLM). Apa yang disampaikan adalah tentang hal yang tidak pernah dilakukan dan tidak mungkin dipraktekkan.

Alih-alih suara yang diberikan efek dari virus mimpi politik, membangun pencitraan diri dengan modal gombal mukio. Sangat langka di antara mereka yang berani memilih secara realistis.

Kesadaran mereka terbang ke dunia angan-angan, meskipun secara faktanya mereka berpijak di muka bumi tapi tetap saja akan menghayal untuk membunuh segala kegelisahan. Itu sebabnya kelompok politisi masih laris hingga kini.

Selagi kesadaran manusia dihinggapi angan-angan serta tingginya pengharapan, maka semua doktrin akan gampang ditelan bulat-bulat. Mirip tahi kambing rasa cokelat. Oleh sebab itulah banyak sekali kandidat yang dikenal begitu hebat, membuat para voter simpati pada awal perkenalan tapi berakhir dengan menyebalkan.

Mereka yang sedang mempersiapkan diri menuju kursi panas yang empuk jarang sekali yang sanggup dan berani membuat masyarakat jengkel di awal, tapi semakin hari kian menebar simpati dan patut dibanggakan.


Sumber: ORd Channel
Komentar

Tampilkan

Terkini